Nyantri sambil berpuisi


Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selain ngaji dan ngaji. Untung saja di Ponpes Al-Falah -tempat saya nyantri kala itu- ada banyak kegiatan sejenis ekstrakulikuler yang bisa diikuti. Setidaknya pengalaman berkegiatan dan berorganisasi semacam itu membantu sedikit banyaknya di masa-masa setelahnya. 

Salah satu kegiatan saya waktu itu sekedar sibuk di Forum Pena Pesantren (selain Program Bahasa dan Darul Hadits). Karena memang yang paling diutamakan, ya mengaji. Walaupun sering tertidur dan setengah sadar menahan kantuk.

Terkadang saya suka mensiasati rasa kantuk yang menyerang saat mengaji dengan mencuri-curi waktu membuka-buka buku-buku sastra. Atau apa saja yang bisa mengalihkan rasa kantuk

Ketika sudah agak melek, lanjut ngaji lagi. Meskipun bisa juga malah keasyikan buku, bukan memaknai kitab yang dikaji. Sudah jadi rahasia umum bagi teman-teman. ketika ke kelas, ada satu dua buku yang diselipkan diantara kitab-kitab kuning yang dibawa. Bukunya juga bermacam-macam. Bisa Novel, Komik, Buku puisi, ya tergantung selera setiap pribadi.

Ya, kembali ke Menulis Puisi.

Karena kegiatan dan kehidupan saat itu memang sudah diatur dan tenang-tenang saja. Seorang santri ya kesibukannya mengaji dan berlatih kesalehan secara spiritual dan sosial. Minat terhadap berbagai hal lain tentu saja muncul dan perlu dialirkan. Apalagi bagi santri-santri remaja yang masih dalam semangat berapi-api mengenal hal baru.

Puisi adalah salah satu aliran yang saya pilih dalam menyalurkan semangat itu. Walaupun tidak tahu bakalan jadi apa nantinya. Ya, jalani saja dulu.

Dulu pertemuan saya dengan teks-teks sastra juga terbatas. Mengingat santri tidak bisa keluar masuk pondok seenaknya. Kami hanya bisa memaksimalkan koleksi buku-buku sastra yang ada dan kitab-kitab-kitab kuning seperti balaghah dalam memahami sastra.

Sebagai catatan, dulu aturan tentang buku-buku sastra juga terbatas ketika di pondok. Ada beberapa buku-buku yang dilarang. Bukan karena diksi dan metafora dalam buku tersebut. Tetapi hanya karena kekhawatiran kalau itu membuat santri terlena dan malas mengaji di kelas atau di masjid.
  
Saya dan teman-teman seperti Alwi, Restu, Rijal, dan Dicky yang tertarik bermain kata dan bahasa biasanya suka menyusun beberapa kalimat dan menempelkannya di Majalah Dinding Santri atau di Buletin tahunan. Ya, walaupun tidak bagus-bagus amat. Setidaknya ada dua-tiga karya yang dihasilkan. 

Hal ini juga sekaligus merangsang santri untuk menulis dan berkarya. Apalagi, ada beberapa anggapan asing kala itu. Bahwa sebelum mencapai tingkat tertentu, seorang santri mesti memiliki satu buku karya pribadi atau kolektif yang dibuahkan.

Dalam menjelajahi dunia sastra dan menulis itu setidaknya ada lentera kecil yang pernah kami nyalakan. Dengan harapan nyala itu bisa tetap hidup bahkan setelah kelulusan kami.

Bagi saya pribadi,  kebiasaan menulis itu memang sangat membantu di alam perkuliahan yang sedang saya jalani saat ini. 

Tetapi, Saat tugas dari dosen menumpuk. Kebiasaan menulis seringkali dilakukan sebagai pemenuhan kewajiban. Dalam bentuk makalah atau artikel. Puisi sebagai cinta pertama menulis sepertinya diduakan dengan menulis tugas. Wajar, kadang-kadang saya lebih suka membaca dan menulis puisi sebagai bentuk kunjungan dan hadiah bagi cinta pertama dalam tulis-menulis. Tabik.
(Andi Evan Nisastra).

You Might Also Like

3 Comments

  1. Nyantri itu ngaji. Ngaji itu bisa dari apa saja, dan dari siapa saja. Selama tidak kehilangan eksistensinya. Keren bro, lanjutkan!

    ReplyDelete
  2. Dulu,
    Aku pusing belajar bersamamu sebab semua tentang teori.
    Aku senang ngaji bersamamu sebab semua tentang isi.
    Ntaps!!👍👍

    ReplyDelete
  3. Kalo ngaji dulu, pagi mengaji malam ngulangi, kalo sastra pagi membaca malam bercinta
    Pada dasarnya semua sama ilmu+amal=berkah hehehe

    ReplyDelete