Dialog tiga masalah filsafat Ghazali-Ibnu Rusyd (Filsafat 2)


Pembahasan tentang akal dan wahyu adalah hal sudah dibahas sejak dahulu kala. Dalam dunia Islam pada masa awal-awalnya, kita akan menemui aliran-aliran teologi seperti jabariyah, qadariyah dan mu’tazilah. Dan perbincangan itu berlangsung sangat lama sekali. Belanjut pada zaman Ibnu Sina, Farabi, Ghazali dan Ibnu Rusyd. Bahkan hingga sekarang pun masih banyak yang membahas tentang hal ini. Apalagi tentang pemahaman kita tentang Tuhan dan Alam Semesta.

Al-Ghazali -seperti saya bahas pada tulisan sebelumnya- telah mengarang kitab Tahafut Falasifah. Di dalamnya tercakup dua puluh masalah tentang kerancuan berpikir kaum filsuf. Yang penjelasannya juga sangat rasional. Meskipun nanti Ibnu Rusyd memberikan bantahan dan membela para filsuf. Diantara 20 masalah itu, ada 3 permasalahan yang dianggap paling berat dan dapat menyebabkan kekafiran. Sisanya yang 17 dianggap sesat. Kurang lebih begitu. 

Tiga masalah itu adalah : masalah keabadian alam, masalah Tuhan hanya mengetahui yang universal dan tidak dengan particular, dan masalah tentang kebangkitan jasmani.

Kritik Ghazali terhadap epistemology filsuf muslim pendahulunya disambut dengan tidak kalah kritis oleh Ibnu Rusyd dan pemikir-pemikir setelahnya. Ibnu Rusyd kurang setuju dengan istilah-istilah  kafir mengkafirkan. Perbedaan pendapat mesti kita lihat sebagai kewajaran dan kemungkinan adanya beda pemahaman doktrin agama. Perbedaan zaman dan keadaan social budaya akan mempengaruhi pemikiran seseorang. 

Supaya lebih mudah, mungkin saya akan coba tuliskan saja kritikan tiga permasalahan di atas dalam bentuk percakapan antara para filsuf, Ghazali dan Ibnu Rusyd. Ini hanya menampilkan sebagian dari apa yang saya pahami tentang dialog tiga orang tadi dalam karyanya.

Alam semsesta itu bersifat kekal atau qadim. Kekekalan alam sebenarnya adalah pemikiran filosof Yunani, Aristoteles.

G       : Tentu saja alam itu tidak bersifat kekal. Karena dalam pemahaman teologi pada umumnya yang kekal dan abadi itu hanyalah Tuhan. Alam itu diciptakan dalam waktu atau bersifat baru. Ada jeda antara keberadaan Tuhan yang tidak berawal dengan keberawalan alam. Tuhan ada. Kemudian baru alam diciptakan. Alam ada.

F        : Jika seperti itu, maka alam masih akan bersifat mungkin ada. Alam belum tentu ada. Alam bisa saja tidak ada karena tidak adanya penentu atau yang berkehendak untuk mengadakannya. Penentu tersebut telah mendorong terciptanya alam atau tidak ? Jika tidak, maka adanya alam masih bersifat mungkin. Jika iya, maka siapa penciptanya ? Kenapa ia baru muncul sekarang, dan bukan sebelumnya ?

G       : Yang baru itu bisa muncul dengan kehendak kekal. Jadi, alam itu muncul bersamaan dengan kehendak kekal tersebut. Dengan kehendak itu, ketiadaan akan berakhir dan alam mewujud menjadi ada. Dengan demikian tanpa kehendak Tuhan tersebut alam tidak aka nada.

I         : Pertama, kehendak dan tindakan itu berbeda. Kehendak merupakan hasrat untuk melakukan suatu tindakan tertentu dan ketika itu telah dilakukan, hasrat berhenti.Menetapkan suatu kehendak yang abadi dan penciptaan alam yang baru itu bertentangan dengan yang dimaksud dengan kehendak sendiri. Juga ketika Tuhan bertindak, produk tindakan Tuhan pun mestinya secara langsung ada. Maka tidak ada jarak antara tindakan Tuhan dengan produk-Nya. Ini berarti bahwa alam itu dipandang sebagai produk dari tindakan Tuhan buakn kehendak-Nya.

          Kedua, Qadimnya Tuhan atas alam itu seperti qadimnya sebab-akibat, yaitu dari segi zat dan tingkatan. Bukan waktu. Qadimnya Tuhan berbeda dengan qadimnya alam. Qadim Tuhan adalah wujudnya tidak karena sesuatu, tidak dari sesuatu dan tidak diadahului waktu. Qadim makhluk adalah wujudnya tidak berasal dari sesuatu, tidak didahului waktu, TETAPI TERJADI KARENA SESUATU (DICIPTAKAN).

 

Ketidaktahuan Tuhan terhadap sesuatu yang partikular (Juz,iyyat/Terperinci) yang bersumber dari pemahaman Aristiteles yang menganggap Tuhan  sebagai Penggerak Pertama. Pemikiran tentang Tuhan yang berkembang pada filsafat di dunia Islam adalah konsep Tuhan yang baik (Plato), Tuhan Penggerak Pertama (Aristoteles), dan Tuhan yang satu (Plotinus). 

F          : Tuhan mengetahui diri-Nya dan selain diri-Nya secara universal. Hal ini karena pengetahuan Tuhan bersifat tetap. Jika diasumsikan Tuhan mengetahui yang partikular maka pengetahuan Tuhan akan berubah dan ini meniscayakan Tuhan pun berubah karena pengetahuan yang baru tadi. Tuhan tidak mengetahui dengan pengetahuan yang baru.

G          : Alam ini diciptakan karena kehendak Tuhan dan juga segala yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruh sesuatu diketahui Tuhan secara rinci. Ia berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang rinci.

I           : Perdebatan antara G dan F timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dan manusia. Klarifikasi dari permasalahan G, bahwa F tidak mengatakan seperti itu. Pendapat F, pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam BERBEDA dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan Tuhan TIDAK MUNGKIN SAMA dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Tuhan bersifat qadim dan pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan merupakan sebab dari wujud alam, sedangkan pengetahuan manusia adalah akibat/hasil pengamatan. Tuhan tidak mengetahui perincian alam itu dengan ilmu baru. Yang mensyaratkan kebaharuan peristiwa. Ilmu Tuhan bersifat qadim tidak berubah karena perubahan peristiwa.

 

Permasalahan ketiga yaitu tentang kebangkitan jasmani. Bahwa nanti yang akan dibangkitkan di akhirat adalah ruh manusia. Pemikiran ini merupakan pengaruh dari filsafat Yunani khususnya teori tentang ide dari Plato.

F          : Unsur jasmani manusia yang telah mati akan diproses alam. Proses alam yang cukup panjang itu  tidak menutup kemungkinan merubah unsur jasmaninya. Jika kebangkitan manusia dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinann manusia dibangkitkan dalam bentuk yang tidak sempurna. Apa yang disebut sebagai kenikmatan ukhrawi (seperti surga, neraka, sungai susu dan madu yang mengalir) dalam wahyu adalah symbol-simbol atau metafora yang ditunjukan kepada orang-orang awam. Kebangkitan pada kehidupan selanjutnya itu bersifat rohani/jiwa. Materi atau unsur jasmani itu terbatas bilangannya. Sedangkan jiwa tak terbatas. Jasad tidak dapat menampung jiwa. Selain itu kebangkitan jasmani mengandung unsur renkarnasi. Sementara renkarnasi tidak dapat diterima.

G          : Dalam hal keabadian jiwa dan kenikmatan yang bersifat rohani dan spiritual yang lebih utama daripada kebahagiaan jasmani. Ghazali sepakat dengan para filosof. Akan tetapi kenikmatan itu tidak menampik kenikmatan jasmani yang akan manusia dapatkan di akhirat. Justru dengan begitu akan menyempurnakan kebahagiaan akhirat. Sedangkan wahyu yang mengandung symbol dan metafora tadi bukanlah wilayah ta’wil. Jadi harus dipahami secara tekstual. Dan segala bentuk kemustahilan yang disampaikan F tadi terjawabkan dengan kekuasaan Tuhan untuk membangkitkannya.

I           : Semua agama mengakui adanya kebangkitan dan hidup kedua di akhirat.  Walaupun berbeda pendapat dalam bentuknya. Namun maksud pokok syari’at adalah menghimbau manusia untuk terus melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Dalam kitab tahafut falasifah, Ghazali menuliskan bahwa TIDAK ADA ORANG ISLAM yang berpendapat bahwa kebangkitan hanya dalam bentuk Rohani. Tapi dalam buku tasawuf, ia menulis bahwa bagi kaum sufi kebangkitan akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Oleh karena itu tidak ada kesepakatan pemahaman dalam Islam tentang bentuk kebangkitan. Dengan demikian Kaum filsuf TIDAK BISA SERTA MERTA DIKAFIRKAN. Hanya karena mereka berpikir demikian.

 

Sebelum menutup, ada beberapa hal yang harus sama-sama kita pehatikan. Bahwa kritik Ghazali kepada filsosof terbatas pada teori Metafisika (Ilahiyat/Teologi) al-Farabi dan Ibnu Sina yang sangat paltonik. BUKAN TERHADAP KESELURUHAN KAJIAN FILSAFAT. Pengkafiran al-Ghazali itu juga direspons Ibnu Rusyd dengan baik. Ibnu Rusyd menulis buku dan meluruskannya. Ia membela kaum filosof dan ingin menyampaikan bahwa filsafat bisa diterima semua orang.

Di luar bidang metafisika itu, al-Ghazali juga justru mengandalkan logika (Aristoteles). Karena dengan penerapan logika itu, umat Islam tidak akan terjebak dalam kesalahan.

Jadi, jangan takut berfilsafat ya.

                                                                                                                      .

You Might Also Like

0 Comments