Andy Evan

  • Teras
  • Ruang
  • _Tulisan
  • _Foto
  • Kontak

 


Pada cerita sebelumnya (baca : Ragam Rupa Desa), saya sedikit bercerita tentang beberapa desa yang saya kunjugi di hulu sungai Mahakam. Keesokan harinya, kami tak meneruskan ke bagian hulu. Kami berbalik arah. Kembali ke hilir sungai. Ada desa yang menyimpan peninggalan awal masa sejarah di Nusantara. Desa Muara Kaman.

Satu jam perjalanan. Kami sampai. Dan harus melewati Kebun Sawit dan menyeberang sungai lagi. Dengan naik kapal lagi tentu saja. Pemukiman di atas sungai sudah jarang ditemui. Ada hanya beberapa. Muara Kaman merupakan kecamatan yang berbeda dengan Desa yang sebelumnya kami datangi. Kecamatan Muara Kaman. Penduduknya juga bertempat tinggal di pinggiran sungai sampai ke daerah perbukitan yang lumayan tinggi.

Ada salah satu monumen nasional yang baru pertama kali saya datangi. Padahal tempatnya tak jauh dari desa saya. Monumen Nasional Tugu Pahlawan Muso Bin Salim. Lebih dikenal dengan Muso Salim. Beliau adalah salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berasal dari Muara Kaman. Pahlawan Gerilya Kalimantan Timur ini juga pernah menerima penghargaan dan kehormatan dari Menteri Pertahanan RI Sultan Hamengkubuono XI pada 1947, dan lain sebagainya. Perjuangan beliau yang berani mengangkat senjata mengusir penjajah adalah semangat yang mesti generasi sekarang warisi. Banyak pihak juga yang mengusahakan agar beliau diangkat menjadi pahlawan nasional. Tapi itu juga merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu yang panjang. Saya mengalami kesulitan mencari informasi tentang beliau. Jadi, jika ada yang lebih tahu, bisa berbagi di komentar.

Monumen Nasional Tugu Pahlawan Muso Bin Salim


Setelah dari situ kami beranjak. Ke situs kutai Ing Martadipura. Tempat ditemukannya tujuh Prasasti Yupa tertua di Nusantara. Inilah yang menjadikan Kerajaan Kutai menjadi kerajaan tertua di Indonesia. Prasasti tersebut menggunakan bahasa sansekerta yang menceritakan kemakmuran kerajaan di bawah pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti yang menggunakan huruf pallawa tersebut secara paleografis diperkirakan berasal pada abad ke empat Masehi. Huruf Pallawa digunakan di Hindu Selatan sekitar tahun 400 Masehi. Corak dan gaya huruf yang digunakan juga sama dengan gaya huruf Pallawa di India. Para ahli menyatakan bahwa prasasti itu dibuat pada masa abad kelima Masehi. Sayangnya bukti arkeologis dari sumber sejarah yang lain belum ditemukan. Berita Cina tentang Kalimantan baru muncul pada masa Dinasti Tang (618-906 Masehi).

Situs Kerajaan Kutai Ing Martadipura


Raja Mulawarman dapat dipastikan sebagai orang Nusantara asli, karena kakeknya masih menggunakan nama lokal, Kudungga. Ahli sejarah menafsirkan nama ini adalah nama asli Indonesia yang belum terpengaruh budaya India. Pada masa abad keempat Masehi, Kerajaan Kutai telah memiliki golongan masyarakat yang cakap baca tulis menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Mereka adalah golongan Brahmana yang telah mempelajari agama Hindu hingga ke pusat penyebarannya di India.

Situs Kerajaan Kutai Ing Martadipura


Kehidupan politik dan ekonominya juga stabil dan makmur berdasarkan apa yang tertulis pada bagian dari salah satu prasasti Yupa tersebut. Raja Mulawarman berkurban dan bersedekah banyak sekali kepada para Brahamana. Sebagai tanda terima kasih, Para Brahmana mengabadikan kisahnya dalam Yupa.

Saya banyak bercerita sejarah di sini. Tapi itulah yang menarik saya dan teman-teman datang ke Muara Kaman. Awal mula tonggak sejarah di bumi Nusantara. Peralihan dari zaman prasejarah, memasuki masa sejarah Nusantara. Sayangnya karena pandemic covid-19. Pelayanan juga dibatasi. Kami tak bisa serta merta masuk ke dalam situs untuk melihat Yupa atau peninggalan sejarah lainnya. Salah satu Yupa yang asli disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Sisanya saya juga kurang tahu dimana.

Lesung Batu


Selain Yupa juga banyak ditemukan Artefak Tembikar, Artefak Batu dan Artefak logam. Di situs ini juga ada Lesung Batu yang merupakan batu dalam kondisi tergeletak di atas permukaan tanah. Batu ini berbentuk persegi panjang dan menyerupai  menhir atau Yupa. Di hari-hari budaya tahunan Erau, biasanya banyak wisatawan yang datang berkunjung kemari. Mengenal peradaban tertua yang pernah ada di Indonesia. Tabik.

  • 0 Comments



Sebulan yang lalu saya dan teman-teman jalan-jalan ke Kecamatan Kota Bangun di Kabupaten Kutai Kartanegara. Perjalanan ini sebenarnya sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Setelah dua sampai tiga minggu wacana. Akhirnya kami bisa merealisasikannya. Karena saya tidak pernah lagi ke daerah hulu sungai Mahakam sudah sangat lama. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Saya kira. Karena jauhnya waktu yang tak kunjung temu itu, saya tertarik untuk kembali menunaikan rindu. Sambil menarik kembali ingatan dan merangkai pengalaman baru.

Jarak dari desa kami berangkat (Desa Sanggulan) ke Kecamatan Kota Bangun kurang lebih tiga puluh kilometer. Ya, kurang lebih jarak dari daerah Ngaliyan di Semarang ke Demak. Tapi waktu yang kami tempuh tentu saja tidak sama. Medan yang sangat menantang. Setengah jarak perjalanan kami lalui dengan krikil dan debu, juga lubang sana-sini. Jalannya masih berupa tanah dengan batu-batu kecil. Untung saja tidak hujan. Jadi perjalanan masih tergolong mudah bagi kami yang sudah terbiasa. Memang melalui jalur ini lebih dekat walaupun sebenarnya bukan jalan resmi. Kami harus melalui sebuah perkebunan kelapa sawit yang SANGAT LUAS. Saking luasnya, ketika sedang berada di daerah tersebut sepanjang mata memandang yang bisa kita lihat hanyalah pohon-pohon sawit.

Setengah perjalanan yang akhir kami sudah keluar dari perkebunan dan melalui jalan resmi yang sudah beraspal. Jalan ini sudah mulai ramah debu dan krikil ketimbang separuh jalan sebelumnya. Karena medan yang seperti itu kami bisa menjalaninya selama kurang lebih tiga jam. Normalnya dua jam. Hal tersebut wajar saja. Karena kecepatan kami yang santai dan di bawah rata-rata. Kami berangkat jam 8 pagi dan tiba di tujuan jam 11 siang. Separuh perjalanan sampai ke tujuan sudah terbilang nyaman.

Sampai di Kota Bangun, kami harus menyebrang sungai Mahakam dengan menggunakan kapal Feri. Kapal ini sudah merupakan kendaraan umum di Kecamatan ini. Karena pemukiman penduduk biasanya ada di dua sisi Sungai Mahakam. Jadi, penyeberangan antara dua sisi sungai akan selalu ada, Bahkan bisa sangat padat. Kapalnya tidak terlalu besar, cukup untuk satu kendaraan roda empat atau lima sampai enam kendaraan roda dua. Biasanya akan langsung menyebrang (tanpa menunggu) walaupun hanya mengangkut dua atau tiga motor. Sewaktu menyebrang kita akan benar-benar dekat dengan sungai Mahakam. Ini menarik dan seru bagi saya yang sudah mulai jarang bermain di sungai Mahakam.

Sesampai di sisi seberang, kami bersegera menuju rumah keluarga. Tempat kami menginap. Di Kota Bangun Seberang ini menariknya, desanya  berada di atas jembatan. Jadi semua rumah penduduk, warung, masjid berada di atas jembatan. Dan jembatannya berbahan kayu. Setiap kali ada kendaraan yang lewat di depan rumah, maka suara jembatan kayu yang berbunyi itu terdengar nyaring. Bahkan ketika saya berada di atas motor bersama teman saya, suara pembicaraan kita bukan saja terhalang angin, tapi juga terhalang suara jembatan kayu yang berbunyi. Duk, duk, duk, duk.

Lalu, apakah jika tengah malam ada yang lewat di jembatan maka setiap rumah yang dilewati di desa itu akan terbangun ? Tentu saja tidak. Karena, masyarakat yang tinggal di situ juga sudah terbiasa dengan suara jembatan yang ribut.

Oiya, ciri khas sungai Mahakam adalah kapal ponton yang mengangkut Batu Bara (Emas Hitam Kalimantan) dan kayu-kayu pohon Kalimantan sering lalu lalang di Sungai Mahakam. Di Desa saya saja, setiap sepuluh menit sekali dapat dipastikan ada kapal yang lewat di belakang rumah dengan membawa hasil alam. Karena banyak tambang yang memang berada di hulu sungai Mahakam.

Setelah istirahat sebentar, kami pergi ke salah satu desa terdekat yang terkenal dengan wisatanya. Desa Pela Namanya. Dekat dengan danau Semayang. Setiap ada kegiatan budaya tahunan Erau, maka biasanya desa tersebut akan ramai dengan pengunjung dari berbagai daerah dan berbagai Negara. Karena selain tempatnya yang menarik, kekayaan alamnya juga merupakan daya tariknya. Ikan sungai Mahakam yang berukuran besar sangat sering ditemui di sini. Satu ikan bisa sampai berpuluh-puluh kilo beratnya.

Perjalanan kami ke Desa Pela menunjukkan bahwa kami harus terus berjalan ke bagian hulu sungai Mahakam. Dan kami harus tiga kali naik kapal feri. Menyebrang dari sisi sungai yang satu ke sisi sungai yang lain. Semakin ke hulu maka semakin sering saya menemui desa yang berada di atas jembatan kayu. Juga kegiatan di sungai akan semakin ramai. Karena selain sumber pertanian, masyarakat juga bermata pencaharian dengan menjadi nelayan.

Kami berkeliling hingga sore dan pulang kala malam. Tabik.


Beberapa foto yang sempat saya ambil :


Desa Pela







Kota Bangun Seberang



  • 0 Comments


  

Sewaktu di Pondok Pesantren, Salah seorang Ustadz pernah berkata bahwa apa yang kami (santri) pelajari dalam kitab klasik ketika di kelas atau di Musholla memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain. Pelajaran Fiqih yang membahas tentang hukum dan tata cara ibadah akan memiliki hubungan dan ketersambungan dengan Pelajaran Tauhid yang membahas masalah Ketuhanan.

Fiqih, Tauhid, Akhlak, Tasawuf, Tarikh, Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, semua memiliki tali tipis yang mengikatnya. Hal itu benar adanya. Seorang guru yang membacakan kitab klasik lalu menjelaskannya akan membahas dari banyak sisi dari sebuah teks. Seorang santri dilatih untuk melihat suatu teks bukan hanya dari sisi bahasa, tapi juga dari sisi sejarah, bahkan sisi makna yang tersembunyi dari sebuah teks, yang didapatkan seorang pensyarah (seseorang yang menjelaskan sebuah matan/teks kitab klasik) setelah mengamati dan merenungkan teks tersebut.

Pernah suatu ketika kami memulai sebuah kajian kitab klasik di kelas. Seorang Ustadz menjelaskan teks “Bismillahirrahmanirrahim” hingga dua kali pertemuan. Yang masing-masing pertemuannya selama 45 menit. Atau bisa juga seperti ini: Suatu teks yang kurang bisa kita pahami dalam suatu pelajaran akan lebih mudah dipahami ketika ada pembahasan serupa pada pelajaran yang lain. Ada pengulangan dan penajaman makna dari lain sisi suatu teks. Misalnya suatu penjelasan dalam Kitab Fiqih (Hukum) lebih mudah kita pahami setelah kita membahas bab tertentu dalam Kitab Tarikh (Sejarah).

Saya terkadang mengingat dan merenungkan kembali pernyataan guru saya tersebut di awal. Saya tidak terlalu berputus asa atas ketidakpahaman saya atas suatu permasalahan. Saya akan memahaminya. Mungkin tidak sekarang. Mungkin nanti. Tapi dengan satu syarat: Saya tidak berhenti belajar.

Apa yang juga sangat saya ingat dari guru saya tersebut adalah: ”Seiring bertambahnya usia, rezeki, ilmu pengetahuan, dan wawasan kita PASTI bertambah. Tapi dengan satu syarat: Jangan pernah berhenti belajar.” Beberapa waktu kemudian saya mendengar perkataan Gus Mus dalam suatu cuplikan di sosial media. Saya tidak ingat pastinya, tapi kurang lebih seperti ini. “Biarkan anak muda berpikir sebebas-bebasnya. Terserah bagaimanapun juga. Tapi ingat satu hal: Jangan Berhenti Belajar. Karena mereka yang berhenti belajar akan merasa pandai dan menyusahkan masyarakat”

Kita tentu saja berharap semoga bisa terus menerus belajar dari segala hal. Dalam proses panjang menjadi yang  terbaik dalam hidup.

  • 0 Comments

Dalam bersaudara memang mesti saling memahami. Berbeda bukan berarti tak bisa mengerti. Nikmati saja prosesnya di ujungnya nanti pasti bisa saling memahami.
“Kak Madi, kapan kita belanja baju baru. Kan udah janji sama Nauma dan Hadi. Ramadhan tinggal sehari lagi lho.”ajak kak Nauma.
“Ramadhan masih belum berakhir tau, entar aja deh”sanggah kak Madi.
“Menurut penghitungan kakak ni ya. Ramadhan tahun ini juga bakalan 30 hari. Teman-teman kakak juga banyak yang sama pendapat dengan kakak. Jadi santai aja” tambah kak Madi lagi.
“Kok gitu sih. Nanti kalau terlambat. Toko-toko keburu pada tutup semua, kak.” Kak Nauma tak mau kalah.

***

Dalam bersaudara memang mesti saling memahami. Berbeda bukan berarti tak bisa mengerti. Nikmati saja prosesnya di ujungnya nanti pasti bisa saling memahami.
Kak Madi adalah anak tertua di keluarga. Ia banyak berkeliling ke mana-mana. Bukan untuk apa-apa hanya untuk belajar. Ia banyak membantu para saudara-saudaranya dalam hal pendidikan. Bahwa jika kita ingin saling memahami kita haruslah saling belajar. Bukan hanya di bangku sekolah atau berapa lembar ijazah yang didapatkan. Tapi sebesar apa penerimaan kita terhadap orang lain. 
Kak Madi punya banyak teman di kota. Teman-temannya rata-rata terpelajar yang dulu pernah satu pesantren dengannya. Kak Madi sering mengajakku jalan-jalan ke kota ketika ia sedang libur dan lagi sepi dari kegiatan. 
Pergaulannya yang luas dan pengalamannya nyantri di kota membuatnya bisa berbahasa inggris dan arab. Jangan ditanya tentang capaiannya. Bermacam-macam lomba pidato telah  dimenangkannya.
Kalau kak Madi adalah anak sulung laki-laki. Maka Kak Nauma adalah kakak sulung perempuan. Ia yang paling cantik diantara kami. Karena memang satu-satunya anak perempuan di keluarga. Apalagi kalau dengan kerudung biru yang sering digunakannya. Ia adalah santri salah satu pesantren di desa. Karena kebetulan memang pesantren itu yang paling dekat dengan rumah. Sehingga kapanpun ia bisa pulang dan tahu kabar di rumah.
Bukan hanya cantik. Kak Nauma juga bisa dibilang pandai apalagi dalam mengaji kitab kuning. Sanad keilmuannya tak usah diragukan lagi. Ia punya banyak berguru ke kiai-kiai besar. Ia bisa jelaskan berbagai kitab kuning dengan baik dan sederhana. Selepas isya aku akan mengaji kepada kak Nauma. Membahas beberapa bab fiqih. Yang masih buram aku pahami. Jikalau belum menemukan jawaban yang memuaskan. Jalan terakhir adalah menanyakan kepada bapak. Begitupun jika ada hal yang tidak bisa dijawab Kak Nauma. Ia juga akan bertanya pada bapak.

***

Dalam bersaudara memang mesti saling memahami. Berbeda bukan berarti tak bisa mengerti. Nikmati saja prosesnya di ujungnya nanti pasti bisa saling memahami.
Pada bulan puasa biasanya kak Madi dan kak Nauma akan mendapatkan jatah libur panjang. Setiap malam setelah tarawih dan mengaji kami bertiga akan bercerita banyak hal. Dari hal-hal biasa teman-teman kak Madi yang titip salam buat kak Nauma sampai yang lumayan berat buat dicerna kepalaku seperti perbedaan cara ulama dalam menentukan awal bulan syawal nanti.
“Kak Madi, kita beli baju baru, yuk. Kan kita udah dapat THR dari ayah ibu.”ajakku.
“Aku ikut juga ya, kak.” Tambah kak Nauma.
“Iya, nanti deket-deket syawal, ya.”jawab kak Madi.
Kami tentu saja senang bukan main bukan hanya karena akan dapat baju baru. Tapi juga kami akan jalan-jalan ke kota. Apalagi nanti sama-sama ke sana dengan Kak Madi. Kalau begitu, ayah dan ibu pasti mengizinkan. Karena ada kak Madi yang sudah hapal jalan ke kota. Asalkan jangan pulang kesorean saja.
Tapi ternyata ketika syawal sebentar lagi sampai kami belum juga ke kota. Aku makin resah saja. Kapan sebenarnya kita akan beli baju baru. Aku sudah enggak sabar. Karena cuma kali ini saja, aku dapat kesempatan beli baju baru. Di lain hari belum tentu. Selepas ngaji aku langsung mendekati kak Nauma.
“Kak Nauma, kita ingetin lagi kak Madi. Mungkin dia lupa. Kemarin kan udah janji mau nemenin kita ke kota buat beli baju baru.”bujukku. aku sudah enggak sabar.
“Iya dek.”jawab kak Nauma. 
Begitu kak Madi datang. Kami langsung menghadangnya di ruang tamu. Mengajukan pertanyaan,’kapan kita ke kota?’ dengan antusias.
“Kak Madi, kapan kita belanja baju baru. Kan udah janji sama Nauma dan Hadi. Ramadhan tinggal dua hari lagi lho.”ajak kak Nauma.
“Ramadhan masih belum berakhir tau, entar aja deh”sanggah kak Madi.
“Menurut penghitungan kakak ni ya. Ramadhan tahun ini juga bakalan 30 hari. Teman-teman kakak juga banyak yang sama pendapat dengan kakak.” tambah kak Madi lagi.
 “Kok gitu sih. Nanti kalau terlambat. Toko-toko keburu pada tutup semua, kak.” Kak Nauma tak mau kalah.
“Juga gini ya. Kita kan juga mesti ru’yatul hilal dulu kak. Walaupun Nauma gak pernah ru’yat. Tapi Nauma tau. Jadi, Gak bisa langsung nentuin akhir bulan gitu. Siapa tau, nanti hilal syawal sudah kelihatan. Kan jadi lebih cepat idul fitrinya.”tambah kak Nauma dengan percaya diri.
“Toko-toko di kota gak bakalan tutup secepat itu, dek. Santai aja. Juga kan udah diperhitungkan semuanya. Ramadhan 30 hari tahun ini.” Jawab kak Madi.
“Kak Madi kan janji sama kita. tepatin janjinya dong.” Sanggahku.
“Iya dek. Kakak ingat. Tapi kan gak harus sekarang juga.”jawab kak Madi.
“gak sekarang juga maksudnya kak. Ih sebel.”akhiri kak Nauma. Lalu berdiri dan meninggalkan kami.
Aku dan kak Madi masih duduk di ruang tamu sementara kak Nauma pergi ke kamarnya. Kak Madi mungkin belum bisa mengajak kami dalam waktu dekat. Tapi bulan ramadhan juga sebentar lagi berakhir. Kalau tidak cepat, kita akan lebih dulu sampai menuju syawal daripada ke kota. Perjalanan ke syawal lebih pasti ketimbang perjalanan ke kota yang belum tentu kapan.
Esok harinya kak Madi dan kak Nauma sama sekali tak melanjutkan pembicaraan apa-apa lagi. Jangankan mau ke kota berteguran saja tidak. Dari sesudah shubuh hingga ngaji ba’da tarawih. Tanpa percakapan diantara mereka berdua. Kalau mau bicara pasti lewat perantara aku. Bilangin ke sini. Bilangin ke situ. Aku tidak bisa membiarkan ini terus. Selain capek jadi penghubung suara diantara keduanya juga nanti tidak jadi ke kota. Dan aku gak punya baju baru. 

***

Malam itu juga aku menunggu kak Madi di teras depan. Agak lama. Sampai ia benar-benar datang. Dengan tanpa sabar. Kak Madi yang belum masuk ke halaman sudah aku teriyaki.
“Kak Madi, besok udah tanggal 29 ramadhan. Kapan kita mau ke kota ?”tanyaku penasaran.
“Gimana kalau besok saja?”jawab kak Madi.
“Beneran?. Iya kak. Besok saja ke kota.”tanggapku secepatnya.
Aku langsung memeluk kak Madi. Karena senang mendengar jawaban yang diunggu-tunggu dari kemarin itu. Kak Nauma sepertinya tadi juga baru sampai di rumah beberapa saat lalu. Ia harus tahu kabar baik ini. Pasti ia juga akan senang mendengarnya. Segera aku menuju kamar kak Nauma. 
“Kak kita besok ke kota.” Kataku.
“Iya dek.”jawab kak Nauma biasa-biasa saja. Mungkin kecewa atau sudah tidak berharap lagi.

***

Di kota memang semakin ramai saja. Apalagi di hari-hari yang mendekati hari raya ini. Orang-orang banyak yang membeli keperluan hari raya. Dari bahan masakan untuk menu hari raya sampai pakaian baru yang akan digunakan nanti. Di toko baju yang kami datangi saja banyak sekali orangnya. Kami kesulitan memilih-milih baju yang pas. Banyak baju bagus dan mahal di toko itu. Dan yang terkejutnya adalah  kak Madi juga mempersilahka kami untuk mengambil satu pakaian lagi. Dia yang akan membayarnya. Kami jadi dapat dua buah baju. Begitu kulihat kak Nauma. Ia terlihat senang.
“Terima kasih banyak kak.”ujar kak Nauma pelan.
“Maaf juga karena kemarin Nauma sempat ngambek sama kakak.”tambahnya lagi.
“Iya dek. Sama-sama. Setelah ini kakak ada kejutan lagi.”jawab kak Madi.
Sepulang dari toko baju kami tak langsung ulang. Padahal hari sudah kian sore. Anehnya ibu belum juga menelpon. Ternyata setelah itu kak Madi mengajak kami ke pantai yang ada di kota untuk ru’yatul hilal. Diteruskan hingga mengikuti sidang isbat di salah satu komplek pesantren yang ada di kota. Kak Nauma sangat senang dan antusias mengikutinya. Aku juga ikut senang. 
Pergaulan diantara kakak-kakakku yang mungkin jadi akarnya. Kak Madi yang terkesan moderat dan nyantri di pesantren yang juga modern di daerah kota tentu saja berbeda dengan Kak Nauma yang nyantri di daerah desa yang terkesan tradisional. Tapi bagaimanapun perbedaan pandangan mereka. Aku tahu mereka saling menyayangi. Dan aku juga sayang mereka. Di hari itu kami tiba di kota dan juga bulan syawal.

***

Dalam bersaudara memang mesti saling memahami. Berbeda bukan berarti tak bisa mengerti. Nikmati saja prosesnya di ujungnya nanti pasti bisa saling memahami.
  • 1 Comments


“Konon kasih sayang itu

laksana bola dunia

Tak pernah bosan

Mengitari matahari

Tetapi pada suatu hari

Ia mendadak berhenti,

Katanya sudah capek

Berputar dan ingin

Menjadi putri tidur saja”

-Sapardi Djoko Damono-

Perihal Gendis



Cerita Bumi

 

Konon bumi pernah berbisik kata

Pada matahari dan semesta

Yang melepaskannya

Ke ruang tanpa suara

 

Bahwa ia tak pernah ingin sendiri

Atau merasa sendiri

Menyusuri langkah demi langkah

Menuju sunyi antah berantah

 

 

Kabarnya bumi pernah berjanji

Pada bintang utara

Yang meneranginya

Sedemikian rupa

 

Bahwa ia tak akan lagi mempertanyakan

Jawaban dari sebuah bintang di selatan

Menafsirkan berbagai kedap kedip cahaya

Yang mengembara di antara jiwanya

 

 

Sebenarnya bumi pernah mengerti

Bulan yang senantiasa bernyanyi

Di balik setiap bait di ujung puisi

 

 

  • 0 Comments


Saya selalu berharap bisa hidup lebih lama daripada biasanya. Saya sudah bosan setiap kali kembali merasakan usia yang kian diujung ini. Saya hanya bisa menjalani hidup ini sebatas waktu yang tak telah ditetapkan. Tanpa bisa diubah, Tanpa bisa protes, Saya cukup menerima dan menjalaninya. Kemudian mati. Dan terlahir kembali. Saya adalah bulan. Yang seringkali saudara lihat di malam hari. Yang pada suatu malam saya bisa terang sekali atau bahkan hilang dan mati.

Saya ingat, waktu saya dilahirkan kembali beberapa waktu lalu. Entah yang keberapa kalinya. Waktu itu banyak orang-orang di sana yang menantikan saya. Sebagaimana bayi manusia yang lahir ke dunia. Dinantikan banyak orang, disambut banyak do’a, diberikan banyak harapan. Saya pun begitu. Banyak yang menantikan saya yang terlahir baru itu.

Tapi saya juga mengerti. Tidak semua orang dengan tulus menantikan saya. Ada yang menunggu liburan. Ada yang menanti ultah kekasihnya. Ada yang mengharapkan gajian di umur saya yang muda, dan lain-lain.  Sedikit sekali yang benar-benar memperhatikan saya sebagai bulan seutuhnya. Saya tidak mempermasalahkan hal itu. Ada yang menanti pun saya sudah senang.

Ketika saya mulai memiliki sedikit cahaya itulah, saya mulai menjalani hidup baru sebagai bulan. Bulan yang baru. Sekaligus bulan yang lama dan sama. Cahaya itu bukan sepenuhnya milik saya. Matahari yang konon lebih tua dari apapun itu, yang berbaik hati meminjamkannya. Sebagai nafas hidup saya. Saudara bisa melihat saya karenanya.

Beberapa orang dari kalangan saudara yang jauh di sana seringkali mencuri-curi pandang pada saya kala itu. Waktu saya masih berupa bulan sabit dan mungil. Saya pernah berpikir, apakah sebegitu menariknya bulan muda ? Ah yang muda memang selalu menarik dari berbagai ha kanl. Ada-ada saja orang-orang itu. Mereka  biasanya suka menerka-nerka. Jika suatu hari saya sebagai bulan muda tidak terlihat, itu berarti waktu kematian saya sebagai bulan akan lebih lama.

Setidaknya saya akan hilang. Dan tidak ada yang tahu kemana saya akan pergi. Kecuali  saya dan Tuhan. Tapi, cukup saudara tahu saja bahwa saya akan bertemu Tuhan saat itu. Ini adalah rahasia antara saudara, saya dan Tuhan. Entah kenapa saya merasa bisa percayakan rahasia ini kepada saudara yang membaca cerita pendek ini. Jika ada yang bilang, bahwa saya tetap berada di langit dan tidak pergi kemana-mana, boleh-boleh saja. Tidak usah disalahkan. Biarkan saja. Toh, rahasia ini Cuma antara kita bertiga saja ya.

Selain waktu kematian  yang sebentar dan masa renkarnasi yang relati sama. Saya juga suka bertanya-tanya. Darimana saya dilahirkan. Suatu waktu saya akan mati dan menghilang. Lalu kembali lahir dan tumbuh di langit yang sama, tapi di waktu yang berbeda. Saya hidup dari cahaya dan mati dalam gelap. Saya akan berputar dan berpijar. Menjalani hidup dan kematian dalam satu lingkaran. Bukankah kita seringkali mengisyaratkan waktu dan perjalanan hidup itu adalah sebuah lingkaran. Saya memahami itu apa adanya. Karena saya harus berputar agar bisa hidup.

Saya adalah bulan. Cahaya alam di malam kelam. Bukan bohlam yang bisa hidup lama siang malam. Saya hidup sebatas satu lingkaran. Tidak pernah lebih dari tiga puluh malam. Saya selalu berharap bisa hidup lebih lama daripada biasanya. Bisa terus bercahaya. Bisa tetap bergantung di atas langit malam. Tanpa harus melewati kematian. Atau merasa hilang.

Saya adalah bulan yang berada di tepi usia. Menanti kematian, dan menghilang di langit malam. Untuk kembali dilahirkan.

 

  • 1 Comments
Dari awalnya sekedar naik ke bukit sampai nanjak ke gunung-gunung yang lumayan. Bagi seorang pemula, cukup melelahkan. Dan semuanya benar-benar dibayar lunas ketika sudah mencapai puncak.

Pengalaman dan suasana nanjak gunung seperti ini masih sering saya rindukan. Padahal baru dua kali naik gunung. Tapi, memang begitu kenyataannya. Waktu pertama kali, memang capek banget. Wajar belum terbiasa.

Kebiasaan nanjak ini juga lumayan berkesan. Selain dapat foto-foto bagus. Kita belajar banyak tentang kebersamaan. Bagaimana hidup di alam dan perjuangan naik yang benar-benar gak mudah. Makan seadanya. Saling bantu ketika naik maupun turun.

Saya memang masih belum sering nanjak. Dua kali menanjak. Pertama, di Gunung Andong, Jawa Tengah (yang waktu itu lagi hujan) dan kedua, di Gunung Tahura, Kalimantan Selatan (yang nanjaknya tengah malam). Dua Pengalaman itu sering mengundang saya kembali untuk menanjak gunung-gunung yang lain.

Kapan-kapan nanjak bareng lagi kuuy.



Ini foto di gunung tahura

 

Ini foto-foto di gunung Andong





  • 0 Comments
Older Posts Home

Saya


Andy Evan

“Salah satu jalan menjadi Bahagia dalam hidup adalah dengan berusaha menjadi Baik, Benar dan Indah.”

Ikuti Saya

  • twitter
  • instagram
  • facebook

Yang banyak dibaca

  • Nyantri sambil berpuisi
    Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selai...
  • Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
    Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki per...
  • New Normal, Juni dan Puisi
    Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus. Kehidupan di dunia maya masih ter...
  • Astronomi Kutai ?
    Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang se...
  • I La Galigo: Sebuah Kosmologi Bugis
    Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yan...

Baru aja

Technology and Social Media as Parts of The Daily Life of Generation-Z

Jendela

Alam (5) Astronomi (3) Budaya (7) Buku (1) Cerpen (2) Desa (2) English (1) Falak (3) Filsafat (4) Foto (4) Generation-Z (1) Islam (9) Kitab Suci (2) Kosmologi (1) Liburan (2) Media Sosial (1) Pesantren (5) Puisi (14) Santai (7) Sehimpun Puisi (1) Tokoh (4) Tulisan (36)

Denah

  • ►  2018 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  November (1)
    • ►  December (4)
  • ►  2019 (2)
    • ►  January (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2020 (28)
    • ►  May (2)
    • ►  June (19)
    • ►  July (4)
    • ►  August (1)
    • ►  September (2)
  • ►  2021 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  September (1)
  • ▼  2022 (1)
    • ▼  June (1)
      • Technology and Social Media as Parts of The Daily ...

instagram

Created By Andy Evan | Distributed By Blogger

Back to top