Melihat Kembali Batas-batas Keilmuan Falak (Ilmu Falak 1)


Ilmu Falak merupakan bagian dari keilmuan yang unik dan menarik. Ruang lingkupnya cukup luas dan bisa mendorong kemajuan teknologi sains di kalangan kaum muslimin. Dasar-dasar dari keilmuan ini sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam di tanah arab. Sejak kemunduran peradaban Islam beberapa abad lalu, ilmu falak masih tetap bertahan hingga sekarang dan kembali menemukan jalurnya dalam perkembangan keilmuan umat muslim, khususnya di Indonesia.

Ruang lingkup ilmu Falak yang luas didasarkan atas pengertian bahwa ilmu falak memiliki banyak nama seperti ilmu miqat, ilmu rashd, ilmu nujum, dan ilmu hisab. Kemajuan peradaban manusia sekarang yang melahirkan banyak kajian keilmuan: astronomi, astrofisika, kosmologi, kosmogoni, dan lain sebagainya juga dimasukkan ke dalam kategori ilmu falak. Perkembangan kajian segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan ibadah umat Islam menjadi bagian yang tumbuh subur dalam ilmu Falak. Ini adalah bagian dari Ilmu Falak Praktis (tathbiqy). Kemudian dari sini ada nama baru bagi ilmu Falak yaitu astrofiqh yang mencoba menyempitkan ruang lingkup yang luas tadi.

Kajian ilmu Falak yang mempelajari tentang alam semesta dan hubungannya dengan ibadah umat muslim membuat ilmu falak tidak akan terlepas dari pergerakan alam dan penafsiran Al-Qur'an dan Hadis. Hal ini yang kemudian menjadikan ilmu Falak itu unik. Dan dibalik keunikannya itu saya ingin mengajukan hal yang perlu kiranya diperhatikan dan didiskusikan bersama oleh para pegiat Falak.

Sejauh yang saya baca dan ketahui bahwa ilmu Falak oleh banyak kalangan dikategorikan sebagai bagian dari Sains. Mereka berpendapat demikian karena ilmu falak membahas tentang peredaran benda-benda langit: bulan, matahari, bumi. Sekarang kita mengenal ilmu serupa yaitu astronomi. Ada bagian dari astronomi yang juga menjadi objek kajian ilmu falak. Ini tepat menurut saya. Karena dalam proses memahami alam sebagai bagian dari dunia objektif kita memerlukan sains sebagai sebuah metode.

Dari situ kita bisa memahami alam dengan pertimbangan empiris dan logis. Walaupun kita sudah maklum bahwa Sains memiliki banyak reruntuhan teori sejak berabad-abad silam. Sains tidak benar-benar menjamin sebuah kebenaran dari sebuah kenyataan. Dalam filsafat, epistemologi dari Sains adalah Epistemologi Burhani atau rasio. Itu bisa diterima.

Di sisi lain, kita juga harus menyadari bahwa kajian ilmu falak tidak sebatas pada alam. Ada bagian dari ilmu falak yang juga mempelajari tentang Al-Qur'an dan Hadis (contohnya seperti awal waktu shalat, awal bulan HIjriyah, arah kiblat, dan gerhana). Di sini kemudian yang menjadi permasalahannya. Ilmu Falak yang dimasukkan sebagai bagian dari Sains dengan bercorak empiris dan logis tersebut mencoba memahami makna yang tersirat dalam Al-Qur'an dan Sunnah (yang merupakan bagian dari dunia subjektif dan bukan wilayah Sains).

Pemahaman terhadap makna, kesadaran manusia, spritualitasnya yang memahami Al-Qur'an dan Hadis tidak bisa menggunakan Sains. Epistemologinya adalah Epistemologi Bayani atau Irfani. Dalam filsafat, Wilayah ini adalah wilayah subjektif. Ketika ilmu Falak yang dipahami sebagai Sains tadi mencoba masuk dalam wilayah subjektif, alam kesadaran manusia. Kita boleh bertanya, Apakah ia bisa benar-benar memahami dan menangkap kesucian makna yang tersembunyi dibalik nash-nash Al-Qur'an dan Hadis?

Beberapa saat lalu ada sebuah gagasan yang ingin menyatukan kriteria hilal dalam penentuan awal bulan Kamariyah dengan ketentuan Imakurrukyah. Kriteria ini dirumuskan sebagai upaya menjembatani dua mazhab dalam ilmu Falak: Hisab dan Rukyat. Kriteria ini memberikan pertimbangan ilmiah atas penentuan awal bulan Hijriyah. Bahwa ada beberapa ketentuan yang memungkinkan hilal dapat terlihat.

Mazhab hisab akan menentukan awal bulan Hijryah beracuan pada metode hisab yang dapat memperkirakan bahwa hilal telah muncul sekalipun belum terlihat. Sedangkan Mazhab Rukyat menjadikan acuan bahwa hilal mestilah terlihat sebagai syarat penentuan awal bulan Hijriyah. Kita juga perlu mengingat bahwa titik berangkat dua mazhab di atas adalah penafsiran atas dalil-dalil naqli yang ada. Kedua penafsiran itu tentu saja masih terbuka untuk dikaji ulang.

Penafsiran atas dalil-dalil naqli tidak tepat kiranya jika hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan ilmiah atas pemahaman kita terhadap dunia objektif. Pendekatan dengan metode tafsir atau filsafat hermeneutika atas ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis tentang Falak juga sangat pantas untuk diajukan sebagai bahan pertimbangan dalam menjembatani dua mazhab dalam ilmu Falak tersebut. Selain itu wilayah intersubjektif (sosial) Ilmu Falak, bagaimana antar kedua mazhab saling berinteraksi? Bagaimana upaya para pemerintah dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu putusan yang terkait hisab rukyat? Bagaimana para ulama Falak mengkaji ilmu Falak dan menyampaikannya kepada umat muslim? Hal-hal seperti itu juga kiranya perlu dipikirkan dan didiskusikan bersama sebagai upaya mengembangkan ilmu Falak dalam bangunan peradaban manusia saat ini. Tabik.

 

You Might Also Like

0 Comments