Perjalanan Menuju Kota dan Syawal
Dalam bersaudara memang mesti saling memahami. Berbeda bukan berarti tak bisa mengerti. Nikmati saja prosesnya di ujungnya nanti pasti bisa saling memahami.
“Kak Madi, kapan kita belanja baju baru. Kan udah janji sama Nauma dan Hadi. Ramadhan tinggal sehari lagi lho.”ajak kak Nauma.
“Ramadhan masih belum berakhir tau, entar aja deh”sanggah kak Madi.
“Menurut penghitungan kakak ni ya. Ramadhan tahun ini juga bakalan 30 hari. Teman-teman kakak juga banyak yang sama pendapat dengan kakak. Jadi santai aja” tambah kak Madi lagi.
“Kok gitu sih. Nanti kalau terlambat. Toko-toko keburu pada tutup semua, kak.” Kak Nauma tak mau kalah.
***
Dalam bersaudara memang mesti saling memahami. Berbeda bukan berarti tak bisa mengerti. Nikmati saja prosesnya di ujungnya nanti pasti bisa saling memahami.
Kak Madi adalah anak tertua di keluarga. Ia banyak berkeliling ke mana-mana. Bukan untuk apa-apa hanya untuk belajar. Ia banyak membantu para saudara-saudaranya dalam hal pendidikan. Bahwa jika kita ingin saling memahami kita haruslah saling belajar. Bukan hanya di bangku sekolah atau berapa lembar ijazah yang didapatkan. Tapi sebesar apa penerimaan kita terhadap orang lain.
Kak Madi punya banyak teman di kota. Teman-temannya rata-rata terpelajar yang dulu pernah satu pesantren dengannya. Kak Madi sering mengajakku jalan-jalan ke kota ketika ia sedang libur dan lagi sepi dari kegiatan.
Pergaulannya yang luas dan pengalamannya nyantri di kota membuatnya bisa berbahasa inggris dan arab. Jangan ditanya tentang capaiannya. Bermacam-macam lomba pidato telah dimenangkannya.
Kalau kak Madi adalah anak sulung laki-laki. Maka Kak Nauma adalah kakak sulung perempuan. Ia yang paling cantik diantara kami. Karena memang satu-satunya anak perempuan di keluarga. Apalagi kalau dengan kerudung biru yang sering digunakannya. Ia adalah santri salah satu pesantren di desa. Karena kebetulan memang pesantren itu yang paling dekat dengan rumah. Sehingga kapanpun ia bisa pulang dan tahu kabar di rumah.
Bukan hanya cantik. Kak Nauma juga bisa dibilang pandai apalagi dalam mengaji kitab kuning. Sanad keilmuannya tak usah diragukan lagi. Ia punya banyak berguru ke kiai-kiai besar. Ia bisa jelaskan berbagai kitab kuning dengan baik dan sederhana. Selepas isya aku akan mengaji kepada kak Nauma. Membahas beberapa bab fiqih. Yang masih buram aku pahami. Jikalau belum menemukan jawaban yang memuaskan. Jalan terakhir adalah menanyakan kepada bapak. Begitupun jika ada hal yang tidak bisa dijawab Kak Nauma. Ia juga akan bertanya pada bapak.
***
Dalam bersaudara memang mesti saling memahami. Berbeda bukan berarti tak bisa mengerti. Nikmati saja prosesnya di ujungnya nanti pasti bisa saling memahami.
Pada bulan puasa biasanya kak Madi dan kak Nauma akan mendapatkan jatah libur panjang. Setiap malam setelah tarawih dan mengaji kami bertiga akan bercerita banyak hal. Dari hal-hal biasa teman-teman kak Madi yang titip salam buat kak Nauma sampai yang lumayan berat buat dicerna kepalaku seperti perbedaan cara ulama dalam menentukan awal bulan syawal nanti.
“Kak Madi, kita beli baju baru, yuk. Kan kita udah dapat THR dari ayah ibu.”ajakku.
“Aku ikut juga ya, kak.” Tambah kak Nauma.
“Iya, nanti deket-deket syawal, ya.”jawab kak Madi.
Kami tentu saja senang bukan main bukan hanya karena akan dapat baju baru. Tapi juga kami akan jalan-jalan ke kota. Apalagi nanti sama-sama ke sana dengan Kak Madi. Kalau begitu, ayah dan ibu pasti mengizinkan. Karena ada kak Madi yang sudah hapal jalan ke kota. Asalkan jangan pulang kesorean saja.
Tapi ternyata ketika syawal sebentar lagi sampai kami belum juga ke kota. Aku makin resah saja. Kapan sebenarnya kita akan beli baju baru. Aku sudah enggak sabar. Karena cuma kali ini saja, aku dapat kesempatan beli baju baru. Di lain hari belum tentu. Selepas ngaji aku langsung mendekati kak Nauma.
“Kak Nauma, kita ingetin lagi kak Madi. Mungkin dia lupa. Kemarin kan udah janji mau nemenin kita ke kota buat beli baju baru.”bujukku. aku sudah enggak sabar.
“Iya dek.”jawab kak Nauma.
Begitu kak Madi datang. Kami langsung menghadangnya di ruang tamu. Mengajukan pertanyaan,’kapan kita ke kota?’ dengan antusias.
“Kak Madi, kapan kita belanja baju baru. Kan udah janji sama Nauma dan Hadi. Ramadhan tinggal dua hari lagi lho.”ajak kak Nauma.
“Ramadhan masih belum berakhir tau, entar aja deh”sanggah kak Madi.
“Menurut penghitungan kakak ni ya. Ramadhan tahun ini juga bakalan 30 hari. Teman-teman kakak juga banyak yang sama pendapat dengan kakak.” tambah kak Madi lagi.
“Kok gitu sih. Nanti kalau terlambat. Toko-toko keburu pada tutup semua, kak.” Kak Nauma tak mau kalah.
“Juga gini ya. Kita kan juga mesti ru’yatul hilal dulu kak. Walaupun Nauma gak pernah ru’yat. Tapi Nauma tau. Jadi, Gak bisa langsung nentuin akhir bulan gitu. Siapa tau, nanti hilal syawal sudah kelihatan. Kan jadi lebih cepat idul fitrinya.”tambah kak Nauma dengan percaya diri.
“Toko-toko di kota gak bakalan tutup secepat itu, dek. Santai aja. Juga kan udah diperhitungkan semuanya. Ramadhan 30 hari tahun ini.” Jawab kak Madi.
“Kak Madi kan janji sama kita. tepatin janjinya dong.” Sanggahku.
“Iya dek. Kakak ingat. Tapi kan gak harus sekarang juga.”jawab kak Madi.
“gak sekarang juga maksudnya kak. Ih sebel.”akhiri kak Nauma. Lalu berdiri dan meninggalkan kami.
Aku dan kak Madi masih duduk di ruang tamu sementara kak Nauma pergi ke kamarnya. Kak Madi mungkin belum bisa mengajak kami dalam waktu dekat. Tapi bulan ramadhan juga sebentar lagi berakhir. Kalau tidak cepat, kita akan lebih dulu sampai menuju syawal daripada ke kota. Perjalanan ke syawal lebih pasti ketimbang perjalanan ke kota yang belum tentu kapan.
Esok harinya kak Madi dan kak Nauma sama sekali tak melanjutkan pembicaraan apa-apa lagi. Jangankan mau ke kota berteguran saja tidak. Dari sesudah shubuh hingga ngaji ba’da tarawih. Tanpa percakapan diantara mereka berdua. Kalau mau bicara pasti lewat perantara aku. Bilangin ke sini. Bilangin ke situ. Aku tidak bisa membiarkan ini terus. Selain capek jadi penghubung suara diantara keduanya juga nanti tidak jadi ke kota. Dan aku gak punya baju baru.
***
Malam itu juga aku menunggu kak Madi di teras depan. Agak lama. Sampai ia benar-benar datang. Dengan tanpa sabar. Kak Madi yang belum masuk ke halaman sudah aku teriyaki.
“Kak Madi, besok udah tanggal 29 ramadhan. Kapan kita mau ke kota ?”tanyaku penasaran.
“Gimana kalau besok saja?”jawab kak Madi.
“Beneran?. Iya kak. Besok saja ke kota.”tanggapku secepatnya.
Aku langsung memeluk kak Madi. Karena senang mendengar jawaban yang diunggu-tunggu dari kemarin itu. Kak Nauma sepertinya tadi juga baru sampai di rumah beberapa saat lalu. Ia harus tahu kabar baik ini. Pasti ia juga akan senang mendengarnya. Segera aku menuju kamar kak Nauma.
“Kak kita besok ke kota.” Kataku.
“Iya dek.”jawab kak Nauma biasa-biasa saja. Mungkin kecewa atau sudah tidak berharap lagi.
***
Di kota memang semakin ramai saja. Apalagi di hari-hari yang mendekati hari raya ini. Orang-orang banyak yang membeli keperluan hari raya. Dari bahan masakan untuk menu hari raya sampai pakaian baru yang akan digunakan nanti. Di toko baju yang kami datangi saja banyak sekali orangnya. Kami kesulitan memilih-milih baju yang pas. Banyak baju bagus dan mahal di toko itu. Dan yang terkejutnya adalah kak Madi juga mempersilahka kami untuk mengambil satu pakaian lagi. Dia yang akan membayarnya. Kami jadi dapat dua buah baju. Begitu kulihat kak Nauma. Ia terlihat senang.
“Terima kasih banyak kak.”ujar kak Nauma pelan.
“Maaf juga karena kemarin Nauma sempat ngambek sama kakak.”tambahnya lagi.
“Iya dek. Sama-sama. Setelah ini kakak ada kejutan lagi.”jawab kak Madi.
Sepulang dari toko baju kami tak langsung ulang. Padahal hari sudah kian sore. Anehnya ibu belum juga menelpon. Ternyata setelah itu kak Madi mengajak kami ke pantai yang ada di kota untuk ru’yatul hilal. Diteruskan hingga mengikuti sidang isbat di salah satu komplek pesantren yang ada di kota. Kak Nauma sangat senang dan antusias mengikutinya. Aku juga ikut senang.
Pergaulan diantara kakak-kakakku yang mungkin jadi akarnya. Kak Madi yang terkesan moderat dan nyantri di pesantren yang juga modern di daerah kota tentu saja berbeda dengan Kak Nauma yang nyantri di daerah desa yang terkesan tradisional. Tapi bagaimanapun perbedaan pandangan mereka. Aku tahu mereka saling menyayangi. Dan aku juga sayang mereka. Di hari itu kami tiba di kota dan juga bulan syawal.
***
Dalam bersaudara memang mesti saling memahami. Berbeda bukan berarti tak bisa mengerti. Nikmati saja prosesnya di ujungnya nanti pasti bisa saling memahami.
1 Comments
����
ReplyDelete