Garis Tipis di Ruang Ilmu
Ada tantangan tertentu bagi seseorang yang mempelajari ilmu pengetahuan di universitas, pada umumnya. Dan ilmu falak, secara khususnya. Karena saya memang kebetulan juga belajar pada bidang ini. Pembedaan Ilmu Pengetahuan dan Agama. Seakan-akan ada garis tipis yang memisahkan keduanya.
Pembedaan ini disebut juga dikotomi ilmu pengetahuan. Menurut saya ini tidak hanya dialami bagi ilmu-ilmu alam. Tapi juga dialami oleh ilmu-ilmu sosial, teknologi, dan lain-lain. Apalagi ketika mereka bertemu dengan keyakinan dan tafsir-tafsir kitab suci tertentu.
Pemisahan ini setidaknya sedikit banyak dipengaruhi oleh sekularisasi ilmu pengetahuan. Bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan dan agama itu berdiri terpisah. Sekularisasi ilmu pengetahuan ini mengalami konflik besar ketika terjadi pertentangan antara Galileo dan kaum gereja sekitar abad ke 15-16 Masehi di Eropa.
Galileo memperoleh pendapat Copernicus (1473-1543 M) bahwa matahari adalah pusat jagat raya (heliosentrisme), Sedangkan pandangan gereja, bahwa bumi adalah pusat jagat raya (geosentrisme) didasarkan pada informasi gereja. Pertentangan dua pendapat ini berada pada ruang ilmu alam. Bagaimana sebenarnya kita memahami alam. Pertentangan antara geosentrisme dan heliosentrisme adalah hubungan konflik ilmu dan agama dalam ruang ilmu alam.
Di era kekhalifahan Abbasiyah juga pernah terjadi pertentangan ini tapi pada ruang ilmu sastra. Pembunuhan dengan dalih mencegah bid’ah terjadi terhadap dua penyair. Bashar Ibn Burd (didakwa menulis puisi yang tak senonoh dan sesat) dan Manshur al-Hajjaj (atas pernyataan ana al-Haq).
Dan hubungan antara ilmu (yang menggunakan akal) dan agama (yang menggunakan wahyu) ini juga pernah terjadi antara para ilmuan muslim (baca: Dialog Ghazali-Ibnu Rusyd) dalam ruang metafisika.
Hal tadi adalah bentuk hubungan antara ilmu dan agama. Hubungan ini memang abu-abu dan pelik. Pada perkembangan selanjutnya terjadilah sekularisasi ilmuwan pengetahuan dan agama. Memang ketika hubungan merumit. Perpisahan jadi pilihan. Dikotomi ilmu pengetahuan dan agama mungkin salah satunya.
Dalam mata kuliah Falsafah Kesatuan Ilmu bersama Pak Abu Hapsin, bahwa dalam Islam sebenarnya tidak ada pembedah bean ilmu. Bahwa hakikatnya segala ilmu yang didapat dan dicapai manusia itu sama-sama berasal dari Allah. Ilmu pengetahuan itu bisa didapatkan dari wahyu dan akal budi manusia.
Ibu Karlina Supelli, Astronom perempuan Indonesia, dalam pidatonya menyatakan bahwa, Ilmu pengetahuan tidak mengajarkan kepastian. Ia melatih akal budi untuk berani menyangsikan segala sesuatu. Termasuk mempertanyakan keimanan. Segala sesuatu yang telah teruji lewat kesangsian demi kesangsian ini akan semakin kokoh. Ilmu pengetahuan, Opini dan Keimanan kita sendiri.
Adakah dampak yang terjadi pada ilmu falak ? Tentu saja ada. Pemahaman tentang batas ilmu falak terjadi. Falak dinilai sebagai ilmu yang mempelajari benda langit sebatas manfaatnya terhadap ibadah umat Islam. Ia dipisahkan dari kawanan astronominya yang lain. Padahal objek kajian antara falak dan astronomi itu sama. Yaitu benda-benda langit.
Pada abad pertengahan masa dinasti Abbasiyah, tanda-tanda kemunculan ilmu falak/ astronomi islam mulai terlihat. Al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al-Khawarizmi, Al-Battani (858-929 M), Al-Farghani (805-880 M), Ibnu Haitam (965-1039 M), Ibnu Yunus (950-1009 M), Abul Abbas (w. 861 M) adalah nama-nama yang menjadi rujukan astronomi bahkan hingga sekarang.
Ilmu falak termasuk ilmu alam karena ciri dan metodenya yang sama dengan astronomi (secara epistemologi). Tapi ia juga termasuk ilmu agama karena nilai dan manfaatnya bagi ibadah umat Islam, seperti arah kiblat dan awal bulan hijriyah (secara aksiologi). Bukankah beberapa teman-teman ilmu falak meyakini ini ? atau tidak ?
Jika astronom muslim terdahulu bisa ikut berkontribusi, menyumbangkan pengamatannya pada kemajuan astronomi abad pertengahan. Lantas apa yang kurang dari para calon astronom muslim (pegiat falak) masa kini ? Apakah mereka bisa ikut mengejar dan menyumbang di masa kini ? demi semangat apa ?
Yang seringkali terlewat adalah bagaimana kita melihat benda-benda langit itu. Kita melihatnya sebatas kepentingan ibadah kita terhadapnya. Arah kiblat, Awal Bulan Kamariah, Gerhana. Di lembar-lembar itu kita membaca langit. Kita menandai tiap baris-baris waktu yang tertulis di kitab alam semesta.
Kita terlewat. Bahwa kitab alam semesta tidak hanya memiliki lembar-lembar itu. Kitab semesta yang bertuliskan ayat-ayat kauniyah itu sangat luas. MEMBACA AYAT-AYAT KAUNIYAH TENTU SAJA SAMA DENGAN MEMBACA AYAT-AYAT QOULIYAH. DALAM ARTIAN KEDUANYA SAMA BERASAL DARI SANG PENCIPTA. Dan para astronom adalah orang-orang yang membaca semua itu. Bahwa cara mendekat kepada-Nya juga bisa melalui ayat-ayat dalam kitab semesta yang tentu saja dicipta oleh-Nya.
Walaupun sama-sama berasal dari-Nya, bukan berarti cara memahami dan menafsirkannya juga sama. KITA MEMBUTUHKAN CARA-CARA BERBEDA DALAM MEMBACA, MENAFSIRKAN DAN MEMAHAMINYA. Dan perbedaan cara memahami kedua hal itu tentu saja tidak serta merta bisa diselaraskan. Kita mesti hati-hati. Barangkali itu adalah garis tipis di ruang ilmu ?
0 Comments