Andy Evan

  • Teras
  • Ruang
  • _Tulisan
  • _Foto
  • Kontak


Kita seringkali enggan atau tenang terhadap kata yang kita tata diantara rupa-rupa cita

Merawatnya

Kata demi kata

Memaknainya

Warna demi warna

Menghidupinya

Cinta demi cinta


Suatu waktu kita rindu

Lalu memilih kembali membeku

di hadapan puisi-puisi yang kita baca sewaktu dulu

Mewarnai waktu

dengan biru

dengan kamu

dengan abu-abu

dengan rindu

dengan ungu

dengan aku


Kata-kata yang kita pelihara bersama menggema di belantara waktu yang baku menyatu dengan rindu


Semarang, 3 September 2021

  • 0 Comments



Jalan bahasa tempat kita bertemu

Merupa alur rona cuaca rasa

Dari sana ada banyak hal tentang

Bunga freesia yang ingin kutafsikan

 

Suaramu yang malam dan tenang

Mewarnaku dalam hingga kenang

Tatap matamu di kota lama saat itu

Rintik madu diantara hiruk pikuk waktu

 

Cerita-ceritamu yang

Diperdengar-kisahkan serupa

Puisi yang memaknaimu, yang mengartikanku,

yang merimbunkanku, yang meluaskanmu, yang menggenapiku

 

Paruh masa waktu kita bertemu

Serupa alir makna hati yang bersulih putih

Sejak itu ada banyak hal tentang

Bunga freesia yang mesti kutafsirkan

 

Kamu seringkali menepis serangkai

Kata yang  berpendar sebagai racau

Angin laut

Sebab itu

Ketauhilah

 

Bahwa kata adalah jalan rasa menuju makna

Bahwa dikala jarak meningkahi raga

Aku hanya berdo’a serindu sekali

Bahwa di kala purnama seirama

Aku ingin menafsirkanmu sebagai sebuah Puisi

 

2312

  • 1 Comments



How can you miss someone you’ve never met  ?

Cause I need you now but I don’t know you yet

But can you find me soon because I am in my head ?

Yeah I need you know but I don’t know you yet

(Alexander Glantz)

 

 

Ia berjalan

Menyusuri jalan rindu yang kian abu-abu

Ingin berlindung dari cahaya yang tumbuh rimbun

Yang melepas bagian demi bagian dari dirinya

Genggaman, langkah, hati ?

 

Tiba-tiba rindu itu berkumpul dan membentuk langit

Kian meluas melingkahi ruang, melewati waktu

Entah kenapa waktu menjadi layu dihadapan rindu

Tidak ada yang pernah tahu

Jadi dipetiknya saja waktu dari garisnya

Mungkin tak akan ada yang tahu

 

Lalu tak ada lagi batas yang berdiri di sekelilingnya

Ia kini bebas dan abadi

Merindukan seseorang di ujung jalan itu

Yang tak pernah ditemuinya

Tapi terlebih dahulu lahir di pikiran dan hati nya

 

How can you miss someone you’ve never met  ?

Cause I need you now but I don’t know you yet

 

Semarang, 24 Juni 2020

 

 

 

 

 

 

  • 0 Comments


“Konon kasih sayang itu

laksana bola dunia

Tak pernah bosan

Mengitari matahari

Tetapi pada suatu hari

Ia mendadak berhenti,

Katanya sudah capek

Berputar dan ingin

Menjadi putri tidur saja”

-Sapardi Djoko Damono-

Perihal Gendis



Cerita Bumi

 

Konon bumi pernah berbisik kata

Pada matahari dan semesta

Yang melepaskannya

Ke ruang tanpa suara

 

Bahwa ia tak pernah ingin sendiri

Atau merasa sendiri

Menyusuri langkah demi langkah

Menuju sunyi antah berantah

 

 

Kabarnya bumi pernah berjanji

Pada bintang utara

Yang meneranginya

Sedemikian rupa

 

Bahwa ia tak akan lagi mempertanyakan

Jawaban dari sebuah bintang di selatan

Menafsirkan berbagai kedap kedip cahaya

Yang mengembara di antara jiwanya

 

 

Sebenarnya bumi pernah mengerti

Bulan yang senantiasa bernyanyi

Di balik setiap bait di ujung puisi

 

 

  • 0 Comments


Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus.

Kehidupan di dunia maya masih terus berjalan.  Seminar, kuliah, sekolah sekarang kan sudah serba online. Apalagi masih suasana akhir semester begini. 
Ujian dan tugas masih terus bertambah kayak angka positif covid-19.

Ujian dan tugas akhir semester kan masih terikat deadline. Sudah pasti akan berlalu. Mau dikerjain atau enggak. Nilai pasti keluar.  Antara lumayan atau mengecewakan.
Sayangnya tugas pemberantasan covid-19 deadlinenya masih belum ditentukan. Bisa sebulan, dua bulan, setahun atau unlimited. 
Ya gimana mau diselesaikan. Vaksinnya masih belum ketemu. Yang positif nambah terus. Ekonomi makin terjun bebas.

Walaupun angka positif covid-19 terus bertambah. Pemerintah sepertinya semakin terdesak.  Kalau terus-terusan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), bisa-bisa ekonomi semakin terperosok. Tapi, jika PSBB dibuka, angka positif semakin bertambah. Nyawa jadi taruhannya.
Ya, jadinya dilema. 

Pilihannya ya, PSBB dilonggarkan dengan  new normal. Bagi beberapa daerah yang dinilai mampu dan (Berani ambil resiko). Tentu saja. Mungkin harapannya, Ekonomi bisa diselamatkan. Angka penyebaran covid-19 bisa ditekan. 

Karena masih harapan ya belum bisa dipastikan seratus persen. Kenyataannya kan belum tentu. Tetap berusaha untuk membedakan antara harapan dan kenyataan ya. Takutnya nanti Ambyar. Wkwkwk. 

Bisa saja angka positifnya berkurang dan ekonomi terselamatkan. Atau malah sebaliknya. Kita masih belum tahu. 
Tapi, kalau dilihat dari pengalaman kebijakan yang diambil selama ini. Kita bisa menyimpulkan ya.

Istilah New Normal  itu kan berarti normal yang baru. Kata Pak Mujiburrahman, Rektor UIN Antasari, dalam tulisannya, itu adalah salah satu bentuk jalan tengah yang dipilih.  Demi menyelamatkan kita dari korban jiwa dan korban ekonomi yang kian bertambah. Normal baru ini berarti meninggalkan kebiasaan lama dan menciptakan kebiasaan baru. Normal baru adalah normal yang abnormal.

Karena masih baru, tentu saja membawa banyak pertanyaan. Apa itu ? Bagaimana pelaksanaannya ? Efektif atau enggak  ?

Juni tahun ini membawa new normal.

Jika bertemu bulan juni. Ada satu puisi yang saya ingat. Dan masih belum bosan-bosan dibaca. Apalagi kalau bukan Puisi Hujan Bulan Juni. Milik Sapardi Djoko Damono. Saya mengenalnya sejak masih di Aliyah dulu. Puisinya. Juga penulisnya sih. Ya, kenalnya dari karya-karyanya.

Walaupun tidak bertemu dengan penulis karya puisi, bukan berarti pemaknaan terhadap teks sastra tersebut tidak bisa saya dapatkan kan. Toh, sebenarnya dalam pembacaan puisi itu, makna akan sepenuhnya diserahkan pada pembacanya. 

Proses pembacaan itu adalah interaksi antara seorang pembaca dan teks sastra. Bukan interaksi antara pembaca dan penulis kan. Pemaknaan itu lahir dari bagaimana seseorang membaca puisi. Berdasarkan dari pengalaman pribadi pembaca dan pandangannya terhadap pilihan kata dalam karya tersebut. 

Karena pengalaman pembaca tentu saja berbeda dengan pengalaman penulis. Maka, pemaknaan pembaca juga akan berbeda dengan apa yang awalnya dimaksudkan penulis.

Sebenarnya itu maklum terjadi. Apalagi dalam pembacaan puisi. Yang merupakan permainan bunyi, kata, dan bahasa.  Apakah salah kalau pemaknaan kita berbeda dengan penulis ? Tentu saja tidak. 

Malah dari situlah nantinya suatu karya sastra seperti puisi bisa menjadi lebih kaya dalam bahasa. Beberapa penyair ada yang mengandaikan puisi sebagaimana kanak-kanak. Penulis hanya akan melahirkannya. 

Setelahnya, ia akan menjadi bagian dari peradaban bahasa. Hidup. Dibaca. Dan dimaknai oleh setiap orang. Dengan pemaknaan yang berbeda-beda.
Juni tahun ini kembali mengingatkan kepada puisi.

Lantas apa hubungan antar Puisi, Juni, dan New Normal ? Entahlah.

Jika hidup ini adalah puisi indah yang dirangkai dengan berbagai peristiwa sebagai kata-kata. Bukankah tidak apa-apa, jika kita berbeda dalam memaknainya. Begitu juga halnya dalam New Normal. Itu salah satu kata dari puisi kehidupan yang sedang kita baca dan jalani saat ini. 

Hanya saja, kita masih belum bisa memastikan. Kata dan kalimat apa yang akan berada di belakang New Normal tersebut kan. Bisa saja itu jadi kata terakhir yang kita baca atau masih bagian dari puisi panjang kehidupan kita. 
Siapa yang tau kan. Tabik.(Andi Evan Nisastra).

  • 1 Comments

Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selain ngaji dan ngaji. Untung saja di Ponpes Al-Falah -tempat saya nyantri kala itu- ada banyak kegiatan sejenis ekstrakulikuler yang bisa diikuti. Setidaknya pengalaman berkegiatan dan berorganisasi semacam itu membantu sedikit banyaknya di masa-masa setelahnya. 

Salah satu kegiatan saya waktu itu sekedar sibuk di Forum Pena Pesantren (selain Program Bahasa dan Darul Hadits). Karena memang yang paling diutamakan, ya mengaji. Walaupun sering tertidur dan setengah sadar menahan kantuk.

Terkadang saya suka mensiasati rasa kantuk yang menyerang saat mengaji dengan mencuri-curi waktu membuka-buka buku-buku sastra. Atau apa saja yang bisa mengalihkan rasa kantuk

Ketika sudah agak melek, lanjut ngaji lagi. Meskipun bisa juga malah keasyikan buku, bukan memaknai kitab yang dikaji. Sudah jadi rahasia umum bagi teman-teman. ketika ke kelas, ada satu dua buku yang diselipkan diantara kitab-kitab kuning yang dibawa. Bukunya juga bermacam-macam. Bisa Novel, Komik, Buku puisi, ya tergantung selera setiap pribadi.

Ya, kembali ke Menulis Puisi.

Karena kegiatan dan kehidupan saat itu memang sudah diatur dan tenang-tenang saja. Seorang santri ya kesibukannya mengaji dan berlatih kesalehan secara spiritual dan sosial. Minat terhadap berbagai hal lain tentu saja muncul dan perlu dialirkan. Apalagi bagi santri-santri remaja yang masih dalam semangat berapi-api mengenal hal baru.

Puisi adalah salah satu aliran yang saya pilih dalam menyalurkan semangat itu. Walaupun tidak tahu bakalan jadi apa nantinya. Ya, jalani saja dulu.

Dulu pertemuan saya dengan teks-teks sastra juga terbatas. Mengingat santri tidak bisa keluar masuk pondok seenaknya. Kami hanya bisa memaksimalkan koleksi buku-buku sastra yang ada dan kitab-kitab-kitab kuning seperti balaghah dalam memahami sastra.

Sebagai catatan, dulu aturan tentang buku-buku sastra juga terbatas ketika di pondok. Ada beberapa buku-buku yang dilarang. Bukan karena diksi dan metafora dalam buku tersebut. Tetapi hanya karena kekhawatiran kalau itu membuat santri terlena dan malas mengaji di kelas atau di masjid.
  
Saya dan teman-teman seperti Alwi, Restu, Rijal, dan Dicky yang tertarik bermain kata dan bahasa biasanya suka menyusun beberapa kalimat dan menempelkannya di Majalah Dinding Santri atau di Buletin tahunan. Ya, walaupun tidak bagus-bagus amat. Setidaknya ada dua-tiga karya yang dihasilkan. 

Hal ini juga sekaligus merangsang santri untuk menulis dan berkarya. Apalagi, ada beberapa anggapan asing kala itu. Bahwa sebelum mencapai tingkat tertentu, seorang santri mesti memiliki satu buku karya pribadi atau kolektif yang dibuahkan.

Dalam menjelajahi dunia sastra dan menulis itu setidaknya ada lentera kecil yang pernah kami nyalakan. Dengan harapan nyala itu bisa tetap hidup bahkan setelah kelulusan kami.

Bagi saya pribadi,  kebiasaan menulis itu memang sangat membantu di alam perkuliahan yang sedang saya jalani saat ini. 

Tetapi, Saat tugas dari dosen menumpuk. Kebiasaan menulis seringkali dilakukan sebagai pemenuhan kewajiban. Dalam bentuk makalah atau artikel. Puisi sebagai cinta pertama menulis sepertinya diduakan dengan menulis tugas. Wajar, kadang-kadang saya lebih suka membaca dan menulis puisi sebagai bentuk kunjungan dan hadiah bagi cinta pertama dalam tulis-menulis. Tabik.
(Andi Evan Nisastra).
  • 3 Comments


Setiap penyair ketika ingin menulis sebuah puisi punya berbagai cara, agar puisi yang nanti diciptakan itu memiliki nilai seni. Dengan membawa bermacam harapan pada setiap huruf dan kata yang telah dipercayai oleh penyair tersebut, puisi itu dibaca dan dimakna oleh semua pembacanya.

Puisi adalah bentuk kebebasan yang dijaga sepanjang masa oleh para penjelajah kata. Sehimpun Puisi "Waktu dan Jarak" adalah beberapa puisi yang pernah saya tulis dari 2015 hingga akhir 2018 kemarin. Sebagian memang sudah ada yang beruntung dan dipublikasikan.

Bagi seseorang yang memang belum fasih dalam merancang kata-kata, sehimpun puisi ini jadi bentuk kebahagiaan tersendiri. Dari keinginan untuk menghidupi kekanak puisi-puisi yang selama ini pernah dituliskan. Sehimpun puisi ini saya persembahkan untuk orang-orang yang saya sayangi.


Mau bukunya ? Download Buku Sehimpun Puisi Waktu dan Jarak - Andi Evan Nisastra di bawah ini.
Waktu dan Jarak - Kumpulan Puisi Andi Evan Nisastra





  • 0 Comments
Older Posts Home

Saya


Andy Evan

“Salah satu jalan menjadi Bahagia dalam hidup adalah dengan berusaha menjadi Baik, Benar dan Indah.”

Ikuti Saya

  • twitter
  • instagram
  • facebook

Yang banyak dibaca

  • Nyantri sambil berpuisi
    Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selai...
  • Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
    Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki per...
  • New Normal, Juni dan Puisi
    Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus. Kehidupan di dunia maya masih ter...
  • Astronomi Kutai ?
    Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang se...
  • I La Galigo: Sebuah Kosmologi Bugis
    Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yan...

Baru aja

Technology and Social Media as Parts of The Daily Life of Generation-Z

Jendela

Alam (5) Astronomi (3) Budaya (7) Buku (1) Cerpen (2) Desa (2) English (1) Falak (3) Filsafat (4) Foto (4) Generation-Z (1) Islam (9) Kitab Suci (2) Kosmologi (1) Liburan (2) Media Sosial (1) Pesantren (5) Puisi (14) Santai (7) Sehimpun Puisi (1) Tokoh (4) Tulisan (36)

Denah

  • ►  2018 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  November (1)
    • ►  December (4)
  • ►  2019 (2)
    • ►  January (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2020 (28)
    • ►  May (2)
    • ►  June (19)
    • ►  July (4)
    • ►  August (1)
    • ►  September (2)
  • ►  2021 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  September (1)
  • ▼  2022 (1)
    • ▼  June (1)
      • Technology and Social Media as Parts of The Daily ...

instagram

Created By Andy Evan | Distributed By Blogger

Back to top