Ada satu hal yang menjadi kekhususan sebuah pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan. Hal itu adalah pendidikan spiritual. Tidak semua lembaga pendidikan memiliki pendidikan spiritual seperti pesantren. Selain menjadi ciri khas, pendidikan semacam ini juga menjadi nilai lebih pondok pesantren.
Jika dilihat secara lebih luas lagi pondok pesantren telah menjadi lebih dari sekedar lembaga pendidikan (Baca: Pesantren, Islam dan Indonesia). Lembaga berbagai bidang yang asli berasal dari Indonesia ini telah menyumbangkan banyak hal. Bagi perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia. Mengingat betapa besar dampak pergerakan masyarakat pesantren dari masa kedatangan Islam, Perlawanan terhadap penjajah hingga masa milenial seperti sekarang.
Pendidikan spiritual ini juga yang menjadi harapan para santri dan keluarganya. Ini menjadi hal yang paling dicari apalagi dalam arus globalisasi dan arus kebudayaan yang mengalir di derasnya zaman. Pesantren adalah tempat untuk mendapatkannya.
Selain menjadi pusat keilmuan Islam dengan kajian kitab kuningnya. Pesantren juga menjadi pusat gerakan tasawuf di Nusantara. Pengajaran tasawuf inilah yang saya maksudkan sebagai pendidikan spiritual di pesantren.
Dalam agama Islam, kita mengenal dengan Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga hal itu juga jika diletakkan pada bidang keilmuan lebih kita kenal dengan tauhid, syariah dan akhlak (tasawuf). Tiga hal ini merupakan sebuah kesatuan. Tidak perlu dipisahkan antara satu dan yang lain.
Menurut Hasyim Asy’ari dalam tulisan Nuecholish Madjid, praktek pengajaran tasawuf dengan tarekat adlah untuk dapat menangkap wawasan tentang kebenaran dalam segala dimensinya. Kemampuan menangkap kebenaran ini merupakan hal yang sulit bagi manusia.
Komunitas pesantren terdiri dari Santri-santri dan seorang kyai. Letak kesamaan antara pesantren dengan tradisi tasawuf seperti tarekat adalah penghormatan kepada seorang kyai. Sikap ini merupakan ajaran dasar bagi seorang santri. Tradisi kepatuhan ini mungkin agak sulit dipahami bagi beberapa orang. Tapi hal semacam ini memang benar adanya di kalangan masyarakat pesantren.
Gus Dur pernah menulis bahwa sejarah penyebaran Islam di Indonesia merupakan hasil perpaduan doktrin formal dan kultus para wali (yang berpucak pada wali songo) sebagai sisa pengaruh pemujaan orang suci dalam agama hindu. Perwujudan ini, tampak nyata sekali dalam zuhd yang menjadi bagian yang lekat dalam kehidupan agama Islam di Indonesia.
Setidaknya ada dua bentuk tarekat yang ada di pesantren. Pertama, tarekat yang dipraktekkan mua pesantmenurut cara yang dilakuakan oleh organisasi tarekat. Kedua, tarekat yang dipraktekkan menurut cara-cara di luar ketentuan organisasi tarekat.
Dalam hal pertama, tidak semua pesantren dan kyai menganut aliran tarekat tertentu. Tetapi dalam pemahaman kedua, mungkin semua pesantren mengamalkan tarekat. Secara umum, praktek pembelajaran tarekat di pesantren itu seperti pengendalian hawa nafsu dengan berbagai disiplin diri. Sifat-sifat seperti Qona’ah (merasa cukup), tawadhu (rendah hati), amanah (dapat dipercaya) dan lain-lain adalah hal yang ingin dicapai para santri dalam proses pembalajaran tarekat ini.
Saya juga tidak akan menolak kenyataan bahwa kyai dan santri juga adalah manusia. Yang bisa salah dan keliru dalam bertindak dan membuat keputusan. Pendidikan spiritual di pesantren itu hanyalah salah satu bagian dari proses seseorang untuk menjadi lebih baik.
Saya teringat ucapan guru saya ketika di pesantren, “Berada di pondok pesantren itu memang baik. Tapi kebaikan itu tidak hanya berada di Pondok Pesantren. Di luar pesantren juga banyak kebaikan-kebaikan lainnya”.
Ini bagian terakhir dari tiga hal yang ada di pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan. Sebatas pengetahuan dan pengalaman saya tentang hal itu. Saya juga masih menjalani proses menjadi seorang santri seutuhnya. Toh, kita berharap, mencoba dan berproses menjadi orang yang lebih baik dari hari kemarin kan. Tabik.