Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi
banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki peran
penting sebagai sumber kehidupan dan jalur penghubung masyarakat di Kalimantan
Timur.
Tak heran banyak desa (seperti: Sanggulan, Muara Kaman, Benua
Puhun, Ngidau, Melintang) dan bahkan kota (seperti: kota Samarinda dan
Tenggarong) yang berdiri di pinggiran sungai ini.
Sungai terpanjang kedua Indonesia ini adalah jalur utama dan area
dagang masyarakat asli Kalimantan Timur (Dayak dan Kutai). Keunikan dari
sungai Mahakam adalah bahwa masyarakat Dayak dan Kutai banyak menghuni
pinggiran sungai Mahakam.
Kehidupan masyarakat Dayak dan Kutai yang berdampingan dengan sungai
merupakan kisah hidup yang berlangsung selama berabad. Ukiran di Rumah
Lamin masyarakat Dayak Kenyah Datah Bilang Hulu sungai menceritakan kisah
migrasi mereka dalam memasuki hutan dan menyusuri tepian sungai dalam jangka
waktu yang panjang.
Lahirnya pusat-pusat peradaban seperti kerajaan dan kemudian kota
tentu saja mengharuskan adanya keterhubungan antar desa di kalimantan. Sulitnya
jalur darat untuk dilalui membuat masyarakat banyak memilih melewati jalur
sungai.
Karena akses termudah yang saling menghubungkan antar desa itu
adalah sungai. Selain mudah juga dikarenakan efisiensi waktu dan banyaknya
masyarakat yang tinggal di tepian sungai.
Dalam sejarahnya, kesejahteraan dan kesuburan tanah kalimantan
telah abadi di ukiran Prasasti Yupa. Keluhuran budi Raja Mulawarman kepada
para Brahmana. Ribuan ekor sapi, Jutaan buih minyak dan Gunungan emas.
Pemberian kehidupan kepada setiap orang.
Pada abad ke-19 hasil-hasil dari daerah pedalaman Kesultanan Kutai
diangkut oleh pedagang-pedagang Banjar dan Bugis dengan cara melakukan
pertukaran barang, yaitu dengan garam, tembakau, candu, bahan kain, tembakau,
timah dan batu karang yang akan dibawa ke Pelabuhan Samarinda.
Selain itu masyarakat dayak juga biasanya menyerahkan hasil daerah yang dibawa oleh para kepala masing-masing suku ke istana Tenggarong setiap acara tahunan Erau.
Hingga sekitar akhir tahun 1970-an, Masyarakat dayak dan kutai
menjadikan perdagangan hasil daerah ini salah satu mata pencaharian di
sungai yang berarti Maha Cinta ini.
Mereka menjual hasil sungai dan bumi, seperti ikan, buah-buahan dan sebagainya menggunakan gubeng dengan cara belentung dari daerah hulu sungai sekitar Melintang dan Kotabangun hingga ke daerah hilir, di Kesultanan Kutai dan Kota Samarinda.
Dagangan itu akan disinggahkan di setiap desa-desa atau
rumah-rumah mereka yang tertarik ingin membeli, yang juga terletak di pinggir
sungai Mahakam. Sisa dagangan hasil sungai dan bumi yang belum laku terjual
akan berakhir di Kota Samarinda. Di sini biasanya semua dagangan itu akan laku
habis dijual.
Semua pedagang dari setiap desa di hulu sungai akan berkumpul
beramai-ramai di kota yang disebut kota tepian ini. Menjual hasil sungai
atau bumi dan membeli kebutuhan hidup di kota yang kini menjadi ibukota
Kalimantan Timur.
Setelah selesai dengan urusan di kota para masyarakat yang tinggal
di hulu sungai akan pulang bersama-sama dalam satu iring-iringan gubeng-gubeng
yang sangat panjang.
Satu kapal besar bermesin akan berada di depan dan menarik iring-iringan yang membawa hasil dari perdagangannya itu menuju rumahnya masing-masing hingga ke bagian hulu sungai Mahakam, sekitar daerah danau Melintang dan Semayang.
Perjalanan dagang sungai ini bisa memakan waktu berminggu-minggu
bahkan hingga berbulan. Mereka pergi boleh jadi sendiri-sendiri. Tetapi
ketika kembali pulang tidak ada alasan untuk tidak bersama.
Selama perjalanan mencari kehidupan itu tentu juga banyak suka dan duka yang dilalui penelusur Mahakam ini. Kadangkala anggota keluarga di atas gubeng terserang penyakit demam biasa atau parah sekali. Persediaan makan yang kurang, arus jeram yang deras dan kuat atau hasil dagang yang tak dihargai seberapa. Yang sangat menyedihkan apabila dalam pencarian kehidupan ini mereka malah menemukan kematian.
Disamping itu juga ada pengalaman suka yang dijumpai. Mereka bisa bertemu banyak teman baru, hasil dagang yang melimpah bahkan mungkin pasangan hidup. Pemandangan yang juga sangat indah adalah hadirnya kawanan lumba-lumba air tawar atau yang dikenal dengan Jukut Pesut Mahakam yang meloncat atau menyemburkan air ke udara.
Gubeng memang masih ada tetapi sudah tak lagi banyak seperti dulu. Iring-iringan gubeng pembawa hasil dagang dari hilir ke hulu yang menjadi tanda kesejahteraan dan kemakmuran hutan kalimantan kini sudah berganti dan berbalik arah menuju hilir sungai Mahakam dengan Kapal Ponton yang membawa berton-ton batu bara dan tak pernah kembali ke hulu.
Memandang sungai Mahakam kini hanya memandang iring-iringan gunung-gunung emas hitam kalimantan yang berlalu pergi. Jika dulu gubeng belentung urang etam pergi ke hilir membawa harapan kehidupan yang lebih baik ketika kembali ke hulu.
Apakah kini ponton batu bara yang pergi ke hilir juga membawa hal yang sama ?
(Andi Evan Nisastra).
I
Ini foto gubeng. Ukurannya kadang bisa lebih besar ataupun kecil.
0 Comments