Andy Evan

  • Teras
  • Ruang
  • _Tulisan
  • _Foto
  • Kontak

 


Pada cerita sebelumnya (baca : Ragam Rupa Desa), saya sedikit bercerita tentang beberapa desa yang saya kunjugi di hulu sungai Mahakam. Keesokan harinya, kami tak meneruskan ke bagian hulu. Kami berbalik arah. Kembali ke hilir sungai. Ada desa yang menyimpan peninggalan awal masa sejarah di Nusantara. Desa Muara Kaman.

Satu jam perjalanan. Kami sampai. Dan harus melewati Kebun Sawit dan menyeberang sungai lagi. Dengan naik kapal lagi tentu saja. Pemukiman di atas sungai sudah jarang ditemui. Ada hanya beberapa. Muara Kaman merupakan kecamatan yang berbeda dengan Desa yang sebelumnya kami datangi. Kecamatan Muara Kaman. Penduduknya juga bertempat tinggal di pinggiran sungai sampai ke daerah perbukitan yang lumayan tinggi.

Ada salah satu monumen nasional yang baru pertama kali saya datangi. Padahal tempatnya tak jauh dari desa saya. Monumen Nasional Tugu Pahlawan Muso Bin Salim. Lebih dikenal dengan Muso Salim. Beliau adalah salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berasal dari Muara Kaman. Pahlawan Gerilya Kalimantan Timur ini juga pernah menerima penghargaan dan kehormatan dari Menteri Pertahanan RI Sultan Hamengkubuono XI pada 1947, dan lain sebagainya. Perjuangan beliau yang berani mengangkat senjata mengusir penjajah adalah semangat yang mesti generasi sekarang warisi. Banyak pihak juga yang mengusahakan agar beliau diangkat menjadi pahlawan nasional. Tapi itu juga merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu yang panjang. Saya mengalami kesulitan mencari informasi tentang beliau. Jadi, jika ada yang lebih tahu, bisa berbagi di komentar.

Monumen Nasional Tugu Pahlawan Muso Bin Salim


Setelah dari situ kami beranjak. Ke situs kutai Ing Martadipura. Tempat ditemukannya tujuh Prasasti Yupa tertua di Nusantara. Inilah yang menjadikan Kerajaan Kutai menjadi kerajaan tertua di Indonesia. Prasasti tersebut menggunakan bahasa sansekerta yang menceritakan kemakmuran kerajaan di bawah pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti yang menggunakan huruf pallawa tersebut secara paleografis diperkirakan berasal pada abad ke empat Masehi. Huruf Pallawa digunakan di Hindu Selatan sekitar tahun 400 Masehi. Corak dan gaya huruf yang digunakan juga sama dengan gaya huruf Pallawa di India. Para ahli menyatakan bahwa prasasti itu dibuat pada masa abad kelima Masehi. Sayangnya bukti arkeologis dari sumber sejarah yang lain belum ditemukan. Berita Cina tentang Kalimantan baru muncul pada masa Dinasti Tang (618-906 Masehi).

Situs Kerajaan Kutai Ing Martadipura


Raja Mulawarman dapat dipastikan sebagai orang Nusantara asli, karena kakeknya masih menggunakan nama lokal, Kudungga. Ahli sejarah menafsirkan nama ini adalah nama asli Indonesia yang belum terpengaruh budaya India. Pada masa abad keempat Masehi, Kerajaan Kutai telah memiliki golongan masyarakat yang cakap baca tulis menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Mereka adalah golongan Brahmana yang telah mempelajari agama Hindu hingga ke pusat penyebarannya di India.

Situs Kerajaan Kutai Ing Martadipura


Kehidupan politik dan ekonominya juga stabil dan makmur berdasarkan apa yang tertulis pada bagian dari salah satu prasasti Yupa tersebut. Raja Mulawarman berkurban dan bersedekah banyak sekali kepada para Brahamana. Sebagai tanda terima kasih, Para Brahmana mengabadikan kisahnya dalam Yupa.

Saya banyak bercerita sejarah di sini. Tapi itulah yang menarik saya dan teman-teman datang ke Muara Kaman. Awal mula tonggak sejarah di bumi Nusantara. Peralihan dari zaman prasejarah, memasuki masa sejarah Nusantara. Sayangnya karena pandemic covid-19. Pelayanan juga dibatasi. Kami tak bisa serta merta masuk ke dalam situs untuk melihat Yupa atau peninggalan sejarah lainnya. Salah satu Yupa yang asli disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Sisanya saya juga kurang tahu dimana.

Lesung Batu


Selain Yupa juga banyak ditemukan Artefak Tembikar, Artefak Batu dan Artefak logam. Di situs ini juga ada Lesung Batu yang merupakan batu dalam kondisi tergeletak di atas permukaan tanah. Batu ini berbentuk persegi panjang dan menyerupai  menhir atau Yupa. Di hari-hari budaya tahunan Erau, biasanya banyak wisatawan yang datang berkunjung kemari. Mengenal peradaban tertua yang pernah ada di Indonesia. Tabik.

  • 0 Comments



Sebulan yang lalu saya dan teman-teman jalan-jalan ke Kecamatan Kota Bangun di Kabupaten Kutai Kartanegara. Perjalanan ini sebenarnya sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Setelah dua sampai tiga minggu wacana. Akhirnya kami bisa merealisasikannya. Karena saya tidak pernah lagi ke daerah hulu sungai Mahakam sudah sangat lama. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Saya kira. Karena jauhnya waktu yang tak kunjung temu itu, saya tertarik untuk kembali menunaikan rindu. Sambil menarik kembali ingatan dan merangkai pengalaman baru.

Jarak dari desa kami berangkat (Desa Sanggulan) ke Kecamatan Kota Bangun kurang lebih tiga puluh kilometer. Ya, kurang lebih jarak dari daerah Ngaliyan di Semarang ke Demak. Tapi waktu yang kami tempuh tentu saja tidak sama. Medan yang sangat menantang. Setengah jarak perjalanan kami lalui dengan krikil dan debu, juga lubang sana-sini. Jalannya masih berupa tanah dengan batu-batu kecil. Untung saja tidak hujan. Jadi perjalanan masih tergolong mudah bagi kami yang sudah terbiasa. Memang melalui jalur ini lebih dekat walaupun sebenarnya bukan jalan resmi. Kami harus melalui sebuah perkebunan kelapa sawit yang SANGAT LUAS. Saking luasnya, ketika sedang berada di daerah tersebut sepanjang mata memandang yang bisa kita lihat hanyalah pohon-pohon sawit.

Setengah perjalanan yang akhir kami sudah keluar dari perkebunan dan melalui jalan resmi yang sudah beraspal. Jalan ini sudah mulai ramah debu dan krikil ketimbang separuh jalan sebelumnya. Karena medan yang seperti itu kami bisa menjalaninya selama kurang lebih tiga jam. Normalnya dua jam. Hal tersebut wajar saja. Karena kecepatan kami yang santai dan di bawah rata-rata. Kami berangkat jam 8 pagi dan tiba di tujuan jam 11 siang. Separuh perjalanan sampai ke tujuan sudah terbilang nyaman.

Sampai di Kota Bangun, kami harus menyebrang sungai Mahakam dengan menggunakan kapal Feri. Kapal ini sudah merupakan kendaraan umum di Kecamatan ini. Karena pemukiman penduduk biasanya ada di dua sisi Sungai Mahakam. Jadi, penyeberangan antara dua sisi sungai akan selalu ada, Bahkan bisa sangat padat. Kapalnya tidak terlalu besar, cukup untuk satu kendaraan roda empat atau lima sampai enam kendaraan roda dua. Biasanya akan langsung menyebrang (tanpa menunggu) walaupun hanya mengangkut dua atau tiga motor. Sewaktu menyebrang kita akan benar-benar dekat dengan sungai Mahakam. Ini menarik dan seru bagi saya yang sudah mulai jarang bermain di sungai Mahakam.

Sesampai di sisi seberang, kami bersegera menuju rumah keluarga. Tempat kami menginap. Di Kota Bangun Seberang ini menariknya, desanya  berada di atas jembatan. Jadi semua rumah penduduk, warung, masjid berada di atas jembatan. Dan jembatannya berbahan kayu. Setiap kali ada kendaraan yang lewat di depan rumah, maka suara jembatan kayu yang berbunyi itu terdengar nyaring. Bahkan ketika saya berada di atas motor bersama teman saya, suara pembicaraan kita bukan saja terhalang angin, tapi juga terhalang suara jembatan kayu yang berbunyi. Duk, duk, duk, duk.

Lalu, apakah jika tengah malam ada yang lewat di jembatan maka setiap rumah yang dilewati di desa itu akan terbangun ? Tentu saja tidak. Karena, masyarakat yang tinggal di situ juga sudah terbiasa dengan suara jembatan yang ribut.

Oiya, ciri khas sungai Mahakam adalah kapal ponton yang mengangkut Batu Bara (Emas Hitam Kalimantan) dan kayu-kayu pohon Kalimantan sering lalu lalang di Sungai Mahakam. Di Desa saya saja, setiap sepuluh menit sekali dapat dipastikan ada kapal yang lewat di belakang rumah dengan membawa hasil alam. Karena banyak tambang yang memang berada di hulu sungai Mahakam.

Setelah istirahat sebentar, kami pergi ke salah satu desa terdekat yang terkenal dengan wisatanya. Desa Pela Namanya. Dekat dengan danau Semayang. Setiap ada kegiatan budaya tahunan Erau, maka biasanya desa tersebut akan ramai dengan pengunjung dari berbagai daerah dan berbagai Negara. Karena selain tempatnya yang menarik, kekayaan alamnya juga merupakan daya tariknya. Ikan sungai Mahakam yang berukuran besar sangat sering ditemui di sini. Satu ikan bisa sampai berpuluh-puluh kilo beratnya.

Perjalanan kami ke Desa Pela menunjukkan bahwa kami harus terus berjalan ke bagian hulu sungai Mahakam. Dan kami harus tiga kali naik kapal feri. Menyebrang dari sisi sungai yang satu ke sisi sungai yang lain. Semakin ke hulu maka semakin sering saya menemui desa yang berada di atas jembatan kayu. Juga kegiatan di sungai akan semakin ramai. Karena selain sumber pertanian, masyarakat juga bermata pencaharian dengan menjadi nelayan.

Kami berkeliling hingga sore dan pulang kala malam. Tabik.


Beberapa foto yang sempat saya ambil :


Desa Pela







Kota Bangun Seberang



  • 0 Comments

Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yang kita kenal sekarang juga lahir dari berbagai macam pertanyaan tersebut. Selain itu, hal-hal seperti kepercayaan dan kearifan lokal tertentu juga terbentuk dari banyaknya pertanyaan dan bagaimana manusia mencoba mencari jawaban atas semua itu. Karena tidak pernah ada jawaban yang memang benar-benar memuaskan, maka pertanyaan tersebut terus timbul. Termasuk pertanyaan tentang asal-usul dari manusia berasal.

Kajian yang mendalami tentang asal-usul struktur alam semesta adalah kosmologi. Ilmu ini merupakan cabang dari astronomi dan metafisika. Berdasarkan perkembangannya, kosmologi mengalami perubahan bentuk dari yang bersifat mitologi (berasal dari kebudayaan tertentu), filosofis (berasal dari pemikiran nalar manusia), religious (berasal dari dogma agama-agama tertentu), dan yang akhir-akhir ini bersifat astronomis (hal ini dipengaruhi dengan perkembangan sains yang kian pesat).

Dari bentuknya yang paling tua adalah bahwa pengetahuan tentang asal-usul manusia dahulu bersifat mitologi. Hal ini juga yang nampak pada sebuah naskah kuno masyarakat bugis: I La Galigo. Naskah tersebut juga merupakan rujukan bagi suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja di Sulawesi Selatan untuk merasakan kesatuan diantara mereka. Seperti yang diungkap Mattulada dalam tulisannya.

Naskah La Galigo merupakan sebuah sastra puisi berbahasa bugis kuno (huruf lontar) yang dikeramatkan. Konon penggalan naskahnya tidak boleh dibaca sebelum diadakan ritual-ritual tertentu.  Sebagian dari naskahnya itu berfungsi sebagai mantra-mantra yang dibacakan dengan berirama pada saat-saat tertentu.

Sebenarnya di dalam kitab La Galigo itu menceritakan tentang asal usul masyarakat bugis, petualangan seorang Sawerigading dan anaknya La Galigo, pertempuran dan cerita imaginatif dalam idiom bahasa bugis. Sebelum adanya aksara, ia merupakan tradisi lisan masyarakat Sulawesi Selatan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kemudian ia dituliskan menjadi sebuah naskah yang sangat panjang. Yang panjangnya itu bahkan melebihi kisah Ramayana dan Mahabrata yang berasal dari tanah India.

Pada tahun 2011, dua naskah La Galigo terdaftar dalam Memory of The World yang merupakan program dari United Nations Educational Scientific and Cultural Organizations (UNESCO).  Dua naskah tersebut: yang pertama, Naskah La Galigo di Museum La Galigo di Makassar, Indonesia, dengan judul Sawerigading dan La Galigo ke Senrijawa, terdiri dari 217 halaman, yang diperkirakan ditulis pada awal abad ke-19. Yang kedua, Naskah La Galigo di Perpustakaan Universitas Leiden, Leiden, Belanda, dengan judul La Galigo, terdiri dari 12 episode, 2851 halaman, yang menjadikannya naskah La Galigo terpanjang. Yang kedua ini ditulis pada pertengahan abad ke-13 dan disalin oleh Colliq Pujie, Ratu Pancana (Sebuah Kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan). Naskah La Galigo juga telah dipentaskan di berbagai belahan dunia.

Kepercayaan masayarakat Sulawesi Selatan merupakan hasil evolusi dari kepercayaan zaman prasejarah. Begitu juga pada umumnya kepercayaan masyarakat Nusantara pada zaman itu. Kemudian datanglah Hindu dan Budha. Tapi sayangnya pengaruh Hindu dan Budha tidak banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat bugis pada saat itu. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya keterangan pernah didirikannya kerajaan Hindu atau Budha dan peninggalan budaya semacam candi. Namun jejak kepercayaan dan budaya yang berkembang pada masyarakat bugis dapat ditemukan dalam naskah La Galigo yang merupakan karya tulis orang bugis pra-Islam. Kemudian Islam dan Kekristenan mulai masuk pada kehidupan masyarakat di zaman kerajaan masyarakat Sulawesi Selatan saat itu.

Dengan mengacu pada I La Galigo, Christian Perlas menceritakan secara singkat  dalam bukunya The Bugis tentang system kepercayaan masyarakat bugis pra Islam. Bahwa di atas segala-segalanya terdapat satu entitas spiritual yang abadi yang dinamakan Dewa Sisine atau Dewa yang Maha Esa. Dari entitas ini –setelah tujuh lapis langit, bumi dan dunia bawah diciptakan- muncullah sepasang dewa La Tepulangi (Langit segenap) dan We Sengngeng Linge (Ciptaan Sempurna). Bersamaan dengan itu bintang-bintang pun tercipta. Dari pertemuan pasangan Sang Matahari dan Sri Bulan saat gerhana terjadi, lahirlah pasangan Dewa lain yang diberi tiupan nafas oleh Dewata Sisine. Kemudian dari pasangan yang terakhir ini lahirlah banyak pasangan dewa lainnya. Hingga 18 dewa (menurut naskah La Galigo lainnya lahirlah 14 dewa). Keturunan dewa yang kembar ini saling menikah, namun tidak diperbolehkan menikahi saudara kembarnya karena akan dinilai sebagai sebuah dosa.

Keturunan delapan belas dewa inilah yang diceritakan panjang lebar dalam naskah La Galigo. Diantara delapan belas itu adalah Datu Patotoe (Sang Raja Penentu Nasib) dan Istrinya Mutia Unru (Mutiara Badai) yang bergelar Datu Palinge (Sang Ratu Ibu) dianggap sebagai dewa tertinggi yang mengatur jagat raya. Tempat bersemayamnya adalah di Botting Langi (Langit tertinggi). Anak bungsu dari kedua Datu ini yang bernama La Tonge Langi’ pada suatu saat diutus ke dunia tengah (dunia manusia). Di kemudian hari keturunannya lah yang menjadi para penguasa di Luwu dan menjadi tokoh cerita I La Galigo, yakni Sawerigading dan I La Galigo.

Sejalan dengan keterangan di atas, Andi Rasdiansyah dalam disertasi doktornya mengatakan bahwa Datu Patoto’e bukanlah Tuhan, tetapi wakil Dewata Sisine (Tuhan yang Satu) dan menjadi raja di kerajaan “Langit”. Langit di sini adalah sebuah simbolis dan tidak dapat diartikan secara harfiah. Hal ini sesuai dengan paham kosmologi orang Sulawesi Selatan, bahwa dunia terbagi atas tiga kerajaan, Langi’ (langit), ale kawa (bumi), dan uri’ liu’ (dunia bawah).  Paham ini juga yang menjadi sisi filosofis dalam bentuk rumah panggung masyarakat bugis yang mempunyai tiga tingkat.

Naskah I La Galigo merupakan sebuah maha karya sastra agung dan indah. Kisahnya diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Anda boleh percaya atau tidak. Tetapi, I La Galigo sebagai sebuah warisan kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan adalah sebuah hal yang harus kita hormati dan jaga. Ia adalah identitas budaya kita yang masih bertahan di tengah arus globalisasi yang kian deras sekarang ini.


  • 0 Comments



Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang sebentar dengan nenek yang kian sepuh. Malam ini pembahasan kami sedikit berbeda. Tentang bagaimana tradisi astronomi yang pernah berkembang di kalangan suku Kutai di pedalaman Kalimantan timur.  Khususnya yang dialami secara langsung oleh para sesepuh terdahulu.

Kami berusaha kembali mencari sekelebat ingatan yang kian pudar. Walaupun tidak terlalu rinci, setidaknya saya bisa ikut merasakan ikatan emosi yang kuat antara apa yang saya pelajari di bangku universitas dengan apa yang dulu keluarga pernah ketahui dan hayati. Tentu saja dalam bidang astronomi (tradisi pengamatan benda-bneda langit) suku Kutai. Walaupun saya bukan tulen orang kutai seutuhnya. Saya tetap mencintai kutai sebagai bagian dari diri dan lingkungan saya tumbuh. Sedikit dari kisah-kisah yang dituturkan ini mungkin tidak terlampau mewah dan megah. Hanya kisah sederhana. Tapi itu semua ditulis di sini sebagai bagian kecil dari data empiris suku kutai dalam mengamati langit.

Kutai adalah salah satu dari sub suku yang terdapat di Kalimantan. Sebatas pengetahuan saya bahwa terdapat empat nama suku besar di Kalimantan. Diantaranya dayak, banjar, kutai, dan melayu. Dayak merupakan sebutan bagi dingsanak tuha (saudara tertua dalam bahasa kutai) diantara suku-suku tersebut. Walaupun kata “dayak” tersendiri bukanlah berasal dari suku pribumi asli Kalimantan. Itu adalah panggilan orang-orang pendatang terhadap suku pribumi asli Kalimantan tempo dulu. Kutai dan Banjar adalah masyarakat dayak yang bertransformasi karena pertemuan budaya dan agama baru yang berbeda. Begitulah sekilas tentang kutai.

Kembali pada tradisi pengamatan benda-benda langit. Di setiap awal bulan, orang-orang terdahulu akan memperkira-kirakan berapa umur nak bulen (Secara harfiah diartikan anak Bulan) di langit. Nak bulen yang dulu disebut itu kita kenal sekarang dengan bulan sabit atau hilal. Fase akhir pergerakan Bulan dalam mengelilingi bumi adalah ketika bagian Bulan yang terkena sinar matahari adalah bagian yang membelakangi bumi. Sehingga Bulan tidak lagi tampak dari bumi. Ini adalah fase tanpa Bulan. Dalam terminologi astronomi ini yang disebut kondisi konjungsi (Ijtimak dalam bahasa arab yang dikenal pegiat falak) dan mulainya bulan baru.

Bulan tidak akan terlihat hingga mencapai derajat tertentu. Bagi beberapa kalangan muslim, rukyatul hilal adalah metode yang digunakan dalam penentuan awal bulan hijriyah. Selain ada juga yang meyakini bahwa konjungsi yang didasarkan perhitungan astronomi tadi sudahlah cukup bagi syarat penentu awal bulan kamariah. Rukyatul hilal dilakukan demi melihat sebagian kecil permukaan bulan yang memantulkan cahaya matahari tersebut (hilal). Ini dilakukan di akhir bulan.

Berbeda dengan rukyatul hilal yang dilakukan setiap menjelang awal bulan hijriyah. Nak Bulen yang diamati oleh beberapa orang dari suku kutai dahulu dilakukan ketika tanggal tiga hingga lima di awal bulan. Hal ini dilakukan karena pengamatan yang memungkinkan untuk dilihat kala itu adalah ketika tanggal tersebut. Permukaan Bulan di tanggal tersebut akan lebih jelas dan memungkinkan untuk dilihat. Yang uniknya bahwa pengamatan itu akan dilakukan dengan membentangkan ampek (sebentang kain). Kain ini hanya satu lapis dan tipis. Kain akan dibentangkan dan diarahkan ke nak bulen ye bekerok (“melengkung” sebutan bagi bulan dari tanggal tiga hingga tujuh). Menariknya lagi bahwa cara mengetahui apakah itu tanggal tiga atau lima itu adalah dengan jenjeng ye ade di nak bulen (saya agak bingung mengartikan kata jenjeng yang diucapkan nenek. Mungkin dalam bahasa Indonesia kita artikan lapisan bulan). Hal itu diperhatikan dengan susunan tiga lapis jari. Jari telunjuk, tengah hingga jari manis. Tiga lapis jari berarti tanggal tiga. Sedangkan lima lapis jari berarti tanggal lima.

Fase kedua bulan dalam astronomi disebut dengan kuartal pertama. Suatu posisi dimana Bulan kelihatan separuh. Ini terjadi sekitar seminggu sejak awal bulan, atau Bulan telah melakukan rotasi seperempat putarannya. Ini adalah sekitar 6 jam lebih lambat daripada Matahari. Terbitnya di sebelah timur adalah sekitar tengah hari, berada tepat di tengah langit kita pada sekitar Matahari tenggelam, dan tenggelam di ufuk barat sekitar tengah malam. Pada fase tanggal delapan setiap bulan itu disebut nenek dengan papat gentang (kata papat itu semakna dengan seperempat. Mungkin yang dimaksud bahwa bulan telah melalui seperempat lingkaran dari perjalanannya mengelilingi bumi). Saat Bulan telah melewati fase papat gentang ini, maka Bulan akan memasuki fase selanjutnya bekembong (membesar atau kembung).

Selain dari fase-fase dan metode pengamatan benda-benda langit tersebut. Nenek juga bercerita tentang penampakan dan penamaan bintang-bintang. Ada Bintang belentik (Kata belentik di sini mengacu pada jebakan yang dibuat orang-orang kutai untuk menjebak hewan-hewan di tengah hutan) dan Bintang Tahun (Penampakan “bintang tahun” ini akan menjadi acuan dalam behuma/bertani/berkebun). Bintang belentik itu menunjukkan pada bintang terang di tengah langit malam. Saya tidak tahu persis bintang yang dimaksud dengan bintang belentik dan bidang tahun ini.

Saya pikir bahwa budaya semacam ini juga terdapat dalam banyak daerah di Indonesia. Yang mungkin kurang lebih sama. Yang belum saya ketahui. Istilah-istilah bahasa kutai yang berkaitan dengan astronomi yang saya temui di malam lepas itu menguatkan ikatan emosi saya dengan budaya saya dan astronomi yang saya pelajari. Bahwa sebenarnya astronomi yang kian berkembang itu juga pernah tumbuh dekat dengan saya.

 


  • 0 Comments


Beberapa dari kita seringkali  memaknai kebudayaan sebagai kesenian. Sehingga ruang lingkupnya hanya sebatas seni. Seni memang bagian dari budaya jika ditinjau dari realisasi kebudayaan yang  paling langsung dan kasat mata. Padahal kebudayaan itu berlapis-lapis. Lapis perilaku itu juga termasuk dari lapis kebudayaan sebagaimana menurut Karlina Supelli. Luasnya makna budaya itu tidak serta merta menyempitkan makna budaya. Budaya mestilah dilihat secara menyeluruh.

Definisi tentang budaya tentulah sangat banyak dan beragam. Budaya adalah seni yang diterbitkan dan diproduksi pilar-pilar untuk disetujui tatanan sosial (Abdurrahman Wahid). Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. (Deddy Mulyana, Jalaluddin Rakhmat: 2006)

Menurut Hairus Salim, Banyak orang yang melihat kebudayaan sebagai sebuah produk, seperti transportasi, teknologi, bangunan arsitekural yang merupakan hasil kebudayaan. Padahal kebudayaan itu adalah sebuah proses. Ketika kita semua saling berinteraksi dan memaknai sesuatu hal yang sama itulah kebudayaan. Hal yang paling penting dari kebudayaan adalah saling berhubungan, saling pinjam-meminjam, saling curi-mencuri dan saling tiru-meniru. Sehingga tak ada yang namanya budaya orisinalitas.

Dapatlah kita lihat bahwa kebudayaan adalah hal yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Segala bentuk pemikiran, perilaku,tindakan dan interaksi yang kita lakukan adalah budaya. Segala hal baik yang kita lakukan adalah bagian dari gerakan budaya yang membawa kita ke arah yang lebih baik. Itu adalah proses budaya. Memang kita tidak bisa merasakan dampaknya secara langsung dan jelas. Tapi kita tidak bisa memungkiri bahwa gerakan-gerakan kecil itu jika dilakukan bersama juga akan berdampak pada hal-hal besar. Tidak mungkin kita berbicara banyak hal tentang penghapusan korupsi jika budaya mencontek dan plagiarisme masih tumbuh subur dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, Hingga Perguruan Tinggi. Kita baru bisa benar-benar memberantas korupsi dengan tuntas ketika seluruh siswa dari sekolah dasar hingga mahasiswa dan para doktor serta professor setuju untuk tidak mencontek dan melakukan plagiarime.

Proses kita berbudaya ini adalah perjuangan yang abadi. Selama manusia terus ada dan mengharapkan kehidupan yang lebih baik maka proses berbudaya akan terus ada. Hanya saja ke arah mana budaya itu akan menuju. Kita sebagai bagian dari masyarakat adalah yang menentukannya.

Masyarakat akan  mencapai ketinggian akal budi, bahasa, dan ilmu pengetahuan dengan budayanya. Dulunya para pemikir Eropa dengan gagasan manusia universal, percaya bahwa semua manusia yang sangat beragam dan berbeda ras, bahasa dan asal muasalnya ini akan  sampai pada tingkat peradaban yang sama. Akan tetapi perjumpaan dengan keanekaragaman kebudayaan di luar Eropa menimbulkan kegamangan di kalangan ilmuan dan pemikir Barat. Dari situ mereka membedakan konsep kebudayaan dari peradaban. Mereka juga menekankan bahwa kebudayaan lah yang mestinya menjadi penanda bagi perkembangan manusia.

Setiap masyarkat mengembangkan cara hidup menurut pengetahuan dan nilainya sendiri. Kita tak dapat membandingkan kebudayaan yang berbeda dengan mengenakan tolak ukur yang berasal dari suatu kebudayaan yang lain.

Berangkat dari pendapat ini kebudayaan merupakan jalan bagi masyarakat dalam mencapai kebaikan bersama atau kita bisa sebut juga kesejahteraan umum. Proses berbudaya itu pasti berbeda. Tujuan yang ada di ujung jalan itu juga tidak selalu dalam bentuk suatu kebudayaan yang satu. Tapi hakikat kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik adalah hal jelas yang ingin kita gapai.

Dengan tidak mengesampingkan luasnya ruang lingkup budaya dan beberapa hal yang harus kita garisbawahi dan perhatikan. Saya ingin membagi kebudayaan ini menjadi empat bagian, yaitu: Budaya pengetahuan, budaya sehari-hari, budaya tanggung jawab dan budaya baru. Empat hal ini saya ringkas dari delapan kemungkinan siasat yang pernah disampaikan Karlina Supelli dalam pidatonya, “Kebudayaan dan Kegagapan Kita” di Dewan Kesenian Jakarta 2013 silam.

Budaya Pengetahuan, adalah hal-hal yang melputi tentang pemikiran dan pandangan kita terhadap pengetahuan. Kebudayaan adalah siasat mentransformasikan konsep ekonomi dari urusan pasar ke mata pencaharian warga biasa dan bukan jual beli uang itu sendiri. Seiring dengan ini, transfer teknologi dan perhatian yang sungguh-sungguh dalam memproduksi barang-barang kebutuhan sehari-hari dan infrastruktur pendukungnya. Ahli pangan dan para akademisi di kampus juga ikut serta dalam menumbuhkan kembali minat anak muda dalam bidang pertanian dan perikanan yang kian sepi minat. Padahal kekayaan alam Indonesia adalah hal nyata yang mesti dijaga dan dikelola oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Dalam hal budaya pengetahuan juga kesan bahwa ilmu pengetahuan tertentu mau menindas jenis-jenis pengetahuan yang lain masih cukup kuat di masyarakat.jika dahulu teologi menindas dengan lembaga gerejanya, sekarang ilmu pengetahuan juga menindas dengan lembaga sekolah dan universitasnya. Ilmu positivis mengangungkan metode ilmiahnya. Segala hal harus berlandaskan prinsip-prinsip ilmiah dan menyalahkan segala hal yang berada di luar metode ilmiah. Ilmu masih belum berhasil mengambil hati masyarakat. Siasat kebudayaan adalah mentransformasikan sikap “saya mugkin salah dan Anda mungkin benar, dan melalui sebuah upaya kita mungkin akan mendekati kebenaran.”(Karl Popper: 1992). Bahwa kita haruslah berani mengakui kesalahan dan berbicara benar.

Kedua adalah budaya sehari-hari, dalam era globalisasi sekarang batasan wilayah dan jarak menghilang. Kita bisa bertukar informasi apapun dengan siapapun di belahan  bumi manapun. Kuatnya arus informasi yang merupakan akibat dari globalisasi ini melahirkan budaya-budaya baru bersama teknologi digital seperti budaya selalu terhubung (always online), budaya komentar (comment culture)(Sherry Turkle:2011), budaya untuk saling berbagi (sharing) (Geert Lovink: 2011). Budaya seperti ini menyebabkan peristiwa menganggap sepele persoalan serius atau sebaliknya, yang kemudian membuat masyarakat kehilangan pegangan. Karena siapa saja bisa mengomentari apa saja tanpa harus menjadi ahli di bidang itu. Kebudayaan, budayawan dan intelektual memiliki tugas menghidupkan kembali dan membedakan komentar acak dan yang perlu dipikirkan mendalam.

Setelah reformasi, Negara telah kehilangan kekuatan politknya. Kekuatan utama kini ada di pasar. Pasarlah yang mengolah dan membentuk pandangan masyarakat. Segala hal dikomoditikan, dijual dan dipasarkan yang kemudian membentuk ‘kebudayaan pasar’.Modus eksistensi telah bergeser menjadi “aku membeli maka aku ada”.Konsumsi meluas sebagai gaya hidup. Di sini juga kebudayaan sebagai siasat untuk menjadikan kebiasaan berbelanja bukan karena kita mau tapi karena kita perlu. Kita tidak dapat mengubah penyediaan (supply) karena pertimbangan para pebisnis adalah apa yang paling laku. Tetapi kita masih bisa mengubah permintaan (demand). Kebiasaan mendidik hasrat ini akan mengajarkan kita perbedaan menjadi warga negara yang memilih untuk menyumbang pada kepentingan bersama ketimbang menjadi konsumen yang memilih untuk meningkatkan kenyamanan pribadi.

Ketiga, budaya tanggung jawab dan professional. Kebudayaan adalah siasat mentransformasikan politik untuk menciptakan kepemimpinan sebagai etos tanggung jawab  bukan kekuasaan. Ilmuwan dan filsuf juga memikirkan siasat dalam fungsi pengabdian masyarkat untuk melatih kebiasaan public agar setia kepada proses dan kejadian agar dapat jernih menyoroti peristiwa-peristiwa yang memang merupakan  tanggungjawab manusia untuk mengelolanya. Pemaknaan kembali makna profesi  ke makna asalnya, profession (latin), yang secara harfiah berarti janji public. Profesional adalah seseorang yang memiliki otoritas tidak saja karena dia memiliki keahlian, tetapi karena dia mengucapkan janji public sebagaimana dalam sejarahnnya yaitu sumpah Hippokrates abad ke-4 SM. Seseorang disebut professional bukan hanya karena dia pakar di bidangnya, melainkan  karena dengan kepakarannya dia menjalankan tugas dan menjadikannya sumbangan bagi kepentingan masyarakat.

Keempat, budaya baru. Karena kebudayaan adalah sebuah proses, kita juga perlu memikirkan langkah-langkah konkret untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk seperti mencontek plagiarism dan korupsi menjadi kebiasaan hidup dengan integritas dan kejujuran. Melatih kebiasaan jujur kepada teman, orang tua dan saudara dalam hukum, politik dan sebagainya. Juga dengan melatih diri kita sendiri dan orang-orang terdekat kita dengan tidak melakukan apa yang mereka suka. Bukannya sok intelektualis, ini hanyalah bagian dari latihan membiasakan diri kepada komitmen. Ciri kematangan seseorang adalah ketika dia sanggup melaksanakan suatu pekerjaan bukan karena dia suka, melainkan karena dia berkomitmen.

Empat kebudayaan di atas adalah sebagian kecil dari luasnya permasalahan dan pembahasan tentang kebudayaan. Kebiasaan-kebiasaan yang sering kita lakukan, Pemaknaan dan penafsiran kita terhadap berbagai hal, Nilai-nilai yang kita yakini semuanya tak lepas dari kebudayaan. Arus kebudayaan ini akan terus mengalir. Saling bercampur dan melengkapi. Kita sebagai nahkoda di atas arus itu tentu tidak bisa mengubah arah arusnya. Hal yang mungkin kita lakukan adalah mengarahkan perahu bangsa kita ke arus yang sesuai dengan tujuan bangsa kita. Tabik.
(Andi Evan Nisastra).
  • 1 Comments


Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus.

Kehidupan di dunia maya masih terus berjalan.  Seminar, kuliah, sekolah sekarang kan sudah serba online. Apalagi masih suasana akhir semester begini. 
Ujian dan tugas masih terus bertambah kayak angka positif covid-19.

Ujian dan tugas akhir semester kan masih terikat deadline. Sudah pasti akan berlalu. Mau dikerjain atau enggak. Nilai pasti keluar.  Antara lumayan atau mengecewakan.
Sayangnya tugas pemberantasan covid-19 deadlinenya masih belum ditentukan. Bisa sebulan, dua bulan, setahun atau unlimited. 
Ya gimana mau diselesaikan. Vaksinnya masih belum ketemu. Yang positif nambah terus. Ekonomi makin terjun bebas.

Walaupun angka positif covid-19 terus bertambah. Pemerintah sepertinya semakin terdesak.  Kalau terus-terusan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), bisa-bisa ekonomi semakin terperosok. Tapi, jika PSBB dibuka, angka positif semakin bertambah. Nyawa jadi taruhannya.
Ya, jadinya dilema. 

Pilihannya ya, PSBB dilonggarkan dengan  new normal. Bagi beberapa daerah yang dinilai mampu dan (Berani ambil resiko). Tentu saja. Mungkin harapannya, Ekonomi bisa diselamatkan. Angka penyebaran covid-19 bisa ditekan. 

Karena masih harapan ya belum bisa dipastikan seratus persen. Kenyataannya kan belum tentu. Tetap berusaha untuk membedakan antara harapan dan kenyataan ya. Takutnya nanti Ambyar. Wkwkwk. 

Bisa saja angka positifnya berkurang dan ekonomi terselamatkan. Atau malah sebaliknya. Kita masih belum tahu. 
Tapi, kalau dilihat dari pengalaman kebijakan yang diambil selama ini. Kita bisa menyimpulkan ya.

Istilah New Normal  itu kan berarti normal yang baru. Kata Pak Mujiburrahman, Rektor UIN Antasari, dalam tulisannya, itu adalah salah satu bentuk jalan tengah yang dipilih.  Demi menyelamatkan kita dari korban jiwa dan korban ekonomi yang kian bertambah. Normal baru ini berarti meninggalkan kebiasaan lama dan menciptakan kebiasaan baru. Normal baru adalah normal yang abnormal.

Karena masih baru, tentu saja membawa banyak pertanyaan. Apa itu ? Bagaimana pelaksanaannya ? Efektif atau enggak  ?

Juni tahun ini membawa new normal.

Jika bertemu bulan juni. Ada satu puisi yang saya ingat. Dan masih belum bosan-bosan dibaca. Apalagi kalau bukan Puisi Hujan Bulan Juni. Milik Sapardi Djoko Damono. Saya mengenalnya sejak masih di Aliyah dulu. Puisinya. Juga penulisnya sih. Ya, kenalnya dari karya-karyanya.

Walaupun tidak bertemu dengan penulis karya puisi, bukan berarti pemaknaan terhadap teks sastra tersebut tidak bisa saya dapatkan kan. Toh, sebenarnya dalam pembacaan puisi itu, makna akan sepenuhnya diserahkan pada pembacanya. 

Proses pembacaan itu adalah interaksi antara seorang pembaca dan teks sastra. Bukan interaksi antara pembaca dan penulis kan. Pemaknaan itu lahir dari bagaimana seseorang membaca puisi. Berdasarkan dari pengalaman pribadi pembaca dan pandangannya terhadap pilihan kata dalam karya tersebut. 

Karena pengalaman pembaca tentu saja berbeda dengan pengalaman penulis. Maka, pemaknaan pembaca juga akan berbeda dengan apa yang awalnya dimaksudkan penulis.

Sebenarnya itu maklum terjadi. Apalagi dalam pembacaan puisi. Yang merupakan permainan bunyi, kata, dan bahasa.  Apakah salah kalau pemaknaan kita berbeda dengan penulis ? Tentu saja tidak. 

Malah dari situlah nantinya suatu karya sastra seperti puisi bisa menjadi lebih kaya dalam bahasa. Beberapa penyair ada yang mengandaikan puisi sebagaimana kanak-kanak. Penulis hanya akan melahirkannya. 

Setelahnya, ia akan menjadi bagian dari peradaban bahasa. Hidup. Dibaca. Dan dimaknai oleh setiap orang. Dengan pemaknaan yang berbeda-beda.
Juni tahun ini kembali mengingatkan kepada puisi.

Lantas apa hubungan antar Puisi, Juni, dan New Normal ? Entahlah.

Jika hidup ini adalah puisi indah yang dirangkai dengan berbagai peristiwa sebagai kata-kata. Bukankah tidak apa-apa, jika kita berbeda dalam memaknainya. Begitu juga halnya dalam New Normal. Itu salah satu kata dari puisi kehidupan yang sedang kita baca dan jalani saat ini. 

Hanya saja, kita masih belum bisa memastikan. Kata dan kalimat apa yang akan berada di belakang New Normal tersebut kan. Bisa saja itu jadi kata terakhir yang kita baca atau masih bagian dari puisi panjang kehidupan kita. 
Siapa yang tau kan. Tabik.(Andi Evan Nisastra).

  • 1 Comments
Older Posts Home

Saya


Andy Evan

“Salah satu jalan menjadi Bahagia dalam hidup adalah dengan berusaha menjadi Baik, Benar dan Indah.”

Ikuti Saya

  • twitter
  • instagram
  • facebook

Yang banyak dibaca

  • Nyantri sambil berpuisi
    Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selai...
  • Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
    Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki per...
  • New Normal, Juni dan Puisi
    Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus. Kehidupan di dunia maya masih ter...
  • Astronomi Kutai ?
    Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang se...
  • I La Galigo: Sebuah Kosmologi Bugis
    Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yan...

Baru aja

Technology and Social Media as Parts of The Daily Life of Generation-Z

Jendela

Alam (5) Astronomi (3) Budaya (7) Buku (1) Cerpen (2) Desa (2) English (1) Falak (3) Filsafat (4) Foto (4) Generation-Z (1) Islam (9) Kitab Suci (2) Kosmologi (1) Liburan (2) Media Sosial (1) Pesantren (5) Puisi (14) Santai (7) Sehimpun Puisi (1) Tokoh (4) Tulisan (36)

Denah

  • ►  2018 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  November (1)
    • ►  December (4)
  • ►  2019 (2)
    • ►  January (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2020 (28)
    • ►  May (2)
    • ►  June (19)
    • ►  July (4)
    • ►  August (1)
    • ►  September (2)
  • ►  2021 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  September (1)
  • ▼  2022 (1)
    • ▼  June (1)
      • Technology and Social Media as Parts of The Daily ...

instagram

Created By Andy Evan | Distributed By Blogger

Back to top