Melihat Semesta Filsafat Islam (Filsafat 3)

Filsafat pada dasarnya adalah berpikir secara mendalam, teliti, dan dengan penyelidikan menggunakan alasan. Maka ketika kita mulai berpikir dan mempertanyakan banyak hal dengan mendalam itu berari kita sedang berfilsafat. Banyak yang pusing dan malas melihat filsafat mungkin karena pembahasan yang mendalam dan seringkali membingungkan ini.

Kalau kita lihat secara bahasa, Filsafat itu berarti mencintai (Phillein) bijaksana (Sophia). Berusaha melihat, mengetahui dan mencintai kebijaksanaan adalah proses berfilsafat. Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa konsep filsafat ini sebenarnya sama dengan apa yang kita sebut hikmah. Mempelajari filsafat berarti mencari hikmah.

Mengetahui dialektika antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd dan pengalaman diskusi filsafat besama teman-teman di LPM Justisia membuat saya mulai melihat filsafat. Sebagai sebuah ilmu sekaligus sebuah metode. Banyak hal yang bisa didapat dari filsafat sebagai tolak pikir kita dalam kehidupan sehari-hari. Kita jadi lebih mudah memahami perbedaan antara satu dan yang lain.

Filsafat sudah ada sejak zaman Yunani. Banyak filsuf Yunani yang terkenal seperti Thales, Socrates, Plato (427-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Bahwa sejak masa kehidupan mereka, pertanyaan, pemikiran, dialog, diskusi tentang alam dan kehidupan sudah ada. Pemikiran ini juga terus berkembang seiring perkembangan pemahaman manusia terhadap alam dan kehidupan.

Filsafat dan pemikiran Yunani sudah dipelajari para sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa, dan Qinnesrin (Syiria Utara), juga di Nisibis (Dataran tinggi Irak) sejak abad ke-4 Masehi. Setelah beberapa tahun berlalu. Islam lahir pada abad ke-6 Masehi. Dan mulai berkembang ke wilayah tersebut pada masa Umar bin Khatttab (634-644 M).

Penerjemahan karya-karya filsafat Yunani tersebut mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa Bani Umayyah (685-705 M). Kebanyakan yang diterjemahkan adalah buku-buku administrasi dan pemerintahan. Demi mengimbangi peradaban Persia kala itu. Setelah itu baru buku-buku kedokteran, kimia dan antropologi.

Proses penerjemahan buku-buku filsafat secara lebih serius baru dilakukan pada masa Bani Abbasiyah, Khalifah al-Makmun (811-833 M). Saat itu bahkan dibentuk tim khusus yang bertugas melawat ke negeri yang lain demi mencari buku pngetahuan apa saja yang pantas diterjemahkan dan dikembangkan.

Proses penerjemahan dan pembelajaran atas buku-buku filsafat dilakukan secara massal. Hal ini juga dilakukan karena para pemikir muslim ketika itu merasa perlu untuk mencari sistem berpikir rasional dan argument-argumen yang lebih kuat (metode burhani). Selain itu, metode bayani ala fuqaha  sudah tidak memadai dalam menjawab persoalan-persoalan yang semakin kompleks.

Ira M. Ladipus menyatakan bahwa filsafat Islam bukan sekedar analisis tetapi juga telah menjadi bagian dari agama Islam.

Apakah ini berarti pemikiran filsafat islam itu berasal dari filsafat Yunani ? Beberapa pihak ada yang berpendapat begitu. TENTU SAJA TIDAK SEPENUHNYA BENAR. Karena sebelum logika dan filsafat Yunani dikenal, Tradisi keilmuan di dunia Islam telah mengenal model pemikiran rasional filosofis dalam kajian teologis (ilmu kalam) dan hukum (ilmu fiqih).

Kalau begitu, dari mana sumber rasionalitas dalam Islam ? Banyak pihak peneliti muslim dan non-muslim yang menyatakan bahwa tradisi filosofis itu bukan berasal dari luar Islam. Tapi dari dalam diri Islam sendiri, yaitu Al-Qur’an. Khususnya dalam penyelarasan antara wahyu dan akal. Antara teks keagamaan dan kehidupan sehari-hari.

Pemikiran filsafat Islam yang berkembang setelah penerjemahan itu pertama kali diperkenalkan oleh al-Kindi (806-875 M). Dalam kata pengantar Falsafah al-Ula, ia menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat.

Sepeninggal al-Kindi, lahirlah ar-Razi (865-925 M). Ia dikenal sebagai seorang rasionalis murni. Ia melihat hakikat manusia adalah akal atau rasionya. Akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik.

Perkembangan filsafat pada dunia Islam bukan tanpa hambatan. Banyak juga para ulama salaf yang menentang filsafat. Atas dasar kekhawatiran bahwa filsafat akan mengurangi rasa hormat Islam terhadap ajaran agamanya dan mengurangi pengaruh Machieanisme Persia yang berbeda jalan dengan ajaran Islam yang disebabkan pemikiran filosofis. Yang menentang ini termasuk adalah Ibnu Hanbal (780-855 M).

Pemikiran filosofis al-Farabi (870-950 M) juga mempunyai pengaruh besar pada pemikiran setelahnya di bidang metafisika (teori emanasi yang menyatukan teori Neo-platonis dengan tauhid Islam) dan landasan bagi pengembangan ilmu pada umumnya.

Menurut Ali Sami, pemikiran al-Farabi itu tidak hanya dipakai filsuf murni, tetapi juga oleh para tokoh yang menentang filsafat seperti al-Ghazali (1058-1111 M). Pemikiran al-Ghazali ini juga sangat berpengaruh terhadap pasang surut filsafat Islam. Seperti yang dikatakan Muhammad Iqbal, “Filsafat itu tidak dihancurkan dari ortodoksi. Sebab filsafat hanya bisa dipatahkan dengan filsafat yang lain.

Konsep tentang emanasi itu kemudian diteruskan oleh Ibnu Sina (980-1037 M). Ibnu Sina juga berusaha memadukan antara filsafat an wahyu, pada aspek fungsi dan makna. Pada perkembangan selanjutnya filsafat Ibnu Sina dikritik oleh al-Ghazali dalam beberapa hal.

Karya al-Ghazali Tahafut Falasifah memang punya pengaruh dan merupakan salah satu faktor (oleh sebagian orang) sebagai kemunduran pemikiran filosofis umat Muslim. Lalu kran filsafat yang tertutup itu kembali dibuka oleh Ibnu Rusyd (1126-1198 M) dengan kritiknya dalam kitab Tahafut al-Tahafut. Ini sudah saya bahas di tulisan filsafat 1 dan filsafat 2.

Setelah Ibnu Rusyd, pemikiran filsafat dianggap selesai oleh sebagian orang. Padahal kenyataannya tidak demikian. Pemikiran filsafat di dunia Islam terus berlanjut. Ada filsuf-sufistik Suhrawari al-Maqtul (1153-1191 M) di Syria, Ibnu Hasan al-Thusi (1201-274 M) di Khurasan, Ibnu Mahmud al-Amuli (w. 1385 M), Jalal al-Din Ibn Asad al-Dawani (1425-1503 M), dan masih banyak lagi.

Semesta filsafat memang sangat luas sekali. Tetapi setidaknya di situ ada garis panjang dialektika antara para filsuf di zaman yang sama dan berbeda, dan dalam pengaruh kebudayaan dan sosial yang berbeda.

You Might Also Like

1 Comments