Andy Evan

  • Teras
  • Ruang
  • _Tulisan
  • _Foto
  • Kontak


Ada satu hal yang menjadi kekhususan sebuah pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan. Hal itu adalah pendidikan spiritual. Tidak semua lembaga pendidikan memiliki pendidikan spiritual seperti pesantren. Selain menjadi ciri khas, pendidikan semacam ini juga menjadi nilai lebih pondok pesantren.

 

Jika dilihat secara lebih luas lagi pondok pesantren telah menjadi lebih dari sekedar lembaga pendidikan (Baca: Pesantren, Islam dan Indonesia). Lembaga berbagai bidang yang asli berasal dari Indonesia ini telah menyumbangkan banyak hal. Bagi perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia. Mengingat betapa besar dampak pergerakan masyarakat pesantren dari masa kedatangan Islam, Perlawanan  terhadap penjajah hingga masa milenial seperti sekarang.

 

Pendidikan spiritual ini juga yang menjadi harapan para santri dan keluarganya. Ini menjadi hal yang paling dicari apalagi dalam arus globalisasi dan arus kebudayaan yang mengalir di derasnya zaman. Pesantren adalah tempat untuk mendapatkannya.

 

Selain menjadi pusat keilmuan Islam dengan kajian kitab kuningnya. Pesantren juga menjadi pusat gerakan tasawuf di Nusantara. Pengajaran tasawuf inilah yang saya maksudkan sebagai pendidikan spiritual di pesantren.

 

Dalam agama Islam, kita mengenal dengan Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga hal itu juga jika diletakkan pada bidang keilmuan lebih kita kenal dengan tauhid, syariah dan akhlak (tasawuf). Tiga hal ini merupakan sebuah kesatuan. Tidak perlu dipisahkan antara satu dan yang lain.

 

Menurut Hasyim Asy’ari dalam tulisan Nuecholish Madjid, praktek pengajaran tasawuf dengan tarekat adlah untuk dapat menangkap wawasan tentang kebenaran dalam segala dimensinya. Kemampuan menangkap kebenaran ini merupakan hal yang sulit bagi manusia.

 

Komunitas pesantren terdiri dari Santri-santri dan seorang kyai.  Letak kesamaan antara pesantren dengan tradisi tasawuf seperti tarekat adalah penghormatan kepada seorang kyai. Sikap ini merupakan ajaran dasar bagi seorang santri.  Tradisi kepatuhan ini mungkin agak sulit dipahami bagi beberapa orang. Tapi hal semacam ini memang benar adanya di kalangan masyarakat pesantren.

 

Gus Dur pernah menulis bahwa sejarah penyebaran Islam di Indonesia merupakan hasil perpaduan doktrin formal dan kultus para wali (yang berpucak pada wali songo) sebagai sisa pengaruh pemujaan orang suci dalam agama hindu. Perwujudan ini, tampak nyata sekali dalam zuhd yang menjadi bagian yang lekat dalam kehidupan agama Islam di Indonesia.

 

Setidaknya ada dua bentuk tarekat yang ada di pesantren. Pertama, tarekat yang dipraktekkan mua pesantmenurut cara yang dilakuakan oleh organisasi tarekat. Kedua, tarekat yang dipraktekkan menurut cara-cara di luar ketentuan organisasi tarekat.

 

Dalam hal pertama, tidak semua pesantren dan kyai menganut aliran tarekat tertentu. Tetapi dalam pemahaman kedua, mungkin semua pesantren mengamalkan tarekat. Secara umum, praktek pembelajaran tarekat di pesantren itu seperti pengendalian hawa nafsu dengan berbagai disiplin diri. Sifat-sifat seperti Qona’ah (merasa cukup), tawadhu (rendah hati), amanah (dapat dipercaya) dan lain-lain adalah hal yang ingin dicapai para santri dalam proses pembalajaran tarekat ini.

 

Saya juga tidak akan menolak kenyataan bahwa kyai dan santri juga adalah manusia. Yang bisa salah dan keliru dalam bertindak dan membuat keputusan. Pendidikan spiritual di pesantren itu hanyalah salah satu bagian dari proses seseorang untuk menjadi lebih baik.

 

Saya teringat ucapan guru saya ketika di pesantren, “Berada di pondok pesantren itu memang baik. Tapi kebaikan itu tidak hanya berada di Pondok Pesantren. Di luar pesantren juga banyak kebaikan-kebaikan lainnya”.

 

Ini bagian terakhir dari tiga hal yang ada di pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan. Sebatas pengetahuan dan pengalaman saya tentang hal itu. Saya juga masih menjalani proses  menjadi seorang santri seutuhnya. Toh, kita berharap, mencoba dan berproses menjadi orang yang lebih baik dari hari kemarin kan. Tabik.

  • 0 Comments

Pembelajaran kemampuan-kemampuan sebagai minat dan bakat di pondok pesantren tentu saja bermacam-macam. Hal ini mirip semacam ekstrakulikuler. Setiap pondok berbeda dalam mendukung dan memiliki program-programnya sendiri. Tapi yang paling umum dimiliki adalah muhadharah (pidato atau khutbah). Hampir semua pondok mempunyainya.

Program pelatihan publik speaking ini yang nantinya menjadi dasar-dasar bagi para santri yang tertarik dengan ceramah. Atau menjadi penceramah. Untuk berlatih dan mendalaminya selama di pondok pesantren. Dari sini kemudian, beberapa orang beranggapan bahwa anak pondok pesantren hanya bisa mengaji dan ceramah. Padahal itu cuma sebagian dari banyaknya minat yang bermacam-macam. 

Di beberapa pondok pesantren minat dan bakat santri ini bisa bermacam-macam dengan manajemen yang juga tidak sama antara satu yang lain. Di Pondok Pesantren Al-Falah, Banjarbaru -tempat saya nyantri selama enam tahun- Minat dan bakat santri ini dibagi dalam banyak program yang berbeda. Ada program Amtsilati (program enam bulan untuk mengenal dasar-dasar tata bahasa arab), Program Bahasa Asing (Arab dan Inggris), Tahfidzul  Qur’an, Darul Hadits, Rebbana, Forum Pena Pesantren, Pramuka, Silat, Bahkan sepak bola.

Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan tetaplah sama dengan lembaga pendidikan (menengah dan atas) lainnya. Apa yang dicari adalah cara kita memaksimalkan seluruh potensi-potensi dalam hidup kita. Demi mencapai kehidupan yang lebih baik. 

Tetapi, tidak semua pondok pesantren memiliki program-program yang sama seperti itu. Hal ini tentu saja bergantung pada kondisi, visi, misi, dan manajemen suatu pondok pesantren. Jadi, pondok pesantren dalam hal pengembangan minat dan bakat ini sangatlah berbeda. Ini yang nantinya jadi nilai jual dalam menarik para calon-calon santri yang biasanya masih berumur belasan tahun.

Jika pondok tradisional biasanya lebih unggul pada bidang kajian kitab. Ruang minat dan bakat adalah tempat bagi pondok modern. Maka pondok pesantren yang moderat akan memilih tempat diantara keduanya. 

  • 0 Comments


Setelah mengetahui bahwa saya pernah lama tinggal di pesantren. Salah seorang teman saya yang non muslim bertanya,"Bagaimana pengajaran di pondok pesantren yang kamu jalani itu ? apakah sama dengan orang-orang yang suka teriak-teriak dan keras di sosial media ?"

Jujur saat itu saya terkejut. Kok bisa ada kesan seperti itu. Selama ini yang saya ketahui bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan bagi muslim dan muslimah untuk memahami agama Islam. Karena bersifat pendidikan, maka wajar jika proses itu memang butuh waktu yang lama. Namanya juga proses, pasti ada saat seorang santri bisa salah dan keliru. Diharapkan setelah kita lama nyantri itu bisa membuat kita rendah hati dan mengakui bahwa kita hanyalah bagian kecil dari besarnya sistem semesta ciptaan Tuhan.

Keseharian di pondok pesantren yang dilakukan tentu saja ngaji (belajar) kitab-kitab klasik, berlatih ibadah-ibadah sunnah (pengembangan kecerdasan spiritual), dan kemampuan-kemampuan seperti bercocok tanam, publik speaking, bahkan bisnis. Kegiatan santri di pondok pesantren pastinya tidak akan terlepas dari tiga hal itu. 

Dalam kajian kitab klasik biasanya santri akan mengartikan dan memaknai kitab-kitab tertentu dengan dibimbing oleh Ustadz atau Kyai. Seorang kyai akan membacakan Kitab klasik dan dilanjutkan dengan mengartikan dan menjelaskannya. Santri agak mendengar dan mencatatnya. Biasanya sesederhana itu. Selain itu, prosesnya juga bisa dengan tanya jawab atau diskusi antara santri dengan atau tanpa ustadz.

Kitab-kitab klasik yang dibahas juga bermacam-macam. Dari tauhid (teologi), fiqih (hukum), akhlak (etika), bahkan hingga tata bahasa arab. Beberapa pondok bahkan mtemasukkan tata bahasa inggris dan mandarin dalam kurikulum mereka. Sejauh yang saya ketahui. Termasuk kitab yang dikaji juga tentang sastra bahkan filsafat. (Baca: Nyantri Sambil Berpuisi).

Pembelajaran kitab klasik ini bisa bermacam-macam. Tapi kajian kitab tauhid, fiqih dan akhlak tetaplah yang paling utama. Inilah yang membuat pesantren sebagai lembaga pendidikan agama islam dianggap lebih mendalami agama daripada lembaga pendidikan yang lain. 

Perlu diketahui juga, bahwa kajian kitab klasik pada setiap Pondok Pesantren sangatlah berbeda. Makanya kita mengenal ada ponok pesantren tradisional, modern, atau semi dari keduanya.  Pondok pesantren Tradisional biasanya akan mengutamakan kajian kita-kitab klasik ketimbang pendidikan formal seperti MA, SMA, MTs, dan SMP.  Tapi bukan berarti mereka tidak peduli dengan pendidikan formal. Para santri pondok pesantren tradisional biasanya memiliki pilihan antara masuk sekolah swasta atau mengikuti uijan kesetaraan. Seperti paket A, B dan C. Di sisi kajian kitab klasik dan kemampuan baca tulis bahasa arab sudah tidak usah dipertanyakan lagi. Kebiasaanya begitu. Bahasa arabnya akan lebih pada reading and writing.

Sedangkan pada Pondok Pesantren Modern akan lebih mengutamakan pada kemampuan berbahasa asing dan lainnya. Seperti publik speaking, bercocok tanam, bahkan bisnis. Ketimbang kajian kitab-kitab klasik. Santri Pondok Pesantren Modern akan memiliki kelebihan berbahasa arab dan Inggris secara lisan dan tulis. Speaking dan writing. Kemampuan publik speakingnya juga baik. kebiasaannya juga begitu.

Yang terakhir adalah Pondok Pesantren Semi Tradisional-Modern. Saya pikir, pondok semacam ini adalah pondok-pondok tradisional yang mulai melakukan perubahan dan pengembangan ke arah kemodern-modernan tanpa menghilangkan ketradisionalannya. Atau bisa juga sebaliknya. Pondok Modern yang menambahkan kajian-kajian kitab klasik dengan lebih banyak lagi. Hal ini dilakukan agar mendapat keseimbangan antara kajian islam yang tradisional dan perkembangan zaman modern.

Berbagai macam pondok yang saya bahas di atas adalah hasil dari pengalaman dan pengamatan saya pribadi atasnya. Saya tidak berusaha membandingkan antara satu dengan yang lain. Setiap Pondok Pesantren tentu saja memiliki kelebihannya masing-masing. Yang ingin saya sampaikan bahwa Kajian dan pembelajaran di Pondok Pesantren itu berwarna-warni. Tentu saja pondok pesantren di sini adalah pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan di masyarakat.

Pembelajaran yang berbeda itu tentu saja akan memperkaya dunia kepesantrenan di Indonesia. Tabik.
  • 0 Comments


Pesantren adalah salah satu bagian dari pendidikan islam yang khas Indonesia. Bukan saja sebagai sebuah lembaga pendidikan tetapi juga sebagai sebuah lembaga kultural, sebagai agen pembaharuan, dan sebagai pusat pembelajaran masyarakat. Sebagaimana yang pernah disampaikan Gus Dur dalam tulisannya. Dengan begitu pesantren menjadi bagian yang penting dalam masyarakat Indonesia. 

Bahkan sejak awal mula datangnya islam ke Indonesia hingga perjuangan rakyat Indonesia dalam merenbut kemerdekaan. Pesantren banyak membantu masyarakat dalam proses menjadi masyarakat yang lebih berbudaya dan bermartabat.

Sebagai lembaga kultural yang menggunakan simbol-simbol budaya seperti pakaian, arsitektur bahkan penyampaian dakwah. Pesantren-pesantren di jawa banyak yang menggunakan arsitektur khas budaya jawa, pakaian-pakaian batik jawa yang juga akrab dengan masyarakat sekitar. Juga pesantren-pesantren di kalimantan, seperti Pesantren Al-Falah di kalimantan selatan yang hingga kini masih mengadakan pembelajaran atau dakwah di kalangan santri dengan madihin sambil diselingi lelucon-lelucon khas santri dan pakaian-pakaian batik sasirangan yang juga khas masyarakat banjar. Dengan ini perannya yang pengguna bertambah menjadi penjaga dan pengembang kebudayaan yang ada.

Pesantren juga memperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan. Ini juga yang disebut Gus Dur sebagai agen pembaharuan. Desa-desa yang dulunya  merupakan suatu daerah tertinggal kemudian mampu menjadi daerah yang makmur acapkali setelah lahirnya pesantren di daerah tersebut. Dalam pengalaman penulis ketika nyantri di Pesantren Al-Falah di daerah Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Bahwa bagi masyarakat sekitar pesantren, kehadiran pesantren di daerah itu mampu menggerakkan perekonomian masyarakat. Begitu juga dengan Pesantren An-Ni’mah daerah dapur 12, Batam, Kepri. Masyarakat banyak terbantu dengan kehadirannya di daerah itu. Pesantren juga termasuk daripada pusat kegiatan pembelajaran masyarakat. Hal ini tentu saja mengacu pada sejarah pesantren yag dulunya hadir sebagai wadah pembelajaran oleh penyebar islam di awal kedatangannya di Indonesia.

Islam dan kebudayaan memang tidaklah bisa dilepaskan. Pesantren adalah perpaduan antara agama islam dan kebudayaan lokal dalam satu lembaga. Ismail Fajrie Alattas mengatakan bahwa, sebagai antropolog ia mengetahui bahwa budaya adalah sistem dan jaringan simbolis yang tersusun sedemikian rupa. Sehingga memungkinkan pemaknaan. Tanpa budaya, mustahil manusia dapat memahami sebuah fenomena. Berarti pemahaman kita yang khas terhadap islam merupakan hasil dari perpaduan antara islam dan budaya kita. Maka bolehkah kiranya jika saya mengatakan bahwa di lembaga pesantren ini lebih mudah melahirkan islam yang telah beradaptasi dengan kebudayaan Indonesia. Karena pesantren yang merupakan lembaga yang dekat dengan masyarakat.

Pesantren juga banyak membantu dalam kelahiran dan perkembangan bangsa Indonesia. Keikutsertaan para santri dalam ikut berperang mengusir penjajah juga bagian dari peran pesantren dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. Santri-santri yang ada di daerah-daerah itu juga yang menjadi penggerak dan pendorong perkembangan masyarakat yang ada di daerahnya. Diantaranya bahn banyak yang menjadi menteri bahkan presiden. Idham Khalid yang pernah menjabat sebagai Agama adalah santri. Gus Dur yang menjadi Presiden Republik Indonesia adalah seorang santri. Bagi kalangan pesantren, mereka yang dipercaya menjadi pemimpin negara dari kalangan santri memberikan kepercayaan diri para santri sekarang dan kepercayaan masyarakat terhadap kalangan pesantren. 

Kemudian jika kita lihat keadaan masyarakat Indonesia sekarang, yang mengadapi tantangan hoax, ujaran kebencian bahkan disintegrasi bangsa, Juga merupakan tantangan kalangan pesantren untuk membantu masyarakat. Pesantren mestilah menjadi salah satu lembaga yang ikut dalam mengurangi kebencian dan menyebarkan kasih sayang. Di situ juga seharusnya lebih ditanamkannya rasa toleransi antar umat beragama. Maka langkah selanjutnya yang diharapkan dari kita sebagai umat islam dan bangsa Indoneia adalah menjaga tradisi kepesantrenan kita ini. Agar tetap ada dan bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan masyarakat Indonesia. Tabik.
(Andi Evan Nisastra).
  • 0 Comments

Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selain ngaji dan ngaji. Untung saja di Ponpes Al-Falah -tempat saya nyantri kala itu- ada banyak kegiatan sejenis ekstrakulikuler yang bisa diikuti. Setidaknya pengalaman berkegiatan dan berorganisasi semacam itu membantu sedikit banyaknya di masa-masa setelahnya. 

Salah satu kegiatan saya waktu itu sekedar sibuk di Forum Pena Pesantren (selain Program Bahasa dan Darul Hadits). Karena memang yang paling diutamakan, ya mengaji. Walaupun sering tertidur dan setengah sadar menahan kantuk.

Terkadang saya suka mensiasati rasa kantuk yang menyerang saat mengaji dengan mencuri-curi waktu membuka-buka buku-buku sastra. Atau apa saja yang bisa mengalihkan rasa kantuk

Ketika sudah agak melek, lanjut ngaji lagi. Meskipun bisa juga malah keasyikan buku, bukan memaknai kitab yang dikaji. Sudah jadi rahasia umum bagi teman-teman. ketika ke kelas, ada satu dua buku yang diselipkan diantara kitab-kitab kuning yang dibawa. Bukunya juga bermacam-macam. Bisa Novel, Komik, Buku puisi, ya tergantung selera setiap pribadi.

Ya, kembali ke Menulis Puisi.

Karena kegiatan dan kehidupan saat itu memang sudah diatur dan tenang-tenang saja. Seorang santri ya kesibukannya mengaji dan berlatih kesalehan secara spiritual dan sosial. Minat terhadap berbagai hal lain tentu saja muncul dan perlu dialirkan. Apalagi bagi santri-santri remaja yang masih dalam semangat berapi-api mengenal hal baru.

Puisi adalah salah satu aliran yang saya pilih dalam menyalurkan semangat itu. Walaupun tidak tahu bakalan jadi apa nantinya. Ya, jalani saja dulu.

Dulu pertemuan saya dengan teks-teks sastra juga terbatas. Mengingat santri tidak bisa keluar masuk pondok seenaknya. Kami hanya bisa memaksimalkan koleksi buku-buku sastra yang ada dan kitab-kitab-kitab kuning seperti balaghah dalam memahami sastra.

Sebagai catatan, dulu aturan tentang buku-buku sastra juga terbatas ketika di pondok. Ada beberapa buku-buku yang dilarang. Bukan karena diksi dan metafora dalam buku tersebut. Tetapi hanya karena kekhawatiran kalau itu membuat santri terlena dan malas mengaji di kelas atau di masjid.
  
Saya dan teman-teman seperti Alwi, Restu, Rijal, dan Dicky yang tertarik bermain kata dan bahasa biasanya suka menyusun beberapa kalimat dan menempelkannya di Majalah Dinding Santri atau di Buletin tahunan. Ya, walaupun tidak bagus-bagus amat. Setidaknya ada dua-tiga karya yang dihasilkan. 

Hal ini juga sekaligus merangsang santri untuk menulis dan berkarya. Apalagi, ada beberapa anggapan asing kala itu. Bahwa sebelum mencapai tingkat tertentu, seorang santri mesti memiliki satu buku karya pribadi atau kolektif yang dibuahkan.

Dalam menjelajahi dunia sastra dan menulis itu setidaknya ada lentera kecil yang pernah kami nyalakan. Dengan harapan nyala itu bisa tetap hidup bahkan setelah kelulusan kami.

Bagi saya pribadi,  kebiasaan menulis itu memang sangat membantu di alam perkuliahan yang sedang saya jalani saat ini. 

Tetapi, Saat tugas dari dosen menumpuk. Kebiasaan menulis seringkali dilakukan sebagai pemenuhan kewajiban. Dalam bentuk makalah atau artikel. Puisi sebagai cinta pertama menulis sepertinya diduakan dengan menulis tugas. Wajar, kadang-kadang saya lebih suka membaca dan menulis puisi sebagai bentuk kunjungan dan hadiah bagi cinta pertama dalam tulis-menulis. Tabik.
(Andi Evan Nisastra).
  • 3 Comments
Older Posts Home

Saya


Andy Evan

“Salah satu jalan menjadi Bahagia dalam hidup adalah dengan berusaha menjadi Baik, Benar dan Indah.”

Ikuti Saya

  • twitter
  • instagram
  • facebook

Yang banyak dibaca

  • Nyantri sambil berpuisi
    Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selai...
  • Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
    Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki per...
  • New Normal, Juni dan Puisi
    Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus. Kehidupan di dunia maya masih ter...
  • Astronomi Kutai ?
    Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang se...
  • I La Galigo: Sebuah Kosmologi Bugis
    Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yan...

Baru aja

Technology and Social Media as Parts of The Daily Life of Generation-Z

Jendela

Alam (5) Astronomi (3) Budaya (7) Buku (1) Cerpen (2) Desa (2) English (1) Falak (3) Filsafat (4) Foto (4) Generation-Z (1) Islam (9) Kitab Suci (2) Kosmologi (1) Liburan (2) Media Sosial (1) Pesantren (5) Puisi (14) Santai (7) Sehimpun Puisi (1) Tokoh (4) Tulisan (36)

Denah

  • ►  2018 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  November (1)
    • ►  December (4)
  • ►  2019 (2)
    • ►  January (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2020 (28)
    • ►  May (2)
    • ►  June (19)
    • ►  July (4)
    • ►  August (1)
    • ►  September (2)
  • ►  2021 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  September (1)
  • ▼  2022 (1)
    • ▼  June (1)
      • Technology and Social Media as Parts of The Daily ...

instagram

Created By Andy Evan | Distributed By Blogger

Back to top