Melihat Budaya Sebagai Arus Perubahan
Beberapa dari kita
seringkali memaknai kebudayaan sebagai
kesenian. Sehingga ruang lingkupnya hanya sebatas seni. Seni memang bagian dari
budaya jika ditinjau dari realisasi kebudayaan yang paling langsung dan kasat mata. Padahal kebudayaan
itu berlapis-lapis. Lapis perilaku itu juga termasuk dari lapis kebudayaan
sebagaimana menurut Karlina Supelli. Luasnya makna budaya itu tidak serta merta
menyempitkan makna budaya. Budaya mestilah dilihat secara menyeluruh.
Definisi tentang
budaya tentulah sangat banyak dan beragam. Budaya adalah seni yang diterbitkan
dan diproduksi pilar-pilar untuk disetujui tatanan sosial (Abdurrahman Wahid).
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak,
dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosial budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia. (Deddy Mulyana, Jalaluddin Rakhmat: 2006)
Menurut Hairus Salim, Banyak
orang yang melihat kebudayaan sebagai sebuah produk, seperti transportasi,
teknologi, bangunan arsitekural yang merupakan hasil kebudayaan. Padahal
kebudayaan itu adalah sebuah proses. Ketika kita semua saling berinteraksi dan
memaknai sesuatu hal yang sama itulah kebudayaan. Hal yang paling penting dari
kebudayaan adalah saling berhubungan, saling pinjam-meminjam, saling curi-mencuri
dan saling tiru-meniru. Sehingga tak ada yang namanya budaya orisinalitas.
Dapatlah kita lihat
bahwa kebudayaan adalah hal yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Segala bentuk pemikiran, perilaku,tindakan dan interaksi yang kita lakukan
adalah budaya. Segala hal baik yang kita lakukan adalah bagian dari gerakan
budaya yang membawa kita ke arah yang lebih baik. Itu adalah proses budaya. Memang
kita tidak bisa merasakan dampaknya secara langsung dan jelas. Tapi kita tidak
bisa memungkiri bahwa gerakan-gerakan kecil itu jika dilakukan bersama juga akan
berdampak pada hal-hal besar. Tidak mungkin kita berbicara banyak hal tentang
penghapusan korupsi jika budaya mencontek dan plagiarisme masih tumbuh subur
dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, Hingga Perguruan Tinggi. Kita
baru bisa benar-benar memberantas korupsi dengan tuntas ketika seluruh siswa
dari sekolah dasar hingga mahasiswa dan para doktor serta professor setuju
untuk tidak mencontek dan melakukan plagiarime.
Proses kita berbudaya
ini adalah perjuangan yang abadi. Selama manusia terus ada dan mengharapkan
kehidupan yang lebih baik maka proses berbudaya akan terus ada. Hanya saja ke
arah mana budaya itu akan menuju. Kita sebagai bagian dari masyarakat adalah
yang menentukannya.
Masyarakat akan mencapai ketinggian akal budi, bahasa, dan ilmu
pengetahuan dengan budayanya. Dulunya para pemikir Eropa dengan gagasan manusia
universal, percaya bahwa semua manusia yang sangat beragam dan berbeda ras,
bahasa dan asal muasalnya ini akan
sampai pada tingkat peradaban yang sama. Akan tetapi perjumpaan dengan
keanekaragaman kebudayaan di luar Eropa menimbulkan kegamangan di kalangan
ilmuan dan pemikir Barat. Dari situ mereka membedakan konsep kebudayaan dari
peradaban. Mereka juga menekankan bahwa kebudayaan lah yang mestinya menjadi
penanda bagi perkembangan manusia.
Setiap masyarkat
mengembangkan cara hidup menurut pengetahuan dan nilainya sendiri. Kita tak
dapat membandingkan kebudayaan yang berbeda dengan mengenakan tolak ukur yang
berasal dari suatu kebudayaan yang lain.
Berangkat dari
pendapat ini kebudayaan merupakan jalan bagi masyarakat dalam mencapai kebaikan
bersama atau kita bisa sebut juga kesejahteraan umum. Proses berbudaya itu
pasti berbeda. Tujuan yang ada di ujung jalan itu juga tidak selalu dalam
bentuk suatu kebudayaan yang satu. Tapi hakikat kesejahteraan dan kehidupan
yang lebih baik adalah hal jelas yang ingin kita gapai.
Dengan tidak
mengesampingkan luasnya ruang lingkup budaya dan beberapa hal yang harus kita
garisbawahi dan perhatikan. Saya ingin membagi kebudayaan ini menjadi empat
bagian, yaitu: Budaya pengetahuan, budaya sehari-hari, budaya tanggung jawab
dan budaya baru. Empat hal ini saya ringkas dari delapan kemungkinan siasat
yang pernah disampaikan Karlina Supelli dalam pidatonya, “Kebudayaan dan
Kegagapan Kita” di Dewan Kesenian Jakarta 2013 silam.
Budaya Pengetahuan,
adalah hal-hal yang melputi tentang pemikiran dan pandangan kita terhadap
pengetahuan. Kebudayaan adalah siasat mentransformasikan konsep ekonomi dari
urusan pasar ke mata pencaharian warga biasa dan bukan jual beli uang itu
sendiri. Seiring dengan ini, transfer teknologi dan perhatian yang
sungguh-sungguh dalam memproduksi barang-barang kebutuhan sehari-hari dan
infrastruktur pendukungnya. Ahli pangan dan para akademisi di kampus juga ikut
serta dalam menumbuhkan kembali minat anak muda dalam bidang pertanian dan
perikanan yang kian sepi minat. Padahal kekayaan alam Indonesia adalah hal
nyata yang mesti dijaga dan dikelola oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam hal budaya
pengetahuan juga kesan bahwa ilmu pengetahuan tertentu mau menindas jenis-jenis
pengetahuan yang lain masih cukup kuat di masyarakat.jika dahulu teologi
menindas dengan lembaga gerejanya, sekarang ilmu pengetahuan juga menindas
dengan lembaga sekolah dan universitasnya. Ilmu positivis mengangungkan metode
ilmiahnya. Segala hal harus berlandaskan prinsip-prinsip ilmiah dan menyalahkan
segala hal yang berada di luar metode ilmiah. Ilmu masih belum berhasil
mengambil hati masyarakat. Siasat kebudayaan adalah mentransformasikan sikap
“saya mugkin salah dan Anda mungkin benar, dan melalui sebuah upaya kita
mungkin akan mendekati kebenaran.”(Karl Popper: 1992). Bahwa kita haruslah
berani mengakui kesalahan dan berbicara benar.
Kedua adalah budaya
sehari-hari, dalam era globalisasi sekarang batasan wilayah dan jarak
menghilang. Kita bisa bertukar informasi apapun dengan siapapun di belahan bumi manapun. Kuatnya arus informasi yang
merupakan akibat dari globalisasi ini melahirkan budaya-budaya baru bersama teknologi
digital seperti budaya selalu terhubung (always online), budaya komentar
(comment culture)(Sherry Turkle:2011), budaya untuk saling
berbagi (sharing) (Geert Lovink: 2011). Budaya seperti ini
menyebabkan peristiwa menganggap sepele persoalan serius atau sebaliknya, yang
kemudian membuat masyarakat kehilangan pegangan. Karena siapa saja bisa
mengomentari apa saja tanpa harus menjadi ahli di bidang itu. Kebudayaan,
budayawan dan intelektual memiliki tugas menghidupkan kembali dan membedakan
komentar acak dan yang perlu dipikirkan mendalam.
Setelah reformasi,
Negara telah kehilangan kekuatan politknya. Kekuatan utama kini ada di pasar.
Pasarlah yang mengolah dan membentuk pandangan masyarakat. Segala hal
dikomoditikan, dijual dan dipasarkan yang kemudian membentuk ‘kebudayaan pasar’.Modus
eksistensi telah bergeser menjadi “aku membeli maka aku ada”.Konsumsi meluas
sebagai gaya hidup. Di sini juga kebudayaan sebagai siasat untuk menjadikan
kebiasaan berbelanja bukan karena kita mau tapi karena kita perlu. Kita tidak
dapat mengubah penyediaan (supply) karena pertimbangan para pebisnis adalah apa
yang paling laku. Tetapi kita masih bisa mengubah permintaan (demand). Kebiasaan
mendidik hasrat ini akan mengajarkan kita perbedaan menjadi warga negara yang
memilih untuk menyumbang pada kepentingan bersama ketimbang menjadi konsumen
yang memilih untuk meningkatkan kenyamanan pribadi.
Ketiga, budaya
tanggung jawab dan professional. Kebudayaan adalah siasat mentransformasikan
politik untuk menciptakan kepemimpinan sebagai etos tanggung jawab bukan kekuasaan. Ilmuwan dan filsuf juga
memikirkan siasat dalam fungsi pengabdian masyarkat untuk melatih kebiasaan
public agar setia kepada proses dan kejadian agar dapat jernih menyoroti
peristiwa-peristiwa yang memang merupakan
tanggungjawab manusia untuk mengelolanya. Pemaknaan kembali makna profesi
ke makna asalnya, profession (latin),
yang secara harfiah berarti janji public. Profesional adalah seseorang yang
memiliki otoritas tidak saja karena dia memiliki keahlian, tetapi karena dia
mengucapkan janji public sebagaimana dalam sejarahnnya yaitu sumpah Hippokrates
abad ke-4 SM. Seseorang disebut professional bukan hanya karena dia pakar di
bidangnya, melainkan karena dengan
kepakarannya dia menjalankan tugas dan menjadikannya sumbangan bagi kepentingan
masyarakat.
Keempat, budaya baru.
Karena kebudayaan adalah sebuah proses, kita juga perlu memikirkan
langkah-langkah konkret untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk seperti
mencontek plagiarism dan korupsi menjadi kebiasaan hidup dengan integritas dan
kejujuran. Melatih kebiasaan jujur kepada teman, orang tua dan saudara dalam
hukum, politik dan sebagainya. Juga dengan melatih diri kita sendiri dan
orang-orang terdekat kita dengan tidak melakukan apa yang mereka suka. Bukannya
sok intelektualis, ini hanyalah bagian dari latihan membiasakan diri kepada komitmen.
Ciri kematangan seseorang adalah ketika dia sanggup melaksanakan suatu
pekerjaan bukan karena dia suka, melainkan karena dia berkomitmen.
Empat kebudayaan di
atas adalah sebagian kecil dari luasnya permasalahan dan pembahasan tentang
kebudayaan. Kebiasaan-kebiasaan yang sering kita lakukan, Pemaknaan dan
penafsiran kita terhadap berbagai hal, Nilai-nilai yang kita yakini semuanya
tak lepas dari kebudayaan. Arus kebudayaan ini akan terus mengalir. Saling
bercampur dan melengkapi. Kita sebagai nahkoda di atas arus itu tentu tidak
bisa mengubah arah arusnya. Hal yang mungkin kita lakukan adalah mengarahkan
perahu bangsa kita ke arus yang sesuai dengan tujuan bangsa kita. Tabik.
(Andi Evan Nisastra).
1 Comments
Mantap ... 👍☕🎉
ReplyDelete