Hulu Sungai Mahakam : Ragam Rupa Desa (1)
Sebulan yang lalu saya dan teman-teman jalan-jalan ke
Kecamatan Kota Bangun di Kabupaten Kutai Kartanegara. Perjalanan ini sebenarnya
sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Setelah dua sampai tiga
minggu wacana. Akhirnya kami bisa merealisasikannya. Karena saya tidak pernah lagi ke
daerah hulu sungai Mahakam sudah sangat lama. Lebih dari sepuluh tahun yang
lalu. Saya kira. Karena jauhnya waktu yang tak kunjung temu itu, saya tertarik
untuk kembali menunaikan rindu. Sambil menarik kembali ingatan dan merangkai
pengalaman baru.
Jarak dari desa kami berangkat (Desa Sanggulan) ke
Kecamatan Kota Bangun kurang lebih tiga puluh kilometer. Ya, kurang lebih jarak
dari daerah Ngaliyan di Semarang ke Demak. Tapi waktu yang kami tempuh tentu
saja tidak sama. Medan yang sangat menantang. Setengah jarak perjalanan kami
lalui dengan krikil dan debu, juga lubang sana-sini. Jalannya masih berupa
tanah dengan batu-batu kecil. Untung saja tidak hujan. Jadi perjalanan masih
tergolong mudah bagi kami yang sudah terbiasa. Memang melalui jalur ini lebih dekat
walaupun sebenarnya bukan jalan resmi. Kami harus melalui sebuah perkebunan
kelapa sawit yang SANGAT LUAS. Saking luasnya, ketika sedang berada di daerah tersebut
sepanjang mata memandang yang bisa kita lihat hanyalah pohon-pohon sawit.
Setengah perjalanan yang akhir kami sudah keluar dari
perkebunan dan melalui jalan resmi yang sudah beraspal. Jalan ini sudah mulai
ramah debu dan krikil ketimbang separuh jalan sebelumnya. Karena medan yang
seperti itu kami bisa menjalaninya selama kurang lebih tiga jam. Normalnya dua
jam. Hal tersebut wajar saja. Karena kecepatan kami yang santai dan di bawah
rata-rata. Kami berangkat jam 8 pagi dan tiba di tujuan jam 11 siang. Separuh
perjalanan sampai ke tujuan sudah terbilang nyaman.
Sampai di Kota Bangun, kami harus menyebrang sungai
Mahakam dengan menggunakan kapal Feri. Kapal ini sudah merupakan kendaraan umum
di Kecamatan ini. Karena pemukiman penduduk biasanya ada di dua sisi Sungai
Mahakam. Jadi, penyeberangan antara dua sisi sungai akan selalu ada, Bahkan
bisa sangat padat. Kapalnya tidak terlalu besar, cukup untuk satu kendaraan
roda empat atau lima sampai enam kendaraan roda dua. Biasanya akan langsung
menyebrang (tanpa menunggu) walaupun hanya mengangkut dua atau tiga motor.
Sewaktu menyebrang kita akan benar-benar dekat dengan sungai Mahakam. Ini
menarik dan seru bagi saya yang sudah mulai jarang bermain di sungai Mahakam.
Sesampai di sisi seberang, kami bersegera menuju rumah
keluarga. Tempat kami menginap. Di Kota Bangun Seberang ini menariknya, desanya
berada di atas jembatan. Jadi semua
rumah penduduk, warung, masjid berada di atas jembatan. Dan jembatannya
berbahan kayu. Setiap kali ada kendaraan yang lewat di depan rumah, maka suara
jembatan kayu yang berbunyi itu terdengar nyaring. Bahkan ketika saya berada di
atas motor bersama teman saya, suara pembicaraan kita bukan saja terhalang
angin, tapi juga terhalang suara jembatan kayu yang berbunyi. Duk, duk, duk, duk.
Lalu, apakah jika tengah malam ada yang lewat di
jembatan maka setiap rumah yang dilewati di desa itu akan terbangun ? Tentu
saja tidak. Karena, masyarakat yang tinggal di situ juga sudah terbiasa dengan
suara jembatan yang ribut.
Oiya, ciri khas sungai Mahakam adalah kapal ponton yang
mengangkut Batu Bara (Emas Hitam Kalimantan) dan kayu-kayu pohon Kalimantan sering lalu lalang di Sungai Mahakam. Di Desa saya saja, setiap sepuluh
menit sekali dapat dipastikan ada kapal yang lewat di belakang rumah dengan
membawa hasil alam. Karena banyak tambang yang memang berada di hulu sungai
Mahakam.
Setelah istirahat sebentar, kami pergi ke salah satu
desa terdekat yang terkenal dengan wisatanya. Desa Pela Namanya. Dekat dengan
danau Semayang. Setiap ada kegiatan budaya tahunan Erau, maka biasanya desa
tersebut akan ramai dengan pengunjung dari berbagai daerah dan berbagai Negara.
Karena selain tempatnya yang menarik, kekayaan alamnya juga merupakan daya
tariknya. Ikan sungai Mahakam yang berukuran besar sangat sering ditemui di
sini. Satu ikan bisa sampai berpuluh-puluh kilo beratnya.
Perjalanan kami ke Desa Pela menunjukkan bahwa kami
harus terus berjalan ke bagian hulu sungai Mahakam. Dan kami harus tiga kali
naik kapal feri. Menyebrang dari sisi sungai yang satu ke sisi sungai yang
lain. Semakin ke hulu maka semakin sering saya menemui desa yang berada di atas
jembatan kayu. Juga kegiatan di sungai akan semakin ramai. Karena selain sumber
pertanian, masyarakat juga bermata pencaharian dengan menjadi nelayan.
Kami berkeliling hingga sore dan pulang kala malam. Tabik.
Beberapa foto yang sempat saya ambil :
Desa Pela
0 Comments