Ilmu Falak
merupakan bagian dari keilmuan yang unik dan menarik. Ruang lingkupnya cukup
luas dan bisa mendorong kemajuan teknologi sains di kalangan kaum muslimin.
Dasar-dasar dari keilmuan ini sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam di tanah
arab. Sejak kemunduran peradaban Islam beberapa abad lalu, ilmu falak masih
tetap bertahan hingga sekarang dan kembali menemukan jalurnya dalam
perkembangan keilmuan umat muslim, khususnya di Indonesia.
Ruang lingkup
ilmu Falak yang luas didasarkan atas pengertian bahwa ilmu falak memiliki
banyak nama seperti ilmu miqat, ilmu rashd, ilmu nujum, dan ilmu hisab.
Kemajuan peradaban manusia sekarang yang melahirkan banyak kajian keilmuan:
astronomi, astrofisika, kosmologi, kosmogoni, dan lain sebagainya juga dimasukkan
ke dalam kategori ilmu falak. Perkembangan kajian segala hal yang
berhubungan dengan kebutuhan ibadah umat Islam menjadi bagian yang tumbuh subur
dalam ilmu Falak. Ini adalah bagian dari Ilmu Falak Praktis (tathbiqy).
Kemudian dari sini ada nama baru bagi ilmu Falak yaitu astrofiqh yang mencoba
menyempitkan ruang lingkup yang luas tadi.
Kajian ilmu
Falak yang mempelajari tentang alam semesta dan hubungannya dengan ibadah umat
muslim membuat ilmu falak tidak akan terlepas dari pergerakan alam dan
penafsiran Al-Qur'an dan Hadis. Hal ini yang kemudian menjadikan ilmu Falak itu
unik. Dan dibalik keunikannya itu saya ingin mengajukan hal yang perlu kiranya
diperhatikan dan didiskusikan bersama oleh para pegiat Falak.
Sejauh yang
saya baca dan ketahui bahwa ilmu Falak oleh banyak kalangan dikategorikan
sebagai bagian dari Sains. Mereka berpendapat demikian karena ilmu falak
membahas tentang peredaran benda-benda langit: bulan, matahari, bumi. Sekarang
kita mengenal ilmu serupa yaitu astronomi. Ada bagian dari astronomi yang juga
menjadi objek kajian ilmu falak. Ini tepat menurut saya. Karena dalam proses
memahami alam sebagai bagian dari dunia objektif kita memerlukan sains sebagai
sebuah metode.
Dari situ kita
bisa memahami alam dengan pertimbangan empiris dan logis. Walaupun kita sudah
maklum bahwa Sains memiliki banyak reruntuhan teori sejak berabad-abad silam.
Sains tidak benar-benar menjamin sebuah kebenaran dari sebuah kenyataan. Dalam
filsafat, epistemologi dari Sains adalah Epistemologi Burhani atau rasio. Itu
bisa diterima.
Di sisi lain,
kita juga harus menyadari bahwa kajian ilmu falak tidak sebatas pada alam. Ada
bagian dari ilmu falak yang juga mempelajari tentang Al-Qur'an dan Hadis (contohnya
seperti awal waktu shalat, awal bulan HIjriyah, arah kiblat, dan gerhana). Di
sini kemudian yang menjadi permasalahannya. Ilmu Falak yang dimasukkan sebagai
bagian dari Sains dengan bercorak empiris dan logis tersebut mencoba memahami
makna yang tersirat dalam Al-Qur'an dan Sunnah (yang merupakan bagian dari
dunia subjektif dan bukan wilayah Sains).
Pemahaman
terhadap makna, kesadaran manusia, spritualitasnya yang memahami Al-Qur'an dan
Hadis tidak bisa menggunakan Sains. Epistemologinya adalah Epistemologi Bayani
atau Irfani. Dalam filsafat, Wilayah ini adalah wilayah subjektif. Ketika ilmu
Falak yang dipahami sebagai Sains tadi mencoba masuk dalam wilayah subjektif,
alam kesadaran manusia. Kita boleh bertanya, Apakah ia bisa benar-benar
memahami dan menangkap kesucian makna yang tersembunyi dibalik nash-nash
Al-Qur'an dan Hadis?
Beberapa saat
lalu ada sebuah gagasan yang ingin menyatukan kriteria hilal dalam penentuan
awal bulan Kamariyah dengan ketentuan Imakurrukyah. Kriteria ini dirumuskan
sebagai upaya menjembatani dua mazhab dalam ilmu Falak: Hisab dan Rukyat.
Kriteria ini memberikan pertimbangan ilmiah atas penentuan awal bulan Hijriyah.
Bahwa ada beberapa ketentuan yang memungkinkan hilal dapat terlihat.
Mazhab hisab
akan menentukan awal bulan Hijryah beracuan pada metode hisab yang dapat
memperkirakan bahwa hilal telah muncul sekalipun belum terlihat. Sedangkan
Mazhab Rukyat menjadikan acuan bahwa hilal mestilah terlihat sebagai syarat
penentuan awal bulan Hijriyah. Kita juga perlu mengingat bahwa titik berangkat
dua mazhab di atas adalah penafsiran atas dalil-dalil naqli yang ada. Kedua
penafsiran itu tentu saja masih terbuka untuk dikaji ulang.
Penafsiran
atas dalil-dalil naqli tidak tepat kiranya jika hanya memberikan
pertimbangan-pertimbangan ilmiah atas pemahaman kita terhadap dunia objektif.
Pendekatan dengan metode tafsir atau filsafat hermeneutika atas ayat-ayat
Al-Qur'an dan hadis-hadis tentang Falak juga sangat pantas untuk diajukan
sebagai bahan pertimbangan dalam menjembatani dua mazhab dalam ilmu Falak
tersebut. Selain itu wilayah intersubjektif (sosial) Ilmu Falak, bagaimana
antar kedua mazhab saling berinteraksi? Bagaimana upaya para pemerintah dalam
mempertimbangkan dan memutuskan suatu putusan yang terkait hisab rukyat?
Bagaimana para ulama Falak mengkaji ilmu Falak dan menyampaikannya kepada umat
muslim? Hal-hal seperti itu juga kiranya perlu dipikirkan dan didiskusikan
bersama sebagai upaya mengembangkan ilmu Falak dalam bangunan peradaban manusia
saat ini. Tabik.