Astronomi Kutai ?



Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang sebentar dengan nenek yang kian sepuh. Malam ini pembahasan kami sedikit berbeda. Tentang bagaimana tradisi astronomi yang pernah berkembang di kalangan suku Kutai di pedalaman Kalimantan timur.  Khususnya yang dialami secara langsung oleh para sesepuh terdahulu.

Kami berusaha kembali mencari sekelebat ingatan yang kian pudar. Walaupun tidak terlalu rinci, setidaknya saya bisa ikut merasakan ikatan emosi yang kuat antara apa yang saya pelajari di bangku universitas dengan apa yang dulu keluarga pernah ketahui dan hayati. Tentu saja dalam bidang astronomi (tradisi pengamatan benda-bneda langit) suku Kutai. Walaupun saya bukan tulen orang kutai seutuhnya. Saya tetap mencintai kutai sebagai bagian dari diri dan lingkungan saya tumbuh. Sedikit dari kisah-kisah yang dituturkan ini mungkin tidak terlampau mewah dan megah. Hanya kisah sederhana. Tapi itu semua ditulis di sini sebagai bagian kecil dari data empiris suku kutai dalam mengamati langit.

Kutai adalah salah satu dari sub suku yang terdapat di Kalimantan. Sebatas pengetahuan saya bahwa terdapat empat nama suku besar di Kalimantan. Diantaranya dayak, banjar, kutai, dan melayu. Dayak merupakan sebutan bagi dingsanak tuha (saudara tertua dalam bahasa kutai) diantara suku-suku tersebut. Walaupun kata “dayak” tersendiri bukanlah berasal dari suku pribumi asli Kalimantan. Itu adalah panggilan orang-orang pendatang terhadap suku pribumi asli Kalimantan tempo dulu. Kutai dan Banjar adalah masyarakat dayak yang bertransformasi karena pertemuan budaya dan agama baru yang berbeda. Begitulah sekilas tentang kutai.

Kembali pada tradisi pengamatan benda-benda langit. Di setiap awal bulan, orang-orang terdahulu akan memperkira-kirakan berapa umur nak bulen (Secara harfiah diartikan anak Bulan) di langit. Nak bulen yang dulu disebut itu kita kenal sekarang dengan bulan sabit atau hilal. Fase akhir pergerakan Bulan dalam mengelilingi bumi adalah ketika bagian Bulan yang terkena sinar matahari adalah bagian yang membelakangi bumi. Sehingga Bulan tidak lagi tampak dari bumi. Ini adalah fase tanpa Bulan. Dalam terminologi astronomi ini yang disebut kondisi konjungsi (Ijtimak dalam bahasa arab yang dikenal pegiat falak) dan mulainya bulan baru.

Bulan tidak akan terlihat hingga mencapai derajat tertentu. Bagi beberapa kalangan muslim, rukyatul hilal adalah metode yang digunakan dalam penentuan awal bulan hijriyah. Selain ada juga yang meyakini bahwa konjungsi yang didasarkan perhitungan astronomi tadi sudahlah cukup bagi syarat penentu awal bulan kamariah. Rukyatul hilal dilakukan demi melihat sebagian kecil permukaan bulan yang memantulkan cahaya matahari tersebut (hilal). Ini dilakukan di akhir bulan.

Berbeda dengan rukyatul hilal yang dilakukan setiap menjelang awal bulan hijriyah. Nak Bulen yang diamati oleh beberapa orang dari suku kutai dahulu dilakukan ketika tanggal tiga hingga lima di awal bulan. Hal ini dilakukan karena pengamatan yang memungkinkan untuk dilihat kala itu adalah ketika tanggal tersebut. Permukaan Bulan di tanggal tersebut akan lebih jelas dan memungkinkan untuk dilihat. Yang uniknya bahwa pengamatan itu akan dilakukan dengan membentangkan ampek (sebentang kain). Kain ini hanya satu lapis dan tipis. Kain akan dibentangkan dan diarahkan ke nak bulen ye bekerok (“melengkung” sebutan bagi bulan dari tanggal tiga hingga tujuh). Menariknya lagi bahwa cara mengetahui apakah itu tanggal tiga atau lima itu adalah dengan jenjeng ye ade di nak bulen (saya agak bingung mengartikan kata jenjeng yang diucapkan nenek. Mungkin dalam bahasa Indonesia kita artikan lapisan bulan). Hal itu diperhatikan dengan susunan tiga lapis jari. Jari telunjuk, tengah hingga jari manis. Tiga lapis jari berarti tanggal tiga. Sedangkan lima lapis jari berarti tanggal lima.

Fase kedua bulan dalam astronomi disebut dengan kuartal pertama. Suatu posisi dimana Bulan kelihatan separuh. Ini terjadi sekitar seminggu sejak awal bulan, atau Bulan telah melakukan rotasi seperempat putarannya. Ini adalah sekitar 6 jam lebih lambat daripada Matahari. Terbitnya di sebelah timur adalah sekitar tengah hari, berada tepat di tengah langit kita pada sekitar Matahari tenggelam, dan tenggelam di ufuk barat sekitar tengah malam. Pada fase tanggal delapan setiap bulan itu disebut nenek dengan papat gentang (kata papat itu semakna dengan seperempat. Mungkin yang dimaksud bahwa bulan telah melalui seperempat lingkaran dari perjalanannya mengelilingi bumi). Saat Bulan telah melewati fase papat gentang ini, maka Bulan akan memasuki fase selanjutnya bekembong (membesar atau kembung).

Selain dari fase-fase dan metode pengamatan benda-benda langit tersebut. Nenek juga bercerita tentang penampakan dan penamaan bintang-bintang. Ada Bintang belentik (Kata belentik di sini mengacu pada jebakan yang dibuat orang-orang kutai untuk menjebak hewan-hewan di tengah hutan) dan Bintang Tahun (Penampakan “bintang tahun” ini akan menjadi acuan dalam behuma/bertani/berkebun). Bintang belentik itu menunjukkan pada bintang terang di tengah langit malam. Saya tidak tahu persis bintang yang dimaksud dengan bintang belentik dan bidang tahun ini.

Saya pikir bahwa budaya semacam ini juga terdapat dalam banyak daerah di Indonesia. Yang mungkin kurang lebih sama. Yang belum saya ketahui. Istilah-istilah bahasa kutai yang berkaitan dengan astronomi yang saya temui di malam lepas itu menguatkan ikatan emosi saya dengan budaya saya dan astronomi yang saya pelajari. Bahwa sebenarnya astronomi yang kian berkembang itu juga pernah tumbuh dekat dengan saya.

 


You Might Also Like

0 Comments