Pada cerita sebelumnya (baca : Ragam Rupa Desa), saya
sedikit bercerita tentang beberapa desa yang saya kunjugi di hulu sungai
Mahakam. Keesokan harinya, kami tak meneruskan ke bagian hulu. Kami berbalik
arah. Kembali ke hilir sungai. Ada desa yang menyimpan peninggalan awal masa
sejarah di Nusantara. Desa Muara Kaman.
Satu jam perjalanan. Kami sampai. Dan harus melewati Kebun Sawit dan menyeberang sungai lagi. Dengan naik kapal lagi tentu saja. Pemukiman di atas sungai sudah jarang ditemui. Ada hanya beberapa. Muara Kaman merupakan kecamatan yang berbeda dengan Desa yang sebelumnya kami datangi. Kecamatan Muara Kaman. Penduduknya juga bertempat tinggal di pinggiran sungai sampai ke daerah perbukitan yang lumayan tinggi.
Ada salah satu monumen nasional yang baru pertama kali
saya datangi. Padahal tempatnya tak jauh dari desa saya. Monumen Nasional Tugu
Pahlawan Muso Bin Salim. Lebih dikenal dengan Muso Salim. Beliau adalah salah
satu tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berasal dari Muara
Kaman. Pahlawan Gerilya Kalimantan Timur ini juga pernah menerima penghargaan
dan kehormatan dari Menteri Pertahanan RI Sultan Hamengkubuono XI pada 1947,
dan lain sebagainya. Perjuangan beliau yang berani mengangkat senjata mengusir
penjajah adalah semangat yang mesti generasi sekarang warisi. Banyak pihak juga
yang mengusahakan agar beliau diangkat menjadi pahlawan nasional. Tapi itu juga
merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu yang panjang. Saya mengalami kesulitan
mencari informasi tentang beliau. Jadi, jika ada yang lebih tahu, bisa berbagi
di komentar.
Setelah dari situ kami beranjak. Ke situs kutai Ing
Martadipura. Tempat ditemukannya tujuh Prasasti Yupa tertua di Nusantara. Inilah
yang menjadikan Kerajaan Kutai menjadi kerajaan tertua di Indonesia. Prasasti
tersebut menggunakan bahasa sansekerta yang menceritakan kemakmuran kerajaan di
bawah pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti yang menggunakan huruf pallawa tersebut
secara paleografis diperkirakan berasal pada abad ke empat Masehi. Huruf
Pallawa digunakan di Hindu Selatan sekitar tahun 400 Masehi. Corak dan gaya
huruf yang digunakan juga sama dengan gaya huruf Pallawa di India. Para ahli
menyatakan bahwa prasasti itu dibuat pada masa abad kelima Masehi. Sayangnya
bukti arkeologis dari sumber sejarah yang lain belum ditemukan. Berita Cina
tentang Kalimantan baru muncul pada masa Dinasti Tang (618-906 Masehi).
Raja Mulawarman dapat dipastikan sebagai orang Nusantara asli, karena kakeknya masih menggunakan nama lokal, Kudungga. Ahli sejarah menafsirkan nama ini adalah nama asli Indonesia yang belum terpengaruh budaya India. Pada masa abad keempat Masehi, Kerajaan Kutai telah memiliki golongan masyarakat yang cakap baca tulis menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Mereka adalah golongan Brahmana yang telah mempelajari agama Hindu hingga ke pusat penyebarannya di India.
Kehidupan politik dan ekonominya juga stabil dan
makmur berdasarkan apa yang tertulis pada bagian dari salah satu prasasti Yupa
tersebut. Raja Mulawarman berkurban dan bersedekah banyak sekali kepada para
Brahamana. Sebagai tanda terima kasih, Para Brahmana mengabadikan kisahnya dalam
Yupa.
Saya banyak bercerita sejarah di sini. Tapi itulah yang menarik saya dan teman-teman datang ke Muara Kaman. Awal mula tonggak sejarah di bumi Nusantara. Peralihan dari zaman prasejarah, memasuki masa sejarah Nusantara. Sayangnya karena pandemic covid-19. Pelayanan juga dibatasi. Kami tak bisa serta merta masuk ke dalam situs untuk melihat Yupa atau peninggalan sejarah lainnya. Salah satu Yupa yang asli disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Sisanya saya juga kurang tahu dimana.
Selain Yupa juga banyak ditemukan Artefak Tembikar, Artefak Batu dan Artefak logam. Di situs ini juga ada Lesung Batu yang merupakan batu dalam kondisi tergeletak di atas permukaan tanah. Batu ini berbentuk persegi panjang dan menyerupai menhir atau Yupa. Di hari-hari budaya tahunan Erau, biasanya banyak wisatawan yang datang berkunjung kemari. Mengenal peradaban tertua yang pernah ada di Indonesia. Tabik.