Jalan Kala Pandemi



Situasi sedang sulit. Pandemi covid-19 masih belum selesai. Masyarakat juga tidak ada jaminan untuk terus berada #dirumahaja. Apalagi golongan menengah ke bawah. Yang perlu terus ke luar rumah : bekerja. Mencari hidup. Yang golongan menengah ke atas juga terkena dampaknya. Bisnis sudah lama tutup. Kerugian sudah tak terbendung. Semuanya harus tetap diteruskan. 

Padahal situasi virus corona di Indonesia kian memburuk. Walaupun saya lihat orang tetap waspada sekaligus bersantai ria atas penyebaran tersebut. Waspada karena takut tertular. Tapi tetap santai karena sering keluar rumah tanpa mematuhi peraturan yang ada. Yah memang begitu kenyataannya. Saya bingung melihatnya.

Untuk mengingatkan saja. Hingga saat saya menulis ini angka positif covid-19 di Indonesia sudah mencapai 74018 orang,  yang sembuh 34719, yang meninggal 3535. Heuheu. Angka yang besar kalau dibandingkan dengan Negara tetangga, Vietnam.  Yang masih menjadi juara hingga saat ini. Yang meninggal akibat covid-19 tidak ada. Pilot yang krisis itu kini sudah lebih baik. Tapi angka kita juga terlihat lebih kecil jika dibandingkan dengan Negara Amerika. Yang kini sudah jutaan orang yang tertular virus ini.

Kini new normal sudah berlaku. Kita diberikan pilihan untuk mengadu hidup. Ada sebuah jalan yang baru dibuka. Demi melanjutkan kehidupan. New Normal. Normal yang baru. Kebiasaan baru mulai digalakkan. Jaga jarak, Pakai masker, Cuci tangan, dan semua yang bisa menahan laju penyebaran virus. Kegiatan ekonomi mulai dibuka. Dengan lebih leluasa daripada sebelumnya. Tentu saja dengan peraturan yang katanya ketat.

Akhir bulan kemarin saya baru saja berpergian dari Kota Semarang (Yang saat itu Zona Merah) pulang ke Kalimantan Timur. Balikpapan, kota tempat bandara tujuan saya di kaltim juga sudah termasuk zona merah. Saya memang khawatir. Tapi banyak pertimbangan juga yang jadi masukan saya untuk tetap memilih pulang. Termasuk kondisi di Semarang yang kian merah dan kampung halaman saya yang Alhamdulillah masih hijau.

Perjalanan ke luar provinsi memang ribet. Ada banyak pemeriksaan dan pengisian data-data lebih dari biasanya. Sekitar tiga hari sebelum keberangkatan saya sudah pesan tiket duluan. Walaupun belum rapid tes. Agak khawatir sih kalau kenapa-kenapa. Tapi ya tetap berpikir positif dan ikuti aturan aja. Soalnya rapid tes bisa dites cepat dan harganya yang tidak fluktuatif (naik-turun). Eh bener gitu ya tulisan fluktuatifnya. Berbeda dengan harga tiket pesawat yang tidak menentu dan terkadang bisa cepat habis (tiket yang murahnya). 
Setelah pesan tiket, besoknya saya langsung melakukan rapid tes. Tentu saja dengan mencari tes yang murah meriah dan tidak jauh dari lingkungan kuliah saya. Saya cari informasi dari teman-teman dan aplikasi-aplikasi pemesanan tiket. Akhirnya saya dapat. Rapid tes dengan harga yang lumayan. Setidaknya enggak mahal-mahal amat jika dibandingkan yang biasanya. Di salah satu klinik di daerah kota Semarang. Pelayanannya untungnya cepat. 

Tesnya itu sebentar. Yang lama itu nagntri giliran untuk tesnya. Agak was-was juga. Karena hari itu ada banyak orang yang juga melakukan rapid tes.

Oh iya bisnis rapid tes di kala pendemi begini cukup menjanjikan. Karena hasil rapid tes tersebut merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin berpergian jauh dengan kendaraan umum. Harganya beragam. Dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Bahkan ada yang menaruh harga puluhan ribu saja. Karena memang modalnya yang juga masih kisaran puluhan ribu itu. Tetapi resiko yang dilewati petugas itu yang lumayan besar. SETIAP ORANG YANG BERPERGIAN DENGAN KENDARAAN UMUM PASTI MEMERLUKANNYA. Karena itu, banyak lembaga usaha, dari klinik kesehatan hingga transportasi umum yang menyediakan pelayanan rapid tes.

Padahal di Sumatera Barat swab tes saja bisa digratiskan. Karena memang penemuan Dokter Andani dari Universitas Andalas di sana bisa melakukan swab tes hingga ribuan orang dalam sehari. Tapi sayangnya tidak banyak daerah yang mau menggunakan cara tersebut. Entah karena apa. Pak Dahlan Iskan juga sudah tiga kali menulis tentang Dokter Andani. Saya juga tahu itu dari tulisan beliau di blog pribadinya.

Kembali ke rapid tes saya tadi. Setelah saya memegang surat hasil rapid tes dan tiket pesawat yang mengantarkan saya pulang. Saya merasa lega. Semua yang sulit sudah lewat. Tinggal hal-hal kecil saja. Seperti persiapan barang-barang yang dibawa. Atau bersih-bersih kamar sebelum ditinggal pulang untuk jangka waktu yang lama.
Ketika saya sampai di bandara sekitar satu jam sebelum keberangkatan. Ternyata saat itu sudah panggilan terakhir untuk penumpang pesawat ke Balikpapan. Saya kaget. Keberangkatannya dimajukan satu jam dari jadwal. Saya buru-buru ke petugas pemeriksaan data.  Mengisi formulir di aplikasi eHAC Indonesia. Sebelum Check In, saya melewati hingga sekurangnya tiga kali pemeriksaan dokumen rapid tes dan tiket. Baru setelah check in, saya berlari-lari kecil mengejar panggilan yang diulang-ulang terus.

Begitu sampai di bandara tujuan, saya mengalami hal serupa. Pemeriksaan sana-sini. Kini ada petugas keamanan yang banyak sekali. Pemeriksaan dan mengisi data juga dilakukan lagi. Saya diminta untuk tidak kemana-mana selama seminggu. Dan setelah seminggu diminta untuk melakukan pemeriksaan di puskesmas terdekat. 

Sesampainya di rumah, saya langsung masuk kamar mandi dan bersih-bersih. Pakaian yang di badan dicuci. Barang bawaan semua diberi disinfektan. Semua demi menjaga kebersihan rumah dari covid-19. Baru setelah ritual bersih-bersih itu saya salaman dan bertemu keluarga. Begitulah.

You Might Also Like

0 Comments