Andy Evan

  • Teras
  • Ruang
  • _Tulisan
  • _Foto
  • Kontak


Memahami adalah proses. Saya ingin bertanya beberapa hal. Apakah integritas ilmu alam dan ilmu agama bisa lebih membantu kita mencapai kemajuan dalam sains (ilmu alam) ? Apakah integritas ilmu alam dan ilmu agama cukup membantu dalam meningkatkan takwa ? Mengapa tidak dipisahkan ? Apa yang ingin dicapai dan dihindari dari itu ? Apa sebenarnya tujuan dari islamisasi ilmu ? Apakah tujuan integrasi ilmu agama dan sains adalah Keyakinan bahwa semua ilmu berasal dari Tuhan atau kemajuan peradaban Islam atau ketakwaan ? Apakah ada kepentingan di sana ? Apakah jika kita hanya mendalami ilmu alam tidak akan menambah keimanan dan ketakwaan kita terhadap Tuhan ? Apakah jika kita mendalami ilmu agama tidak akan memajukan kemampuan kita dalam bidang sains dan teknologi ? Mengapa ada pemisahan ilmu agama dan ilmu sains di masyarakat muslim ? Bukankah al-Qur’an tidak mengajarkan dikotomi ilmu pengetahuan ? Tapi mengapa ada pemahaman begitu dalam tubuh Islam ? Apakah itu datang dari luar kita atau datang dari dalam diri kita sendiri ?

Apakah jalan ilmu agama dan sains itu sama atau berbeda ? Apakah ilmu agama dan sains itu memiliki arah yang sama atau berbeda ? Apakah wahyu Tuhan adalah bagian dari sains ? Apakah Sains adalah bagian dari wahyu Tuhan ? Apakah ada kepentingan pemahaman tertentu dalam penyatuan itu ? bagaimana jika ilmu sains bertentangan atau berbeda dengan penafsiran-penafsiran tertentu terhadap kitab suci ? yang mana yang harus dipinggirkan ? Apakah ada kesesatan dalam ilmu sains ? Bukankah sains bersumber dari pertanyaan-pertanyaan dan keraguan ? Adakah ruang keraguan dalam agama Islam ? Apakah agama Islam harus tunduk pada metode ilmiah ? Apakah itu semua tidak perlu, agama dan sains bisa berdiri sendiri dan saling melengkapi satu sama lain ? Wajibkah ada hubungan dan keterikatan antara pencapaian sains dan paham-paham tertentu dalam agama ?

Apakah ada cara yang berlaku umum bagi seluruh ilmu ? Apa itu ayat-ayat kauniyah ? Ayat-ayat al-Qur’an tentang alam atau ayat-ayat Sang Pencipta dalam alam atau kedua-duanya ? Apakah ayat-ayat al-Qur’an telah menjelaskan segala jenis cara kerja alam ? Apakah alam bekerja dengan cara yang telah ditentukan Tuhan dalam penafsiran kita terhadap kitab suci-Nya atau ia bekerja dengan cara yang berbeda dari penafsiran kita ? Apakah penafsiran kita terhadap kitab suci akan mempengaruhi cara alam bekerja ?  Bagaimana jika ada perbedaan pemahaman antara doktrin agama dan pemahaman kita terhadap bagaimana alam ini bekerja ?

Bagaimana kita memahami ayat-ayat Sang Pencipta tentang alam di kitab  suci-Nya ? Bagaimana metode tafsirnya ? Bagaimana kita memahami ayat-ayat semesta ? Apakah dua hal itu memiliki metode tafsir yang sama atau berbeda ?

Adakah ruang penafsiran ilmiah terhadap kitab suci ? Bukankah dalam Islam beberapa ulama juga menentang hal itu ? Bagaimana ilmuwan muslim melihatnya ? Apakah perlu menggabungkan antara fundamentalis agama dan fundamentalis sains ? Bagaimana caranya ?

Maaf, saya hanya ingin bertanya.

  • 0 Comments



Ada tantangan tertentu bagi seseorang yang mempelajari ilmu pengetahuan di universitas, pada umumnya. Dan ilmu falak, secara khususnya. Karena saya memang kebetulan juga belajar pada bidang ini. Pembedaan Ilmu Pengetahuan dan Agama. Seakan-akan ada garis tipis yang memisahkan keduanya.

Pembedaan ini disebut juga dikotomi ilmu pengetahuan. Menurut saya ini tidak hanya dialami bagi ilmu-ilmu alam. Tapi juga dialami oleh ilmu-ilmu sosial, teknologi, dan lain-lain. Apalagi ketika mereka bertemu dengan keyakinan dan tafsir-tafsir kitab suci tertentu.

Pemisahan ini setidaknya sedikit banyak dipengaruhi oleh sekularisasi ilmu pengetahuan. Bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan dan agama itu berdiri terpisah. Sekularisasi ilmu pengetahuan ini mengalami konflik besar ketika terjadi pertentangan antara Galileo dan kaum gereja sekitar abad ke 15-16 Masehi di Eropa.

Galileo memperoleh pendapat Copernicus (1473-1543 M) bahwa matahari adalah pusat jagat raya (heliosentrisme), Sedangkan pandangan gereja, bahwa bumi adalah pusat jagat raya (geosentrisme) didasarkan pada informasi gereja. Pertentangan dua pendapat ini berada pada ruang ilmu alam. Bagaimana sebenarnya kita memahami alam. Pertentangan antara geosentrisme dan heliosentrisme adalah hubungan konflik ilmu dan agama dalam ruang ilmu alam.

Di era kekhalifahan Abbasiyah juga pernah terjadi pertentangan ini tapi pada ruang ilmu sastra. Pembunuhan dengan dalih mencegah bid’ah terjadi terhadap dua penyair. Bashar Ibn Burd (didakwa menulis puisi yang tak senonoh dan sesat) dan Manshur al-Hajjaj (atas pernyataan ana al-Haq).

Dan hubungan antara ilmu (yang menggunakan akal) dan agama (yang menggunakan wahyu) ini juga pernah terjadi antara para ilmuan muslim (baca: Dialog Ghazali-Ibnu Rusyd) dalam ruang metafisika.

Hal tadi adalah bentuk hubungan antara ilmu dan agama. Hubungan ini memang abu-abu dan pelik. Pada perkembangan selanjutnya terjadilah sekularisasi ilmuwan pengetahuan dan agama. Memang ketika hubungan merumit. Perpisahan jadi pilihan. Dikotomi ilmu pengetahuan dan agama mungkin salah satunya.

Dalam mata kuliah Falsafah Kesatuan Ilmu bersama Pak Abu Hapsin, bahwa dalam Islam sebenarnya tidak ada pembedah bean ilmu. Bahwa hakikatnya segala ilmu yang didapat dan dicapai manusia itu sama-sama berasal dari Allah. Ilmu pengetahuan itu bisa didapatkan dari wahyu dan akal budi manusia.

Ibu Karlina Supelli, Astronom perempuan Indonesia, dalam pidatonya menyatakan bahwa, Ilmu pengetahuan tidak mengajarkan kepastian. Ia melatih akal budi untuk berani menyangsikan segala sesuatu. Termasuk mempertanyakan keimanan. Segala sesuatu yang telah teruji lewat kesangsian demi kesangsian ini akan semakin kokoh. Ilmu pengetahuan, Opini dan Keimanan kita sendiri.

Adakah dampak yang terjadi pada ilmu falak ? Tentu saja ada. Pemahaman tentang batas ilmu falak terjadi. Falak dinilai sebagai ilmu yang mempelajari benda langit sebatas manfaatnya terhadap ibadah umat Islam. Ia dipisahkan dari kawanan astronominya yang lain. Padahal objek kajian antara falak dan astronomi itu sama. Yaitu benda-benda langit.

Pada abad pertengahan masa dinasti Abbasiyah, tanda-tanda kemunculan ilmu falak/ astronomi islam mulai terlihat. Al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al-Khawarizmi, Al-Battani (858-929 M), Al-Farghani (805-880 M),  Ibnu Haitam (965-1039 M), Ibnu Yunus (950-1009 M), Abul Abbas (w. 861 M) adalah nama-nama yang menjadi rujukan astronomi bahkan hingga sekarang.

Ilmu falak termasuk ilmu alam karena ciri dan metodenya yang sama dengan astronomi (secara epistemologi). Tapi ia juga termasuk ilmu agama karena nilai dan manfaatnya bagi ibadah umat Islam, seperti arah kiblat dan awal bulan hijriyah (secara aksiologi). Bukankah beberapa teman-teman ilmu falak meyakini ini ? atau tidak ?

Jika astronom muslim terdahulu bisa ikut berkontribusi, menyumbangkan pengamatannya pada kemajuan astronomi abad pertengahan. Lantas apa yang kurang dari para calon astronom muslim (pegiat falak) masa kini ? Apakah mereka bisa ikut mengejar dan menyumbang di masa kini ? demi semangat apa ?

Yang seringkali terlewat adalah bagaimana kita melihat benda-benda langit itu. Kita melihatnya sebatas kepentingan ibadah kita terhadapnya. Arah kiblat, Awal Bulan Kamariah, Gerhana. Di lembar-lembar itu kita membaca langit. Kita menandai tiap baris-baris waktu yang tertulis di kitab alam semesta.

Kita terlewat. Bahwa kitab alam semesta tidak hanya memiliki lembar-lembar itu. Kitab semesta yang bertuliskan ayat-ayat kauniyah itu sangat luas. MEMBACA AYAT-AYAT KAUNIYAH TENTU SAJA SAMA DENGAN MEMBACA AYAT-AYAT QOULIYAH. DALAM ARTIAN KEDUANYA SAMA BERASAL DARI SANG PENCIPTA. Dan para astronom adalah orang-orang yang membaca semua itu. Bahwa cara mendekat kepada-Nya juga bisa melalui ayat-ayat dalam kitab semesta yang tentu saja dicipta oleh-Nya.

Walaupun sama-sama berasal dari-Nya, bukan berarti cara memahami dan menafsirkannya juga sama. KITA MEMBUTUHKAN CARA-CARA BERBEDA DALAM MEMBACA, MENAFSIRKAN DAN MEMAHAMINYA. Dan perbedaan cara memahami kedua hal itu tentu saja tidak serta merta bisa diselaraskan. Kita mesti hati-hati. Barangkali itu adalah garis tipis di ruang ilmu ?

  • 0 Comments
Older Posts Home

Saya


Andy Evan

“Salah satu jalan menjadi Bahagia dalam hidup adalah dengan berusaha menjadi Baik, Benar dan Indah.”

Ikuti Saya

  • twitter
  • instagram
  • facebook

Yang banyak dibaca

  • Nyantri sambil berpuisi
    Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selai...
  • Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
    Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki per...
  • New Normal, Juni dan Puisi
    Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus. Kehidupan di dunia maya masih ter...
  • Astronomi Kutai ?
    Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang se...
  • I La Galigo: Sebuah Kosmologi Bugis
    Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yan...

Baru aja

Technology and Social Media as Parts of The Daily Life of Generation-Z

Jendela

Alam (5) Astronomi (3) Budaya (7) Buku (1) Cerpen (2) Desa (2) English (1) Falak (3) Filsafat (4) Foto (4) Generation-Z (1) Islam (9) Kitab Suci (2) Kosmologi (1) Liburan (2) Media Sosial (1) Pesantren (5) Puisi (14) Santai (7) Sehimpun Puisi (1) Tokoh (4) Tulisan (36)

Denah

  • ►  2018 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  November (1)
    • ►  December (4)
  • ►  2019 (2)
    • ►  January (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2020 (28)
    • ►  May (2)
    • ►  June (19)
    • ►  July (4)
    • ►  August (1)
    • ►  September (2)
  • ►  2021 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  September (1)
  • ▼  2022 (1)
    • ▼  June (1)
      • Technology and Social Media as Parts of The Daily ...

instagram

Created By Andy Evan | Distributed By Blogger

Back to top