Andy Evan

  • Teras
  • Ruang
  • _Tulisan
  • _Foto
  • Kontak

 


Pada cerita sebelumnya (baca : Ragam Rupa Desa), saya sedikit bercerita tentang beberapa desa yang saya kunjugi di hulu sungai Mahakam. Keesokan harinya, kami tak meneruskan ke bagian hulu. Kami berbalik arah. Kembali ke hilir sungai. Ada desa yang menyimpan peninggalan awal masa sejarah di Nusantara. Desa Muara Kaman.

Satu jam perjalanan. Kami sampai. Dan harus melewati Kebun Sawit dan menyeberang sungai lagi. Dengan naik kapal lagi tentu saja. Pemukiman di atas sungai sudah jarang ditemui. Ada hanya beberapa. Muara Kaman merupakan kecamatan yang berbeda dengan Desa yang sebelumnya kami datangi. Kecamatan Muara Kaman. Penduduknya juga bertempat tinggal di pinggiran sungai sampai ke daerah perbukitan yang lumayan tinggi.

Ada salah satu monumen nasional yang baru pertama kali saya datangi. Padahal tempatnya tak jauh dari desa saya. Monumen Nasional Tugu Pahlawan Muso Bin Salim. Lebih dikenal dengan Muso Salim. Beliau adalah salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berasal dari Muara Kaman. Pahlawan Gerilya Kalimantan Timur ini juga pernah menerima penghargaan dan kehormatan dari Menteri Pertahanan RI Sultan Hamengkubuono XI pada 1947, dan lain sebagainya. Perjuangan beliau yang berani mengangkat senjata mengusir penjajah adalah semangat yang mesti generasi sekarang warisi. Banyak pihak juga yang mengusahakan agar beliau diangkat menjadi pahlawan nasional. Tapi itu juga merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu yang panjang. Saya mengalami kesulitan mencari informasi tentang beliau. Jadi, jika ada yang lebih tahu, bisa berbagi di komentar.

Monumen Nasional Tugu Pahlawan Muso Bin Salim


Setelah dari situ kami beranjak. Ke situs kutai Ing Martadipura. Tempat ditemukannya tujuh Prasasti Yupa tertua di Nusantara. Inilah yang menjadikan Kerajaan Kutai menjadi kerajaan tertua di Indonesia. Prasasti tersebut menggunakan bahasa sansekerta yang menceritakan kemakmuran kerajaan di bawah pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti yang menggunakan huruf pallawa tersebut secara paleografis diperkirakan berasal pada abad ke empat Masehi. Huruf Pallawa digunakan di Hindu Selatan sekitar tahun 400 Masehi. Corak dan gaya huruf yang digunakan juga sama dengan gaya huruf Pallawa di India. Para ahli menyatakan bahwa prasasti itu dibuat pada masa abad kelima Masehi. Sayangnya bukti arkeologis dari sumber sejarah yang lain belum ditemukan. Berita Cina tentang Kalimantan baru muncul pada masa Dinasti Tang (618-906 Masehi).

Situs Kerajaan Kutai Ing Martadipura


Raja Mulawarman dapat dipastikan sebagai orang Nusantara asli, karena kakeknya masih menggunakan nama lokal, Kudungga. Ahli sejarah menafsirkan nama ini adalah nama asli Indonesia yang belum terpengaruh budaya India. Pada masa abad keempat Masehi, Kerajaan Kutai telah memiliki golongan masyarakat yang cakap baca tulis menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Mereka adalah golongan Brahmana yang telah mempelajari agama Hindu hingga ke pusat penyebarannya di India.

Situs Kerajaan Kutai Ing Martadipura


Kehidupan politik dan ekonominya juga stabil dan makmur berdasarkan apa yang tertulis pada bagian dari salah satu prasasti Yupa tersebut. Raja Mulawarman berkurban dan bersedekah banyak sekali kepada para Brahamana. Sebagai tanda terima kasih, Para Brahmana mengabadikan kisahnya dalam Yupa.

Saya banyak bercerita sejarah di sini. Tapi itulah yang menarik saya dan teman-teman datang ke Muara Kaman. Awal mula tonggak sejarah di bumi Nusantara. Peralihan dari zaman prasejarah, memasuki masa sejarah Nusantara. Sayangnya karena pandemic covid-19. Pelayanan juga dibatasi. Kami tak bisa serta merta masuk ke dalam situs untuk melihat Yupa atau peninggalan sejarah lainnya. Salah satu Yupa yang asli disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Sisanya saya juga kurang tahu dimana.

Lesung Batu


Selain Yupa juga banyak ditemukan Artefak Tembikar, Artefak Batu dan Artefak logam. Di situs ini juga ada Lesung Batu yang merupakan batu dalam kondisi tergeletak di atas permukaan tanah. Batu ini berbentuk persegi panjang dan menyerupai  menhir atau Yupa. Di hari-hari budaya tahunan Erau, biasanya banyak wisatawan yang datang berkunjung kemari. Mengenal peradaban tertua yang pernah ada di Indonesia. Tabik.

  • 0 Comments

Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yang kita kenal sekarang juga lahir dari berbagai macam pertanyaan tersebut. Selain itu, hal-hal seperti kepercayaan dan kearifan lokal tertentu juga terbentuk dari banyaknya pertanyaan dan bagaimana manusia mencoba mencari jawaban atas semua itu. Karena tidak pernah ada jawaban yang memang benar-benar memuaskan, maka pertanyaan tersebut terus timbul. Termasuk pertanyaan tentang asal-usul dari manusia berasal.

Kajian yang mendalami tentang asal-usul struktur alam semesta adalah kosmologi. Ilmu ini merupakan cabang dari astronomi dan metafisika. Berdasarkan perkembangannya, kosmologi mengalami perubahan bentuk dari yang bersifat mitologi (berasal dari kebudayaan tertentu), filosofis (berasal dari pemikiran nalar manusia), religious (berasal dari dogma agama-agama tertentu), dan yang akhir-akhir ini bersifat astronomis (hal ini dipengaruhi dengan perkembangan sains yang kian pesat).

Dari bentuknya yang paling tua adalah bahwa pengetahuan tentang asal-usul manusia dahulu bersifat mitologi. Hal ini juga yang nampak pada sebuah naskah kuno masyarakat bugis: I La Galigo. Naskah tersebut juga merupakan rujukan bagi suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja di Sulawesi Selatan untuk merasakan kesatuan diantara mereka. Seperti yang diungkap Mattulada dalam tulisannya.

Naskah La Galigo merupakan sebuah sastra puisi berbahasa bugis kuno (huruf lontar) yang dikeramatkan. Konon penggalan naskahnya tidak boleh dibaca sebelum diadakan ritual-ritual tertentu.  Sebagian dari naskahnya itu berfungsi sebagai mantra-mantra yang dibacakan dengan berirama pada saat-saat tertentu.

Sebenarnya di dalam kitab La Galigo itu menceritakan tentang asal usul masyarakat bugis, petualangan seorang Sawerigading dan anaknya La Galigo, pertempuran dan cerita imaginatif dalam idiom bahasa bugis. Sebelum adanya aksara, ia merupakan tradisi lisan masyarakat Sulawesi Selatan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kemudian ia dituliskan menjadi sebuah naskah yang sangat panjang. Yang panjangnya itu bahkan melebihi kisah Ramayana dan Mahabrata yang berasal dari tanah India.

Pada tahun 2011, dua naskah La Galigo terdaftar dalam Memory of The World yang merupakan program dari United Nations Educational Scientific and Cultural Organizations (UNESCO).  Dua naskah tersebut: yang pertama, Naskah La Galigo di Museum La Galigo di Makassar, Indonesia, dengan judul Sawerigading dan La Galigo ke Senrijawa, terdiri dari 217 halaman, yang diperkirakan ditulis pada awal abad ke-19. Yang kedua, Naskah La Galigo di Perpustakaan Universitas Leiden, Leiden, Belanda, dengan judul La Galigo, terdiri dari 12 episode, 2851 halaman, yang menjadikannya naskah La Galigo terpanjang. Yang kedua ini ditulis pada pertengahan abad ke-13 dan disalin oleh Colliq Pujie, Ratu Pancana (Sebuah Kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan). Naskah La Galigo juga telah dipentaskan di berbagai belahan dunia.

Kepercayaan masayarakat Sulawesi Selatan merupakan hasil evolusi dari kepercayaan zaman prasejarah. Begitu juga pada umumnya kepercayaan masyarakat Nusantara pada zaman itu. Kemudian datanglah Hindu dan Budha. Tapi sayangnya pengaruh Hindu dan Budha tidak banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat bugis pada saat itu. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya keterangan pernah didirikannya kerajaan Hindu atau Budha dan peninggalan budaya semacam candi. Namun jejak kepercayaan dan budaya yang berkembang pada masyarakat bugis dapat ditemukan dalam naskah La Galigo yang merupakan karya tulis orang bugis pra-Islam. Kemudian Islam dan Kekristenan mulai masuk pada kehidupan masyarakat di zaman kerajaan masyarakat Sulawesi Selatan saat itu.

Dengan mengacu pada I La Galigo, Christian Perlas menceritakan secara singkat  dalam bukunya The Bugis tentang system kepercayaan masyarakat bugis pra Islam. Bahwa di atas segala-segalanya terdapat satu entitas spiritual yang abadi yang dinamakan Dewa Sisine atau Dewa yang Maha Esa. Dari entitas ini –setelah tujuh lapis langit, bumi dan dunia bawah diciptakan- muncullah sepasang dewa La Tepulangi (Langit segenap) dan We Sengngeng Linge (Ciptaan Sempurna). Bersamaan dengan itu bintang-bintang pun tercipta. Dari pertemuan pasangan Sang Matahari dan Sri Bulan saat gerhana terjadi, lahirlah pasangan Dewa lain yang diberi tiupan nafas oleh Dewata Sisine. Kemudian dari pasangan yang terakhir ini lahirlah banyak pasangan dewa lainnya. Hingga 18 dewa (menurut naskah La Galigo lainnya lahirlah 14 dewa). Keturunan dewa yang kembar ini saling menikah, namun tidak diperbolehkan menikahi saudara kembarnya karena akan dinilai sebagai sebuah dosa.

Keturunan delapan belas dewa inilah yang diceritakan panjang lebar dalam naskah La Galigo. Diantara delapan belas itu adalah Datu Patotoe (Sang Raja Penentu Nasib) dan Istrinya Mutia Unru (Mutiara Badai) yang bergelar Datu Palinge (Sang Ratu Ibu) dianggap sebagai dewa tertinggi yang mengatur jagat raya. Tempat bersemayamnya adalah di Botting Langi (Langit tertinggi). Anak bungsu dari kedua Datu ini yang bernama La Tonge Langi’ pada suatu saat diutus ke dunia tengah (dunia manusia). Di kemudian hari keturunannya lah yang menjadi para penguasa di Luwu dan menjadi tokoh cerita I La Galigo, yakni Sawerigading dan I La Galigo.

Sejalan dengan keterangan di atas, Andi Rasdiansyah dalam disertasi doktornya mengatakan bahwa Datu Patoto’e bukanlah Tuhan, tetapi wakil Dewata Sisine (Tuhan yang Satu) dan menjadi raja di kerajaan “Langit”. Langit di sini adalah sebuah simbolis dan tidak dapat diartikan secara harfiah. Hal ini sesuai dengan paham kosmologi orang Sulawesi Selatan, bahwa dunia terbagi atas tiga kerajaan, Langi’ (langit), ale kawa (bumi), dan uri’ liu’ (dunia bawah).  Paham ini juga yang menjadi sisi filosofis dalam bentuk rumah panggung masyarakat bugis yang mempunyai tiga tingkat.

Naskah I La Galigo merupakan sebuah maha karya sastra agung dan indah. Kisahnya diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Anda boleh percaya atau tidak. Tetapi, I La Galigo sebagai sebuah warisan kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan adalah sebuah hal yang harus kita hormati dan jaga. Ia adalah identitas budaya kita yang masih bertahan di tengah arus globalisasi yang kian deras sekarang ini.


  • 0 Comments

Salah satu hal yang diingat dari Kalimantan timur adalah sungai Mahakam. Dari situlah sumber kehidupan masyarakat setempat sejak dahulu kala. Hingga kini pun begitu. Hasil ikan dan air juga menjadi sumber kehidupan. Karena itu juga banyak masyarakat yang membangun tempat tinggal dan hidup di pinggiran sungai Mahakam dan anak-anak sungainya.

Konon ada kepercayaan masyarakat setempat. Bahwa barangsiapa yang meminum air sungai Mahakam, maka suatu saat nanti ia akan kembali ke Kalimantan timur. Hingga tahun 1970 an air sungai Mahakam bisa diminum dan jadi sumber air bersih bagi masyarakat. Selain menjadi tempat tinggal bagi berbagai jenis ikan. Termasuk pesut Mahakam (lumba-lumba air tawar). Yang jumlahnya kian berkurang. Seiring dengan berkurangnya kualitas air sungai Mahakam. Kini sungai Mahakam berwarna kecokelatan dan tidak lagi bisa diminum sebagaimana dahulu. Limbah dari rumah tangga dan perusahaan sangat mempengaruhi hal tersebut. Kesadaran untuk saling menjaga kebersihan dan kesehatan sungai juga terus-terus digalakkan. Demi menghidupi kerinduan terhadap sungai Mahakam yang bersih dan sehat seperti dahulu. 

Kemarin saya berkesempatan untuk menyebrangi dan kembali mengarungi sungai Mahakam. Untuk beberapa saat. Tidak lama. Perjalanan antar kecamatan yang saling berdekatan. Selain jadi sumber kehidupan, sungai Mahakam juga merupakan jalur air yang menghubungkan banyak daerah di Kalimantan timur. Hingga ke daerah paling hulu sungai yang masih belum memiliki jalur darat yang mudah untuk dilewati. Pembangunan jalan (jalur darat) yang menghubungkan setiap daerah mungkin butuh waktu yang lama.  Sangat lama. Mungkin hingga seratus tahun Indonesia merdeka. Atau bahkan lebih. Tapi mungkin juga sebentar. Jika suara masyarakat yang berada di ujung hulu sungai bisa lebih nyaring hingga ke muara.

Beberapa dokumentasi yang sempat saya ambil saat itu.

 

Pengangkutan Batu Bara


Beberapa rumah penduduk di pinggiran sungai

Pemindahan es batu dari dermaga ke kapal


  • 0 Comments


Memahami adalah proses. Saya ingin bertanya beberapa hal. Apakah integritas ilmu alam dan ilmu agama bisa lebih membantu kita mencapai kemajuan dalam sains (ilmu alam) ? Apakah integritas ilmu alam dan ilmu agama cukup membantu dalam meningkatkan takwa ? Mengapa tidak dipisahkan ? Apa yang ingin dicapai dan dihindari dari itu ? Apa sebenarnya tujuan dari islamisasi ilmu ? Apakah tujuan integrasi ilmu agama dan sains adalah Keyakinan bahwa semua ilmu berasal dari Tuhan atau kemajuan peradaban Islam atau ketakwaan ? Apakah ada kepentingan di sana ? Apakah jika kita hanya mendalami ilmu alam tidak akan menambah keimanan dan ketakwaan kita terhadap Tuhan ? Apakah jika kita mendalami ilmu agama tidak akan memajukan kemampuan kita dalam bidang sains dan teknologi ? Mengapa ada pemisahan ilmu agama dan ilmu sains di masyarakat muslim ? Bukankah al-Qur’an tidak mengajarkan dikotomi ilmu pengetahuan ? Tapi mengapa ada pemahaman begitu dalam tubuh Islam ? Apakah itu datang dari luar kita atau datang dari dalam diri kita sendiri ?

Apakah jalan ilmu agama dan sains itu sama atau berbeda ? Apakah ilmu agama dan sains itu memiliki arah yang sama atau berbeda ? Apakah wahyu Tuhan adalah bagian dari sains ? Apakah Sains adalah bagian dari wahyu Tuhan ? Apakah ada kepentingan pemahaman tertentu dalam penyatuan itu ? bagaimana jika ilmu sains bertentangan atau berbeda dengan penafsiran-penafsiran tertentu terhadap kitab suci ? yang mana yang harus dipinggirkan ? Apakah ada kesesatan dalam ilmu sains ? Bukankah sains bersumber dari pertanyaan-pertanyaan dan keraguan ? Adakah ruang keraguan dalam agama Islam ? Apakah agama Islam harus tunduk pada metode ilmiah ? Apakah itu semua tidak perlu, agama dan sains bisa berdiri sendiri dan saling melengkapi satu sama lain ? Wajibkah ada hubungan dan keterikatan antara pencapaian sains dan paham-paham tertentu dalam agama ?

Apakah ada cara yang berlaku umum bagi seluruh ilmu ? Apa itu ayat-ayat kauniyah ? Ayat-ayat al-Qur’an tentang alam atau ayat-ayat Sang Pencipta dalam alam atau kedua-duanya ? Apakah ayat-ayat al-Qur’an telah menjelaskan segala jenis cara kerja alam ? Apakah alam bekerja dengan cara yang telah ditentukan Tuhan dalam penafsiran kita terhadap kitab suci-Nya atau ia bekerja dengan cara yang berbeda dari penafsiran kita ? Apakah penafsiran kita terhadap kitab suci akan mempengaruhi cara alam bekerja ?  Bagaimana jika ada perbedaan pemahaman antara doktrin agama dan pemahaman kita terhadap bagaimana alam ini bekerja ?

Bagaimana kita memahami ayat-ayat Sang Pencipta tentang alam di kitab  suci-Nya ? Bagaimana metode tafsirnya ? Bagaimana kita memahami ayat-ayat semesta ? Apakah dua hal itu memiliki metode tafsir yang sama atau berbeda ?

Adakah ruang penafsiran ilmiah terhadap kitab suci ? Bukankah dalam Islam beberapa ulama juga menentang hal itu ? Bagaimana ilmuwan muslim melihatnya ? Apakah perlu menggabungkan antara fundamentalis agama dan fundamentalis sains ? Bagaimana caranya ?

Maaf, saya hanya ingin bertanya.

  • 0 Comments



Ada tantangan tertentu bagi seseorang yang mempelajari ilmu pengetahuan di universitas, pada umumnya. Dan ilmu falak, secara khususnya. Karena saya memang kebetulan juga belajar pada bidang ini. Pembedaan Ilmu Pengetahuan dan Agama. Seakan-akan ada garis tipis yang memisahkan keduanya.

Pembedaan ini disebut juga dikotomi ilmu pengetahuan. Menurut saya ini tidak hanya dialami bagi ilmu-ilmu alam. Tapi juga dialami oleh ilmu-ilmu sosial, teknologi, dan lain-lain. Apalagi ketika mereka bertemu dengan keyakinan dan tafsir-tafsir kitab suci tertentu.

Pemisahan ini setidaknya sedikit banyak dipengaruhi oleh sekularisasi ilmu pengetahuan. Bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan dan agama itu berdiri terpisah. Sekularisasi ilmu pengetahuan ini mengalami konflik besar ketika terjadi pertentangan antara Galileo dan kaum gereja sekitar abad ke 15-16 Masehi di Eropa.

Galileo memperoleh pendapat Copernicus (1473-1543 M) bahwa matahari adalah pusat jagat raya (heliosentrisme), Sedangkan pandangan gereja, bahwa bumi adalah pusat jagat raya (geosentrisme) didasarkan pada informasi gereja. Pertentangan dua pendapat ini berada pada ruang ilmu alam. Bagaimana sebenarnya kita memahami alam. Pertentangan antara geosentrisme dan heliosentrisme adalah hubungan konflik ilmu dan agama dalam ruang ilmu alam.

Di era kekhalifahan Abbasiyah juga pernah terjadi pertentangan ini tapi pada ruang ilmu sastra. Pembunuhan dengan dalih mencegah bid’ah terjadi terhadap dua penyair. Bashar Ibn Burd (didakwa menulis puisi yang tak senonoh dan sesat) dan Manshur al-Hajjaj (atas pernyataan ana al-Haq).

Dan hubungan antara ilmu (yang menggunakan akal) dan agama (yang menggunakan wahyu) ini juga pernah terjadi antara para ilmuan muslim (baca: Dialog Ghazali-Ibnu Rusyd) dalam ruang metafisika.

Hal tadi adalah bentuk hubungan antara ilmu dan agama. Hubungan ini memang abu-abu dan pelik. Pada perkembangan selanjutnya terjadilah sekularisasi ilmuwan pengetahuan dan agama. Memang ketika hubungan merumit. Perpisahan jadi pilihan. Dikotomi ilmu pengetahuan dan agama mungkin salah satunya.

Dalam mata kuliah Falsafah Kesatuan Ilmu bersama Pak Abu Hapsin, bahwa dalam Islam sebenarnya tidak ada pembedah bean ilmu. Bahwa hakikatnya segala ilmu yang didapat dan dicapai manusia itu sama-sama berasal dari Allah. Ilmu pengetahuan itu bisa didapatkan dari wahyu dan akal budi manusia.

Ibu Karlina Supelli, Astronom perempuan Indonesia, dalam pidatonya menyatakan bahwa, Ilmu pengetahuan tidak mengajarkan kepastian. Ia melatih akal budi untuk berani menyangsikan segala sesuatu. Termasuk mempertanyakan keimanan. Segala sesuatu yang telah teruji lewat kesangsian demi kesangsian ini akan semakin kokoh. Ilmu pengetahuan, Opini dan Keimanan kita sendiri.

Adakah dampak yang terjadi pada ilmu falak ? Tentu saja ada. Pemahaman tentang batas ilmu falak terjadi. Falak dinilai sebagai ilmu yang mempelajari benda langit sebatas manfaatnya terhadap ibadah umat Islam. Ia dipisahkan dari kawanan astronominya yang lain. Padahal objek kajian antara falak dan astronomi itu sama. Yaitu benda-benda langit.

Pada abad pertengahan masa dinasti Abbasiyah, tanda-tanda kemunculan ilmu falak/ astronomi islam mulai terlihat. Al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al-Khawarizmi, Al-Battani (858-929 M), Al-Farghani (805-880 M),  Ibnu Haitam (965-1039 M), Ibnu Yunus (950-1009 M), Abul Abbas (w. 861 M) adalah nama-nama yang menjadi rujukan astronomi bahkan hingga sekarang.

Ilmu falak termasuk ilmu alam karena ciri dan metodenya yang sama dengan astronomi (secara epistemologi). Tapi ia juga termasuk ilmu agama karena nilai dan manfaatnya bagi ibadah umat Islam, seperti arah kiblat dan awal bulan hijriyah (secara aksiologi). Bukankah beberapa teman-teman ilmu falak meyakini ini ? atau tidak ?

Jika astronom muslim terdahulu bisa ikut berkontribusi, menyumbangkan pengamatannya pada kemajuan astronomi abad pertengahan. Lantas apa yang kurang dari para calon astronom muslim (pegiat falak) masa kini ? Apakah mereka bisa ikut mengejar dan menyumbang di masa kini ? demi semangat apa ?

Yang seringkali terlewat adalah bagaimana kita melihat benda-benda langit itu. Kita melihatnya sebatas kepentingan ibadah kita terhadapnya. Arah kiblat, Awal Bulan Kamariah, Gerhana. Di lembar-lembar itu kita membaca langit. Kita menandai tiap baris-baris waktu yang tertulis di kitab alam semesta.

Kita terlewat. Bahwa kitab alam semesta tidak hanya memiliki lembar-lembar itu. Kitab semesta yang bertuliskan ayat-ayat kauniyah itu sangat luas. MEMBACA AYAT-AYAT KAUNIYAH TENTU SAJA SAMA DENGAN MEMBACA AYAT-AYAT QOULIYAH. DALAM ARTIAN KEDUANYA SAMA BERASAL DARI SANG PENCIPTA. Dan para astronom adalah orang-orang yang membaca semua itu. Bahwa cara mendekat kepada-Nya juga bisa melalui ayat-ayat dalam kitab semesta yang tentu saja dicipta oleh-Nya.

Walaupun sama-sama berasal dari-Nya, bukan berarti cara memahami dan menafsirkannya juga sama. KITA MEMBUTUHKAN CARA-CARA BERBEDA DALAM MEMBACA, MENAFSIRKAN DAN MEMAHAMINYA. Dan perbedaan cara memahami kedua hal itu tentu saja tidak serta merta bisa diselaraskan. Kita mesti hati-hati. Barangkali itu adalah garis tipis di ruang ilmu ?

  • 0 Comments
Older Posts Home

Saya


Andy Evan

“Salah satu jalan menjadi Bahagia dalam hidup adalah dengan berusaha menjadi Baik, Benar dan Indah.”

Ikuti Saya

  • twitter
  • instagram
  • facebook

Yang banyak dibaca

  • Nyantri sambil berpuisi
    Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selai...
  • Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
    Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki per...
  • New Normal, Juni dan Puisi
    Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus. Kehidupan di dunia maya masih ter...
  • Astronomi Kutai ?
    Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang se...
  • I La Galigo: Sebuah Kosmologi Bugis
    Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yan...

Baru aja

Technology and Social Media as Parts of The Daily Life of Generation-Z

Jendela

Alam (5) Astronomi (3) Budaya (7) Buku (1) Cerpen (2) Desa (2) English (1) Falak (3) Filsafat (4) Foto (4) Generation-Z (1) Islam (9) Kitab Suci (2) Kosmologi (1) Liburan (2) Media Sosial (1) Pesantren (5) Puisi (14) Santai (7) Sehimpun Puisi (1) Tokoh (4) Tulisan (36)

Denah

  • ►  2018 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  November (1)
    • ►  December (4)
  • ►  2019 (2)
    • ►  January (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2020 (28)
    • ►  May (2)
    • ►  June (19)
    • ►  July (4)
    • ►  August (1)
    • ►  September (2)
  • ►  2021 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  September (1)
  • ▼  2022 (1)
    • ▼  June (1)
      • Technology and Social Media as Parts of The Daily ...

instagram

Created By Andy Evan | Distributed By Blogger

Back to top