Andy Evan

  • Teras
  • Ruang
  • _Tulisan
  • _Foto
  • Kontak


Memahami adalah proses. Saya ingin bertanya beberapa hal. Apakah integritas ilmu alam dan ilmu agama bisa lebih membantu kita mencapai kemajuan dalam sains (ilmu alam) ? Apakah integritas ilmu alam dan ilmu agama cukup membantu dalam meningkatkan takwa ? Mengapa tidak dipisahkan ? Apa yang ingin dicapai dan dihindari dari itu ? Apa sebenarnya tujuan dari islamisasi ilmu ? Apakah tujuan integrasi ilmu agama dan sains adalah Keyakinan bahwa semua ilmu berasal dari Tuhan atau kemajuan peradaban Islam atau ketakwaan ? Apakah ada kepentingan di sana ? Apakah jika kita hanya mendalami ilmu alam tidak akan menambah keimanan dan ketakwaan kita terhadap Tuhan ? Apakah jika kita mendalami ilmu agama tidak akan memajukan kemampuan kita dalam bidang sains dan teknologi ? Mengapa ada pemisahan ilmu agama dan ilmu sains di masyarakat muslim ? Bukankah al-Qur’an tidak mengajarkan dikotomi ilmu pengetahuan ? Tapi mengapa ada pemahaman begitu dalam tubuh Islam ? Apakah itu datang dari luar kita atau datang dari dalam diri kita sendiri ?

Apakah jalan ilmu agama dan sains itu sama atau berbeda ? Apakah ilmu agama dan sains itu memiliki arah yang sama atau berbeda ? Apakah wahyu Tuhan adalah bagian dari sains ? Apakah Sains adalah bagian dari wahyu Tuhan ? Apakah ada kepentingan pemahaman tertentu dalam penyatuan itu ? bagaimana jika ilmu sains bertentangan atau berbeda dengan penafsiran-penafsiran tertentu terhadap kitab suci ? yang mana yang harus dipinggirkan ? Apakah ada kesesatan dalam ilmu sains ? Bukankah sains bersumber dari pertanyaan-pertanyaan dan keraguan ? Adakah ruang keraguan dalam agama Islam ? Apakah agama Islam harus tunduk pada metode ilmiah ? Apakah itu semua tidak perlu, agama dan sains bisa berdiri sendiri dan saling melengkapi satu sama lain ? Wajibkah ada hubungan dan keterikatan antara pencapaian sains dan paham-paham tertentu dalam agama ?

Apakah ada cara yang berlaku umum bagi seluruh ilmu ? Apa itu ayat-ayat kauniyah ? Ayat-ayat al-Qur’an tentang alam atau ayat-ayat Sang Pencipta dalam alam atau kedua-duanya ? Apakah ayat-ayat al-Qur’an telah menjelaskan segala jenis cara kerja alam ? Apakah alam bekerja dengan cara yang telah ditentukan Tuhan dalam penafsiran kita terhadap kitab suci-Nya atau ia bekerja dengan cara yang berbeda dari penafsiran kita ? Apakah penafsiran kita terhadap kitab suci akan mempengaruhi cara alam bekerja ?  Bagaimana jika ada perbedaan pemahaman antara doktrin agama dan pemahaman kita terhadap bagaimana alam ini bekerja ?

Bagaimana kita memahami ayat-ayat Sang Pencipta tentang alam di kitab  suci-Nya ? Bagaimana metode tafsirnya ? Bagaimana kita memahami ayat-ayat semesta ? Apakah dua hal itu memiliki metode tafsir yang sama atau berbeda ?

Adakah ruang penafsiran ilmiah terhadap kitab suci ? Bukankah dalam Islam beberapa ulama juga menentang hal itu ? Bagaimana ilmuwan muslim melihatnya ? Apakah perlu menggabungkan antara fundamentalis agama dan fundamentalis sains ? Bagaimana caranya ?

Maaf, saya hanya ingin bertanya.

  • 0 Comments

Filsafat pada dasarnya adalah berpikir secara mendalam, teliti, dan dengan penyelidikan menggunakan alasan. Maka ketika kita mulai berpikir dan mempertanyakan banyak hal dengan mendalam itu berari kita sedang berfilsafat. Banyak yang pusing dan malas melihat filsafat mungkin karena pembahasan yang mendalam dan seringkali membingungkan ini.

Kalau kita lihat secara bahasa, Filsafat itu berarti mencintai (Phillein) bijaksana (Sophia). Berusaha melihat, mengetahui dan mencintai kebijaksanaan adalah proses berfilsafat. Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa konsep filsafat ini sebenarnya sama dengan apa yang kita sebut hikmah. Mempelajari filsafat berarti mencari hikmah.

Mengetahui dialektika antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd dan pengalaman diskusi filsafat besama teman-teman di LPM Justisia membuat saya mulai melihat filsafat. Sebagai sebuah ilmu sekaligus sebuah metode. Banyak hal yang bisa didapat dari filsafat sebagai tolak pikir kita dalam kehidupan sehari-hari. Kita jadi lebih mudah memahami perbedaan antara satu dan yang lain.

Filsafat sudah ada sejak zaman Yunani. Banyak filsuf Yunani yang terkenal seperti Thales, Socrates, Plato (427-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Bahwa sejak masa kehidupan mereka, pertanyaan, pemikiran, dialog, diskusi tentang alam dan kehidupan sudah ada. Pemikiran ini juga terus berkembang seiring perkembangan pemahaman manusia terhadap alam dan kehidupan.

Filsafat dan pemikiran Yunani sudah dipelajari para sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa, dan Qinnesrin (Syiria Utara), juga di Nisibis (Dataran tinggi Irak) sejak abad ke-4 Masehi. Setelah beberapa tahun berlalu. Islam lahir pada abad ke-6 Masehi. Dan mulai berkembang ke wilayah tersebut pada masa Umar bin Khatttab (634-644 M).

Penerjemahan karya-karya filsafat Yunani tersebut mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa Bani Umayyah (685-705 M). Kebanyakan yang diterjemahkan adalah buku-buku administrasi dan pemerintahan. Demi mengimbangi peradaban Persia kala itu. Setelah itu baru buku-buku kedokteran, kimia dan antropologi.

Proses penerjemahan buku-buku filsafat secara lebih serius baru dilakukan pada masa Bani Abbasiyah, Khalifah al-Makmun (811-833 M). Saat itu bahkan dibentuk tim khusus yang bertugas melawat ke negeri yang lain demi mencari buku pngetahuan apa saja yang pantas diterjemahkan dan dikembangkan.

Proses penerjemahan dan pembelajaran atas buku-buku filsafat dilakukan secara massal. Hal ini juga dilakukan karena para pemikir muslim ketika itu merasa perlu untuk mencari sistem berpikir rasional dan argument-argumen yang lebih kuat (metode burhani). Selain itu, metode bayani ala fuqaha  sudah tidak memadai dalam menjawab persoalan-persoalan yang semakin kompleks.

Ira M. Ladipus menyatakan bahwa filsafat Islam bukan sekedar analisis tetapi juga telah menjadi bagian dari agama Islam.

Apakah ini berarti pemikiran filsafat islam itu berasal dari filsafat Yunani ? Beberapa pihak ada yang berpendapat begitu. TENTU SAJA TIDAK SEPENUHNYA BENAR. Karena sebelum logika dan filsafat Yunani dikenal, Tradisi keilmuan di dunia Islam telah mengenal model pemikiran rasional filosofis dalam kajian teologis (ilmu kalam) dan hukum (ilmu fiqih).

Kalau begitu, dari mana sumber rasionalitas dalam Islam ? Banyak pihak peneliti muslim dan non-muslim yang menyatakan bahwa tradisi filosofis itu bukan berasal dari luar Islam. Tapi dari dalam diri Islam sendiri, yaitu Al-Qur’an. Khususnya dalam penyelarasan antara wahyu dan akal. Antara teks keagamaan dan kehidupan sehari-hari.

Pemikiran filsafat Islam yang berkembang setelah penerjemahan itu pertama kali diperkenalkan oleh al-Kindi (806-875 M). Dalam kata pengantar Falsafah al-Ula, ia menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat.

Sepeninggal al-Kindi, lahirlah ar-Razi (865-925 M). Ia dikenal sebagai seorang rasionalis murni. Ia melihat hakikat manusia adalah akal atau rasionya. Akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik.

Perkembangan filsafat pada dunia Islam bukan tanpa hambatan. Banyak juga para ulama salaf yang menentang filsafat. Atas dasar kekhawatiran bahwa filsafat akan mengurangi rasa hormat Islam terhadap ajaran agamanya dan mengurangi pengaruh Machieanisme Persia yang berbeda jalan dengan ajaran Islam yang disebabkan pemikiran filosofis. Yang menentang ini termasuk adalah Ibnu Hanbal (780-855 M).

Pemikiran filosofis al-Farabi (870-950 M) juga mempunyai pengaruh besar pada pemikiran setelahnya di bidang metafisika (teori emanasi yang menyatukan teori Neo-platonis dengan tauhid Islam) dan landasan bagi pengembangan ilmu pada umumnya.

Menurut Ali Sami, pemikiran al-Farabi itu tidak hanya dipakai filsuf murni, tetapi juga oleh para tokoh yang menentang filsafat seperti al-Ghazali (1058-1111 M). Pemikiran al-Ghazali ini juga sangat berpengaruh terhadap pasang surut filsafat Islam. Seperti yang dikatakan Muhammad Iqbal, “Filsafat itu tidak dihancurkan dari ortodoksi. Sebab filsafat hanya bisa dipatahkan dengan filsafat yang lain.

Konsep tentang emanasi itu kemudian diteruskan oleh Ibnu Sina (980-1037 M). Ibnu Sina juga berusaha memadukan antara filsafat an wahyu, pada aspek fungsi dan makna. Pada perkembangan selanjutnya filsafat Ibnu Sina dikritik oleh al-Ghazali dalam beberapa hal.

Karya al-Ghazali Tahafut Falasifah memang punya pengaruh dan merupakan salah satu faktor (oleh sebagian orang) sebagai kemunduran pemikiran filosofis umat Muslim. Lalu kran filsafat yang tertutup itu kembali dibuka oleh Ibnu Rusyd (1126-1198 M) dengan kritiknya dalam kitab Tahafut al-Tahafut. Ini sudah saya bahas di tulisan filsafat 1 dan filsafat 2.

Setelah Ibnu Rusyd, pemikiran filsafat dianggap selesai oleh sebagian orang. Padahal kenyataannya tidak demikian. Pemikiran filsafat di dunia Islam terus berlanjut. Ada filsuf-sufistik Suhrawari al-Maqtul (1153-1191 M) di Syria, Ibnu Hasan al-Thusi (1201-274 M) di Khurasan, Ibnu Mahmud al-Amuli (w. 1385 M), Jalal al-Din Ibn Asad al-Dawani (1425-1503 M), dan masih banyak lagi.

Semesta filsafat memang sangat luas sekali. Tetapi setidaknya di situ ada garis panjang dialektika antara para filsuf di zaman yang sama dan berbeda, dan dalam pengaruh kebudayaan dan sosial yang berbeda.

  • 1 Comments


Pembahasan tentang akal dan wahyu adalah hal sudah dibahas sejak dahulu kala. Dalam dunia Islam pada masa awal-awalnya, kita akan menemui aliran-aliran teologi seperti jabariyah, qadariyah dan mu’tazilah. Dan perbincangan itu berlangsung sangat lama sekali. Belanjut pada zaman Ibnu Sina, Farabi, Ghazali dan Ibnu Rusyd. Bahkan hingga sekarang pun masih banyak yang membahas tentang hal ini. Apalagi tentang pemahaman kita tentang Tuhan dan Alam Semesta.

Al-Ghazali -seperti saya bahas pada tulisan sebelumnya- telah mengarang kitab Tahafut Falasifah. Di dalamnya tercakup dua puluh masalah tentang kerancuan berpikir kaum filsuf. Yang penjelasannya juga sangat rasional. Meskipun nanti Ibnu Rusyd memberikan bantahan dan membela para filsuf. Diantara 20 masalah itu, ada 3 permasalahan yang dianggap paling berat dan dapat menyebabkan kekafiran. Sisanya yang 17 dianggap sesat. Kurang lebih begitu. 

Tiga masalah itu adalah : masalah keabadian alam, masalah Tuhan hanya mengetahui yang universal dan tidak dengan particular, dan masalah tentang kebangkitan jasmani.

Kritik Ghazali terhadap epistemology filsuf muslim pendahulunya disambut dengan tidak kalah kritis oleh Ibnu Rusyd dan pemikir-pemikir setelahnya. Ibnu Rusyd kurang setuju dengan istilah-istilah  kafir mengkafirkan. Perbedaan pendapat mesti kita lihat sebagai kewajaran dan kemungkinan adanya beda pemahaman doktrin agama. Perbedaan zaman dan keadaan social budaya akan mempengaruhi pemikiran seseorang. 

Supaya lebih mudah, mungkin saya akan coba tuliskan saja kritikan tiga permasalahan di atas dalam bentuk percakapan antara para filsuf, Ghazali dan Ibnu Rusyd. Ini hanya menampilkan sebagian dari apa yang saya pahami tentang dialog tiga orang tadi dalam karyanya.

Alam semsesta itu bersifat kekal atau qadim. Kekekalan alam sebenarnya adalah pemikiran filosof Yunani, Aristoteles.

G       : Tentu saja alam itu tidak bersifat kekal. Karena dalam pemahaman teologi pada umumnya yang kekal dan abadi itu hanyalah Tuhan. Alam itu diciptakan dalam waktu atau bersifat baru. Ada jeda antara keberadaan Tuhan yang tidak berawal dengan keberawalan alam. Tuhan ada. Kemudian baru alam diciptakan. Alam ada.

F        : Jika seperti itu, maka alam masih akan bersifat mungkin ada. Alam belum tentu ada. Alam bisa saja tidak ada karena tidak adanya penentu atau yang berkehendak untuk mengadakannya. Penentu tersebut telah mendorong terciptanya alam atau tidak ? Jika tidak, maka adanya alam masih bersifat mungkin. Jika iya, maka siapa penciptanya ? Kenapa ia baru muncul sekarang, dan bukan sebelumnya ?

G       : Yang baru itu bisa muncul dengan kehendak kekal. Jadi, alam itu muncul bersamaan dengan kehendak kekal tersebut. Dengan kehendak itu, ketiadaan akan berakhir dan alam mewujud menjadi ada. Dengan demikian tanpa kehendak Tuhan tersebut alam tidak aka nada.

I         : Pertama, kehendak dan tindakan itu berbeda. Kehendak merupakan hasrat untuk melakukan suatu tindakan tertentu dan ketika itu telah dilakukan, hasrat berhenti.Menetapkan suatu kehendak yang abadi dan penciptaan alam yang baru itu bertentangan dengan yang dimaksud dengan kehendak sendiri. Juga ketika Tuhan bertindak, produk tindakan Tuhan pun mestinya secara langsung ada. Maka tidak ada jarak antara tindakan Tuhan dengan produk-Nya. Ini berarti bahwa alam itu dipandang sebagai produk dari tindakan Tuhan buakn kehendak-Nya.

          Kedua, Qadimnya Tuhan atas alam itu seperti qadimnya sebab-akibat, yaitu dari segi zat dan tingkatan. Bukan waktu. Qadimnya Tuhan berbeda dengan qadimnya alam. Qadim Tuhan adalah wujudnya tidak karena sesuatu, tidak dari sesuatu dan tidak diadahului waktu. Qadim makhluk adalah wujudnya tidak berasal dari sesuatu, tidak didahului waktu, TETAPI TERJADI KARENA SESUATU (DICIPTAKAN).

 

Ketidaktahuan Tuhan terhadap sesuatu yang partikular (Juz,iyyat/Terperinci) yang bersumber dari pemahaman Aristiteles yang menganggap Tuhan  sebagai Penggerak Pertama. Pemikiran tentang Tuhan yang berkembang pada filsafat di dunia Islam adalah konsep Tuhan yang baik (Plato), Tuhan Penggerak Pertama (Aristoteles), dan Tuhan yang satu (Plotinus). 

F          : Tuhan mengetahui diri-Nya dan selain diri-Nya secara universal. Hal ini karena pengetahuan Tuhan bersifat tetap. Jika diasumsikan Tuhan mengetahui yang partikular maka pengetahuan Tuhan akan berubah dan ini meniscayakan Tuhan pun berubah karena pengetahuan yang baru tadi. Tuhan tidak mengetahui dengan pengetahuan yang baru.

G          : Alam ini diciptakan karena kehendak Tuhan dan juga segala yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruh sesuatu diketahui Tuhan secara rinci. Ia berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang rinci.

I           : Perdebatan antara G dan F timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dan manusia. Klarifikasi dari permasalahan G, bahwa F tidak mengatakan seperti itu. Pendapat F, pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam BERBEDA dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan Tuhan TIDAK MUNGKIN SAMA dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Tuhan bersifat qadim dan pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan merupakan sebab dari wujud alam, sedangkan pengetahuan manusia adalah akibat/hasil pengamatan. Tuhan tidak mengetahui perincian alam itu dengan ilmu baru. Yang mensyaratkan kebaharuan peristiwa. Ilmu Tuhan bersifat qadim tidak berubah karena perubahan peristiwa.

 

Permasalahan ketiga yaitu tentang kebangkitan jasmani. Bahwa nanti yang akan dibangkitkan di akhirat adalah ruh manusia. Pemikiran ini merupakan pengaruh dari filsafat Yunani khususnya teori tentang ide dari Plato.

F          : Unsur jasmani manusia yang telah mati akan diproses alam. Proses alam yang cukup panjang itu  tidak menutup kemungkinan merubah unsur jasmaninya. Jika kebangkitan manusia dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinann manusia dibangkitkan dalam bentuk yang tidak sempurna. Apa yang disebut sebagai kenikmatan ukhrawi (seperti surga, neraka, sungai susu dan madu yang mengalir) dalam wahyu adalah symbol-simbol atau metafora yang ditunjukan kepada orang-orang awam. Kebangkitan pada kehidupan selanjutnya itu bersifat rohani/jiwa. Materi atau unsur jasmani itu terbatas bilangannya. Sedangkan jiwa tak terbatas. Jasad tidak dapat menampung jiwa. Selain itu kebangkitan jasmani mengandung unsur renkarnasi. Sementara renkarnasi tidak dapat diterima.

G          : Dalam hal keabadian jiwa dan kenikmatan yang bersifat rohani dan spiritual yang lebih utama daripada kebahagiaan jasmani. Ghazali sepakat dengan para filosof. Akan tetapi kenikmatan itu tidak menampik kenikmatan jasmani yang akan manusia dapatkan di akhirat. Justru dengan begitu akan menyempurnakan kebahagiaan akhirat. Sedangkan wahyu yang mengandung symbol dan metafora tadi bukanlah wilayah ta’wil. Jadi harus dipahami secara tekstual. Dan segala bentuk kemustahilan yang disampaikan F tadi terjawabkan dengan kekuasaan Tuhan untuk membangkitkannya.

I           : Semua agama mengakui adanya kebangkitan dan hidup kedua di akhirat.  Walaupun berbeda pendapat dalam bentuknya. Namun maksud pokok syari’at adalah menghimbau manusia untuk terus melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Dalam kitab tahafut falasifah, Ghazali menuliskan bahwa TIDAK ADA ORANG ISLAM yang berpendapat bahwa kebangkitan hanya dalam bentuk Rohani. Tapi dalam buku tasawuf, ia menulis bahwa bagi kaum sufi kebangkitan akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Oleh karena itu tidak ada kesepakatan pemahaman dalam Islam tentang bentuk kebangkitan. Dengan demikian Kaum filsuf TIDAK BISA SERTA MERTA DIKAFIRKAN. Hanya karena mereka berpikir demikian.

 

Sebelum menutup, ada beberapa hal yang harus sama-sama kita pehatikan. Bahwa kritik Ghazali kepada filsosof terbatas pada teori Metafisika (Ilahiyat/Teologi) al-Farabi dan Ibnu Sina yang sangat paltonik. BUKAN TERHADAP KESELURUHAN KAJIAN FILSAFAT. Pengkafiran al-Ghazali itu juga direspons Ibnu Rusyd dengan baik. Ibnu Rusyd menulis buku dan meluruskannya. Ia membela kaum filosof dan ingin menyampaikan bahwa filsafat bisa diterima semua orang.

Di luar bidang metafisika itu, al-Ghazali juga justru mengandalkan logika (Aristoteles). Karena dengan penerapan logika itu, umat Islam tidak akan terjebak dalam kesalahan.

Jadi, jangan takut berfilsafat ya.

                                                                                                                      .

  • 0 Comments


Kritik dari Ibnu Rusyd atas Al-Ghazali sangat menarik bagi saya. Bahwa tradisi untuk terus mempertanyakan, dan mengkritisi berbagai hal itu ada dalam garis panjang sejarah islam. Tradisi kritik atas karya dengan karya yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd mestinya diajarkan dan diteruskan umat Muslim. Apalagi dalam lembaga pendidikan seperti Pondok Pesantren.

Santri sangat mengenal dengan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Walaupun tidak semua santri. Setidaknya kebanyakan dari santri pasti mengenal Al-Ghazali (1058-1111 M) dari kitab Ihya Ulumuddin. Tentu saja. Yang diagung-agungkan dan sangat berpengaruh itu. Kitab Ihya Ulumuddin membahas banyak hal tentang ajaran-ajaran agama Islam. Tauhid, Fiqih, Akhlak Tasawuf dibahas semua. Ada empat jilid tebal. Mungkin bisa dibilang hampir lengkap dan sempurna.

Selain Ihya Ulumuddin (menghidupkan ilmu agama), kitab yang juga banyak dibaca adalah Tahafut Falasifah (Kerancuan Filosof). Itulah mengapa ia dikenal tidak hanya sebagai teolog. Tapi sekaligus seorang filsuf. Padahal Al-Ghazali hidup di masa-masa keemasan Islam mulai mengalami kemunduran. Ada gerakan anti akal yang sangat kuat di kota Baghdad dan kota-kota besar saat itu. Hadist-hadist palsu bermunculan. 

Yang pernah teman-teman santri dengar mungkin seperti man tafalsafa tazandaqa (barangsiapa berfilsafat, maka ia akan zindiq/kafir). Padahal istilah filsafat baru ditemukan sekitar 200 tahun setelah Nabi Muhammad meninggal. Al-Ghazali berada pada arus zaman itu. Beberapa orang yang membenci Gazali bahkan mengatakan bahwa al-Ghazali adalah sebab kemunduran filsafat Islam. Dan Gazali dinilai berpengaruh. Mengapa ? karena dia menggunakan logika/filsafat sebagai senjata menyerang filsafat. 

Sebelum ia menulis Kitab Tahafut, ia terlebih dahulu mempelajari filsafat selama kurang lebih dua tahun. Kemudian menulis kitab berjudul Maqashid Falasifah. Ini berisi pemikiran-pemikiran filsuf yang ia pelajari (tanpa mengomentarinya). Ia terlebih dahulu kuasai apa itu filsafat. Baru kemudian menulis buku kedua yang mengkritik filsafat yaitu tahafut falasifah.

Dan Sedangkan Ibnu Rusyd (1126-1198 M) kita kenal dari kitab Bidayatul Mujtahid. Kalau lagi pelajaran fiqih perbandingan mazhab, ya kitabnya pasti ini. Kitab ini gak kalah tebal dari ihya ulumuddin. Kalau mau dibandingin sih gitu. Isinya pembahasan fiqih dari berbagai mazhab. Selain ada pendapat mazhabnya, juga disertakan dalil dan proses pengambilannya menjadi sebuah pendapat.

Ibnu Rusyd belajar hidup dalam suasana politik yang sedang berkecamuk, yaitu pada saat pemerintahan Al-Murafiah dan Al-Muhadiah. Yang disebut kedua pada tahun berikutnya menaklukan Cordova. Ibnu Rusyd menulis kitab Fashlul Maqol yang menjelaskan tentang harmonisasi akal dan wahyu. Tentu saja karena adanya gerakan anti akal yang saya sebut sebelumnya. 

Padahal menurut Ibnu Rusyd, tidak ada pertentangan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Jika ada kesesuaian antara akal dan wahyu, tidak ada yang perlu dikatakan. Tetapi jika ada pertentangan, maka wahyu perlu ditakwilkan. Pandangan Ibnu Rusyd tentang harmonisasi akal dan wahyu dalam fashlul maqal sangat berpengaruh terhadap pemikiran Eropa abad pertengahan. 

Pandangan Al-Ghazali dalam tahafut falasifah disanggah Ibnu Rusyd dengan karyanya tahafut al-tahafut (Kerancuan kitab tahafut). Uraian mengenai sanggahn  Ibnu Rusyd atas pandangan tersebut dan pembelaannya terhadap para filsuf sangat menarik karena akan menyuguhkan kejelasan mengenai kedudukan filsafat dalam pemikiran Islam.

Khalifah Abu Ya’kub al-Mansur  memerintahkan Ibnu Rusyd menulis tentang pemikiran filsafat Aristoteles. Kedudukannya yang tinggi dan terhormat di kalangan istana kala itu membawa risiko yang besar. Beberapa ulama dan fuqaha membencinya. Ia dituduh membawa filsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam. Ibnu Rusyd diasingkan di kota Sevilla. Setelah dibebaskan dari tuduhan. Ia kembali diasingkan ke Maroko.

Buku-buku karangannya dibakar, terutama buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran, astronomi dan matematika. Ia dimakamkan di Maroko. Tiga bulan setelahnya mayatnya dipindahkan ke Cordova. Sisa-sia bukunya diangkut di atas keledai. Ahli Tasawuf Muhyidin Ibnu Arabi menghadiri pemakamannya kembali Ibnu Rusyd dan menyelamatkan buku-bukunya.

Mereka berdua tentu saja tidak pernah bertemu secara langsung. Tapi Ibnu Rusyd bertemu dengan karya-karya Al-Ghazali. Bahkan mengkritiknya. Dalam beberapa hal. Andaikan Al-Ghazali saat itu masih hidup. Sangat mungkin ia akan menulis bantahan atas kritik Ibnu Rusyd atas kitabnya. Al-Ghazali dikenal sebagai Abu Hamid Al-Ghazali dan Hujjatul Islam. Dan Ibnu Rusyd popular dengan nama Ibnu Rusyd dan Averrois.

Dua tokoh ini punya pengaruh besar dalam perkembangan peradaban di dunia. Pemikiran filosofis Al-Ghazali cenderung dipegang oleh masyarakat Timur. Yang selanjutnya melahirkan gerakan-gerakan mistis dan keagamaan. Sedangkan pemikiran filosofis Ibnu Rusyd dihargai di Eropa Tengah. Eropa pada masa Renaissance dengan mudah menerima filsafat dan metode ilmiah sebagaimana yang dianut oleh Ibnu Rusyd.

  • 0 Comments
Older Posts Home

Saya


Andy Evan

“Salah satu jalan menjadi Bahagia dalam hidup adalah dengan berusaha menjadi Baik, Benar dan Indah.”

Ikuti Saya

  • twitter
  • instagram
  • facebook

Yang banyak dibaca

  • Nyantri sambil berpuisi
    Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selai...
  • Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
    Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki per...
  • New Normal, Juni dan Puisi
    Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus. Kehidupan di dunia maya masih ter...
  • Astronomi Kutai ?
    Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang se...
  • I La Galigo: Sebuah Kosmologi Bugis
    Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yan...

Baru aja

Technology and Social Media as Parts of The Daily Life of Generation-Z

Jendela

Alam (5) Astronomi (3) Budaya (7) Buku (1) Cerpen (2) Desa (2) English (1) Falak (3) Filsafat (4) Foto (4) Generation-Z (1) Islam (9) Kitab Suci (2) Kosmologi (1) Liburan (2) Media Sosial (1) Pesantren (5) Puisi (14) Santai (7) Sehimpun Puisi (1) Tokoh (4) Tulisan (36)

Denah

  • ►  2018 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  November (1)
    • ►  December (4)
  • ►  2019 (2)
    • ►  January (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2020 (28)
    • ►  May (2)
    • ►  June (19)
    • ►  July (4)
    • ►  August (1)
    • ►  September (2)
  • ►  2021 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  September (1)
  • ▼  2022 (1)
    • ▼  June (1)
      • Technology and Social Media as Parts of The Daily ...

instagram

Created By Andy Evan | Distributed By Blogger

Back to top