Andy Evan

  • Teras
  • Ruang
  • _Tulisan
  • _Foto
  • Kontak


Ilmu Falak merupakan bagian dari keilmuan yang unik dan menarik. Ruang lingkupnya cukup luas dan bisa mendorong kemajuan teknologi sains di kalangan kaum muslimin. Dasar-dasar dari keilmuan ini sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam di tanah arab. Sejak kemunduran peradaban Islam beberapa abad lalu, ilmu falak masih tetap bertahan hingga sekarang dan kembali menemukan jalurnya dalam perkembangan keilmuan umat muslim, khususnya di Indonesia.

Ruang lingkup ilmu Falak yang luas didasarkan atas pengertian bahwa ilmu falak memiliki banyak nama seperti ilmu miqat, ilmu rashd, ilmu nujum, dan ilmu hisab. Kemajuan peradaban manusia sekarang yang melahirkan banyak kajian keilmuan: astronomi, astrofisika, kosmologi, kosmogoni, dan lain sebagainya juga dimasukkan ke dalam kategori ilmu falak. Perkembangan kajian segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan ibadah umat Islam menjadi bagian yang tumbuh subur dalam ilmu Falak. Ini adalah bagian dari Ilmu Falak Praktis (tathbiqy). Kemudian dari sini ada nama baru bagi ilmu Falak yaitu astrofiqh yang mencoba menyempitkan ruang lingkup yang luas tadi.

Kajian ilmu Falak yang mempelajari tentang alam semesta dan hubungannya dengan ibadah umat muslim membuat ilmu falak tidak akan terlepas dari pergerakan alam dan penafsiran Al-Qur'an dan Hadis. Hal ini yang kemudian menjadikan ilmu Falak itu unik. Dan dibalik keunikannya itu saya ingin mengajukan hal yang perlu kiranya diperhatikan dan didiskusikan bersama oleh para pegiat Falak.

Sejauh yang saya baca dan ketahui bahwa ilmu Falak oleh banyak kalangan dikategorikan sebagai bagian dari Sains. Mereka berpendapat demikian karena ilmu falak membahas tentang peredaran benda-benda langit: bulan, matahari, bumi. Sekarang kita mengenal ilmu serupa yaitu astronomi. Ada bagian dari astronomi yang juga menjadi objek kajian ilmu falak. Ini tepat menurut saya. Karena dalam proses memahami alam sebagai bagian dari dunia objektif kita memerlukan sains sebagai sebuah metode.

Dari situ kita bisa memahami alam dengan pertimbangan empiris dan logis. Walaupun kita sudah maklum bahwa Sains memiliki banyak reruntuhan teori sejak berabad-abad silam. Sains tidak benar-benar menjamin sebuah kebenaran dari sebuah kenyataan. Dalam filsafat, epistemologi dari Sains adalah Epistemologi Burhani atau rasio. Itu bisa diterima.

Di sisi lain, kita juga harus menyadari bahwa kajian ilmu falak tidak sebatas pada alam. Ada bagian dari ilmu falak yang juga mempelajari tentang Al-Qur'an dan Hadis (contohnya seperti awal waktu shalat, awal bulan HIjriyah, arah kiblat, dan gerhana). Di sini kemudian yang menjadi permasalahannya. Ilmu Falak yang dimasukkan sebagai bagian dari Sains dengan bercorak empiris dan logis tersebut mencoba memahami makna yang tersirat dalam Al-Qur'an dan Sunnah (yang merupakan bagian dari dunia subjektif dan bukan wilayah Sains).

Pemahaman terhadap makna, kesadaran manusia, spritualitasnya yang memahami Al-Qur'an dan Hadis tidak bisa menggunakan Sains. Epistemologinya adalah Epistemologi Bayani atau Irfani. Dalam filsafat, Wilayah ini adalah wilayah subjektif. Ketika ilmu Falak yang dipahami sebagai Sains tadi mencoba masuk dalam wilayah subjektif, alam kesadaran manusia. Kita boleh bertanya, Apakah ia bisa benar-benar memahami dan menangkap kesucian makna yang tersembunyi dibalik nash-nash Al-Qur'an dan Hadis?

Beberapa saat lalu ada sebuah gagasan yang ingin menyatukan kriteria hilal dalam penentuan awal bulan Kamariyah dengan ketentuan Imakurrukyah. Kriteria ini dirumuskan sebagai upaya menjembatani dua mazhab dalam ilmu Falak: Hisab dan Rukyat. Kriteria ini memberikan pertimbangan ilmiah atas penentuan awal bulan Hijriyah. Bahwa ada beberapa ketentuan yang memungkinkan hilal dapat terlihat.

Mazhab hisab akan menentukan awal bulan Hijryah beracuan pada metode hisab yang dapat memperkirakan bahwa hilal telah muncul sekalipun belum terlihat. Sedangkan Mazhab Rukyat menjadikan acuan bahwa hilal mestilah terlihat sebagai syarat penentuan awal bulan Hijriyah. Kita juga perlu mengingat bahwa titik berangkat dua mazhab di atas adalah penafsiran atas dalil-dalil naqli yang ada. Kedua penafsiran itu tentu saja masih terbuka untuk dikaji ulang.

Penafsiran atas dalil-dalil naqli tidak tepat kiranya jika hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan ilmiah atas pemahaman kita terhadap dunia objektif. Pendekatan dengan metode tafsir atau filsafat hermeneutika atas ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis tentang Falak juga sangat pantas untuk diajukan sebagai bahan pertimbangan dalam menjembatani dua mazhab dalam ilmu Falak tersebut. Selain itu wilayah intersubjektif (sosial) Ilmu Falak, bagaimana antar kedua mazhab saling berinteraksi? Bagaimana upaya para pemerintah dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu putusan yang terkait hisab rukyat? Bagaimana para ulama Falak mengkaji ilmu Falak dan menyampaikannya kepada umat muslim? Hal-hal seperti itu juga kiranya perlu dipikirkan dan didiskusikan bersama sebagai upaya mengembangkan ilmu Falak dalam bangunan peradaban manusia saat ini. Tabik.

 

  • 0 Comments

Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yang kita kenal sekarang juga lahir dari berbagai macam pertanyaan tersebut. Selain itu, hal-hal seperti kepercayaan dan kearifan lokal tertentu juga terbentuk dari banyaknya pertanyaan dan bagaimana manusia mencoba mencari jawaban atas semua itu. Karena tidak pernah ada jawaban yang memang benar-benar memuaskan, maka pertanyaan tersebut terus timbul. Termasuk pertanyaan tentang asal-usul dari manusia berasal.

Kajian yang mendalami tentang asal-usul struktur alam semesta adalah kosmologi. Ilmu ini merupakan cabang dari astronomi dan metafisika. Berdasarkan perkembangannya, kosmologi mengalami perubahan bentuk dari yang bersifat mitologi (berasal dari kebudayaan tertentu), filosofis (berasal dari pemikiran nalar manusia), religious (berasal dari dogma agama-agama tertentu), dan yang akhir-akhir ini bersifat astronomis (hal ini dipengaruhi dengan perkembangan sains yang kian pesat).

Dari bentuknya yang paling tua adalah bahwa pengetahuan tentang asal-usul manusia dahulu bersifat mitologi. Hal ini juga yang nampak pada sebuah naskah kuno masyarakat bugis: I La Galigo. Naskah tersebut juga merupakan rujukan bagi suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja di Sulawesi Selatan untuk merasakan kesatuan diantara mereka. Seperti yang diungkap Mattulada dalam tulisannya.

Naskah La Galigo merupakan sebuah sastra puisi berbahasa bugis kuno (huruf lontar) yang dikeramatkan. Konon penggalan naskahnya tidak boleh dibaca sebelum diadakan ritual-ritual tertentu.  Sebagian dari naskahnya itu berfungsi sebagai mantra-mantra yang dibacakan dengan berirama pada saat-saat tertentu.

Sebenarnya di dalam kitab La Galigo itu menceritakan tentang asal usul masyarakat bugis, petualangan seorang Sawerigading dan anaknya La Galigo, pertempuran dan cerita imaginatif dalam idiom bahasa bugis. Sebelum adanya aksara, ia merupakan tradisi lisan masyarakat Sulawesi Selatan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kemudian ia dituliskan menjadi sebuah naskah yang sangat panjang. Yang panjangnya itu bahkan melebihi kisah Ramayana dan Mahabrata yang berasal dari tanah India.

Pada tahun 2011, dua naskah La Galigo terdaftar dalam Memory of The World yang merupakan program dari United Nations Educational Scientific and Cultural Organizations (UNESCO).  Dua naskah tersebut: yang pertama, Naskah La Galigo di Museum La Galigo di Makassar, Indonesia, dengan judul Sawerigading dan La Galigo ke Senrijawa, terdiri dari 217 halaman, yang diperkirakan ditulis pada awal abad ke-19. Yang kedua, Naskah La Galigo di Perpustakaan Universitas Leiden, Leiden, Belanda, dengan judul La Galigo, terdiri dari 12 episode, 2851 halaman, yang menjadikannya naskah La Galigo terpanjang. Yang kedua ini ditulis pada pertengahan abad ke-13 dan disalin oleh Colliq Pujie, Ratu Pancana (Sebuah Kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan). Naskah La Galigo juga telah dipentaskan di berbagai belahan dunia.

Kepercayaan masayarakat Sulawesi Selatan merupakan hasil evolusi dari kepercayaan zaman prasejarah. Begitu juga pada umumnya kepercayaan masyarakat Nusantara pada zaman itu. Kemudian datanglah Hindu dan Budha. Tapi sayangnya pengaruh Hindu dan Budha tidak banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat bugis pada saat itu. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya keterangan pernah didirikannya kerajaan Hindu atau Budha dan peninggalan budaya semacam candi. Namun jejak kepercayaan dan budaya yang berkembang pada masyarakat bugis dapat ditemukan dalam naskah La Galigo yang merupakan karya tulis orang bugis pra-Islam. Kemudian Islam dan Kekristenan mulai masuk pada kehidupan masyarakat di zaman kerajaan masyarakat Sulawesi Selatan saat itu.

Dengan mengacu pada I La Galigo, Christian Perlas menceritakan secara singkat  dalam bukunya The Bugis tentang system kepercayaan masyarakat bugis pra Islam. Bahwa di atas segala-segalanya terdapat satu entitas spiritual yang abadi yang dinamakan Dewa Sisine atau Dewa yang Maha Esa. Dari entitas ini –setelah tujuh lapis langit, bumi dan dunia bawah diciptakan- muncullah sepasang dewa La Tepulangi (Langit segenap) dan We Sengngeng Linge (Ciptaan Sempurna). Bersamaan dengan itu bintang-bintang pun tercipta. Dari pertemuan pasangan Sang Matahari dan Sri Bulan saat gerhana terjadi, lahirlah pasangan Dewa lain yang diberi tiupan nafas oleh Dewata Sisine. Kemudian dari pasangan yang terakhir ini lahirlah banyak pasangan dewa lainnya. Hingga 18 dewa (menurut naskah La Galigo lainnya lahirlah 14 dewa). Keturunan dewa yang kembar ini saling menikah, namun tidak diperbolehkan menikahi saudara kembarnya karena akan dinilai sebagai sebuah dosa.

Keturunan delapan belas dewa inilah yang diceritakan panjang lebar dalam naskah La Galigo. Diantara delapan belas itu adalah Datu Patotoe (Sang Raja Penentu Nasib) dan Istrinya Mutia Unru (Mutiara Badai) yang bergelar Datu Palinge (Sang Ratu Ibu) dianggap sebagai dewa tertinggi yang mengatur jagat raya. Tempat bersemayamnya adalah di Botting Langi (Langit tertinggi). Anak bungsu dari kedua Datu ini yang bernama La Tonge Langi’ pada suatu saat diutus ke dunia tengah (dunia manusia). Di kemudian hari keturunannya lah yang menjadi para penguasa di Luwu dan menjadi tokoh cerita I La Galigo, yakni Sawerigading dan I La Galigo.

Sejalan dengan keterangan di atas, Andi Rasdiansyah dalam disertasi doktornya mengatakan bahwa Datu Patoto’e bukanlah Tuhan, tetapi wakil Dewata Sisine (Tuhan yang Satu) dan menjadi raja di kerajaan “Langit”. Langit di sini adalah sebuah simbolis dan tidak dapat diartikan secara harfiah. Hal ini sesuai dengan paham kosmologi orang Sulawesi Selatan, bahwa dunia terbagi atas tiga kerajaan, Langi’ (langit), ale kawa (bumi), dan uri’ liu’ (dunia bawah).  Paham ini juga yang menjadi sisi filosofis dalam bentuk rumah panggung masyarakat bugis yang mempunyai tiga tingkat.

Naskah I La Galigo merupakan sebuah maha karya sastra agung dan indah. Kisahnya diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Anda boleh percaya atau tidak. Tetapi, I La Galigo sebagai sebuah warisan kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan adalah sebuah hal yang harus kita hormati dan jaga. Ia adalah identitas budaya kita yang masih bertahan di tengah arus globalisasi yang kian deras sekarang ini.


  • 0 Comments



Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang sebentar dengan nenek yang kian sepuh. Malam ini pembahasan kami sedikit berbeda. Tentang bagaimana tradisi astronomi yang pernah berkembang di kalangan suku Kutai di pedalaman Kalimantan timur.  Khususnya yang dialami secara langsung oleh para sesepuh terdahulu.

Kami berusaha kembali mencari sekelebat ingatan yang kian pudar. Walaupun tidak terlalu rinci, setidaknya saya bisa ikut merasakan ikatan emosi yang kuat antara apa yang saya pelajari di bangku universitas dengan apa yang dulu keluarga pernah ketahui dan hayati. Tentu saja dalam bidang astronomi (tradisi pengamatan benda-bneda langit) suku Kutai. Walaupun saya bukan tulen orang kutai seutuhnya. Saya tetap mencintai kutai sebagai bagian dari diri dan lingkungan saya tumbuh. Sedikit dari kisah-kisah yang dituturkan ini mungkin tidak terlampau mewah dan megah. Hanya kisah sederhana. Tapi itu semua ditulis di sini sebagai bagian kecil dari data empiris suku kutai dalam mengamati langit.

Kutai adalah salah satu dari sub suku yang terdapat di Kalimantan. Sebatas pengetahuan saya bahwa terdapat empat nama suku besar di Kalimantan. Diantaranya dayak, banjar, kutai, dan melayu. Dayak merupakan sebutan bagi dingsanak tuha (saudara tertua dalam bahasa kutai) diantara suku-suku tersebut. Walaupun kata “dayak” tersendiri bukanlah berasal dari suku pribumi asli Kalimantan. Itu adalah panggilan orang-orang pendatang terhadap suku pribumi asli Kalimantan tempo dulu. Kutai dan Banjar adalah masyarakat dayak yang bertransformasi karena pertemuan budaya dan agama baru yang berbeda. Begitulah sekilas tentang kutai.

Kembali pada tradisi pengamatan benda-benda langit. Di setiap awal bulan, orang-orang terdahulu akan memperkira-kirakan berapa umur nak bulen (Secara harfiah diartikan anak Bulan) di langit. Nak bulen yang dulu disebut itu kita kenal sekarang dengan bulan sabit atau hilal. Fase akhir pergerakan Bulan dalam mengelilingi bumi adalah ketika bagian Bulan yang terkena sinar matahari adalah bagian yang membelakangi bumi. Sehingga Bulan tidak lagi tampak dari bumi. Ini adalah fase tanpa Bulan. Dalam terminologi astronomi ini yang disebut kondisi konjungsi (Ijtimak dalam bahasa arab yang dikenal pegiat falak) dan mulainya bulan baru.

Bulan tidak akan terlihat hingga mencapai derajat tertentu. Bagi beberapa kalangan muslim, rukyatul hilal adalah metode yang digunakan dalam penentuan awal bulan hijriyah. Selain ada juga yang meyakini bahwa konjungsi yang didasarkan perhitungan astronomi tadi sudahlah cukup bagi syarat penentu awal bulan kamariah. Rukyatul hilal dilakukan demi melihat sebagian kecil permukaan bulan yang memantulkan cahaya matahari tersebut (hilal). Ini dilakukan di akhir bulan.

Berbeda dengan rukyatul hilal yang dilakukan setiap menjelang awal bulan hijriyah. Nak Bulen yang diamati oleh beberapa orang dari suku kutai dahulu dilakukan ketika tanggal tiga hingga lima di awal bulan. Hal ini dilakukan karena pengamatan yang memungkinkan untuk dilihat kala itu adalah ketika tanggal tersebut. Permukaan Bulan di tanggal tersebut akan lebih jelas dan memungkinkan untuk dilihat. Yang uniknya bahwa pengamatan itu akan dilakukan dengan membentangkan ampek (sebentang kain). Kain ini hanya satu lapis dan tipis. Kain akan dibentangkan dan diarahkan ke nak bulen ye bekerok (“melengkung” sebutan bagi bulan dari tanggal tiga hingga tujuh). Menariknya lagi bahwa cara mengetahui apakah itu tanggal tiga atau lima itu adalah dengan jenjeng ye ade di nak bulen (saya agak bingung mengartikan kata jenjeng yang diucapkan nenek. Mungkin dalam bahasa Indonesia kita artikan lapisan bulan). Hal itu diperhatikan dengan susunan tiga lapis jari. Jari telunjuk, tengah hingga jari manis. Tiga lapis jari berarti tanggal tiga. Sedangkan lima lapis jari berarti tanggal lima.

Fase kedua bulan dalam astronomi disebut dengan kuartal pertama. Suatu posisi dimana Bulan kelihatan separuh. Ini terjadi sekitar seminggu sejak awal bulan, atau Bulan telah melakukan rotasi seperempat putarannya. Ini adalah sekitar 6 jam lebih lambat daripada Matahari. Terbitnya di sebelah timur adalah sekitar tengah hari, berada tepat di tengah langit kita pada sekitar Matahari tenggelam, dan tenggelam di ufuk barat sekitar tengah malam. Pada fase tanggal delapan setiap bulan itu disebut nenek dengan papat gentang (kata papat itu semakna dengan seperempat. Mungkin yang dimaksud bahwa bulan telah melalui seperempat lingkaran dari perjalanannya mengelilingi bumi). Saat Bulan telah melewati fase papat gentang ini, maka Bulan akan memasuki fase selanjutnya bekembong (membesar atau kembung).

Selain dari fase-fase dan metode pengamatan benda-benda langit tersebut. Nenek juga bercerita tentang penampakan dan penamaan bintang-bintang. Ada Bintang belentik (Kata belentik di sini mengacu pada jebakan yang dibuat orang-orang kutai untuk menjebak hewan-hewan di tengah hutan) dan Bintang Tahun (Penampakan “bintang tahun” ini akan menjadi acuan dalam behuma/bertani/berkebun). Bintang belentik itu menunjukkan pada bintang terang di tengah langit malam. Saya tidak tahu persis bintang yang dimaksud dengan bintang belentik dan bidang tahun ini.

Saya pikir bahwa budaya semacam ini juga terdapat dalam banyak daerah di Indonesia. Yang mungkin kurang lebih sama. Yang belum saya ketahui. Istilah-istilah bahasa kutai yang berkaitan dengan astronomi yang saya temui di malam lepas itu menguatkan ikatan emosi saya dengan budaya saya dan astronomi yang saya pelajari. Bahwa sebenarnya astronomi yang kian berkembang itu juga pernah tumbuh dekat dengan saya.

 


  • 0 Comments
Older Posts Home

Saya


Andy Evan

“Salah satu jalan menjadi Bahagia dalam hidup adalah dengan berusaha menjadi Baik, Benar dan Indah.”

Ikuti Saya

  • twitter
  • instagram
  • facebook

Yang banyak dibaca

  • Nyantri sambil berpuisi
    Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selai...
  • Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
    Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki per...
  • New Normal, Juni dan Puisi
    Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus. Kehidupan di dunia maya masih ter...
  • Astronomi Kutai ?
    Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang se...
  • I La Galigo: Sebuah Kosmologi Bugis
    Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yan...

Baru aja

Technology and Social Media as Parts of The Daily Life of Generation-Z

Jendela

Alam (5) Astronomi (3) Budaya (7) Buku (1) Cerpen (2) Desa (2) English (1) Falak (3) Filsafat (4) Foto (4) Generation-Z (1) Islam (9) Kitab Suci (2) Kosmologi (1) Liburan (2) Media Sosial (1) Pesantren (5) Puisi (14) Santai (7) Sehimpun Puisi (1) Tokoh (4) Tulisan (36)

Denah

  • ►  2018 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  November (1)
    • ►  December (4)
  • ►  2019 (2)
    • ►  January (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2020 (28)
    • ►  May (2)
    • ►  June (19)
    • ►  July (4)
    • ►  August (1)
    • ►  September (2)
  • ►  2021 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  September (1)
  • ▼  2022 (1)
    • ▼  June (1)
      • Technology and Social Media as Parts of The Daily ...

instagram

Created By Andy Evan | Distributed By Blogger

Back to top