Andy Evan

  • Teras
  • Ruang
  • _Tulisan
  • _Foto
  • Kontak


  

Sewaktu di Pondok Pesantren, Salah seorang Ustadz pernah berkata bahwa apa yang kami (santri) pelajari dalam kitab klasik ketika di kelas atau di Musholla memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain. Pelajaran Fiqih yang membahas tentang hukum dan tata cara ibadah akan memiliki hubungan dan ketersambungan dengan Pelajaran Tauhid yang membahas masalah Ketuhanan.

Fiqih, Tauhid, Akhlak, Tasawuf, Tarikh, Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, semua memiliki tali tipis yang mengikatnya. Hal itu benar adanya. Seorang guru yang membacakan kitab klasik lalu menjelaskannya akan membahas dari banyak sisi dari sebuah teks. Seorang santri dilatih untuk melihat suatu teks bukan hanya dari sisi bahasa, tapi juga dari sisi sejarah, bahkan sisi makna yang tersembunyi dari sebuah teks, yang didapatkan seorang pensyarah (seseorang yang menjelaskan sebuah matan/teks kitab klasik) setelah mengamati dan merenungkan teks tersebut.

Pernah suatu ketika kami memulai sebuah kajian kitab klasik di kelas. Seorang Ustadz menjelaskan teks “Bismillahirrahmanirrahim” hingga dua kali pertemuan. Yang masing-masing pertemuannya selama 45 menit. Atau bisa juga seperti ini: Suatu teks yang kurang bisa kita pahami dalam suatu pelajaran akan lebih mudah dipahami ketika ada pembahasan serupa pada pelajaran yang lain. Ada pengulangan dan penajaman makna dari lain sisi suatu teks. Misalnya suatu penjelasan dalam Kitab Fiqih (Hukum) lebih mudah kita pahami setelah kita membahas bab tertentu dalam Kitab Tarikh (Sejarah).

Saya terkadang mengingat dan merenungkan kembali pernyataan guru saya tersebut di awal. Saya tidak terlalu berputus asa atas ketidakpahaman saya atas suatu permasalahan. Saya akan memahaminya. Mungkin tidak sekarang. Mungkin nanti. Tapi dengan satu syarat: Saya tidak berhenti belajar.

Apa yang juga sangat saya ingat dari guru saya tersebut adalah: ”Seiring bertambahnya usia, rezeki, ilmu pengetahuan, dan wawasan kita PASTI bertambah. Tapi dengan satu syarat: Jangan pernah berhenti belajar.” Beberapa waktu kemudian saya mendengar perkataan Gus Mus dalam suatu cuplikan di sosial media. Saya tidak ingat pastinya, tapi kurang lebih seperti ini. “Biarkan anak muda berpikir sebebas-bebasnya. Terserah bagaimanapun juga. Tapi ingat satu hal: Jangan Berhenti Belajar. Karena mereka yang berhenti belajar akan merasa pandai dan menyusahkan masyarakat”

Kita tentu saja berharap semoga bisa terus menerus belajar dari segala hal. Dalam proses panjang menjadi yang  terbaik dalam hidup.

  • 0 Comments

Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yang kita kenal sekarang juga lahir dari berbagai macam pertanyaan tersebut. Selain itu, hal-hal seperti kepercayaan dan kearifan lokal tertentu juga terbentuk dari banyaknya pertanyaan dan bagaimana manusia mencoba mencari jawaban atas semua itu. Karena tidak pernah ada jawaban yang memang benar-benar memuaskan, maka pertanyaan tersebut terus timbul. Termasuk pertanyaan tentang asal-usul dari manusia berasal.

Kajian yang mendalami tentang asal-usul struktur alam semesta adalah kosmologi. Ilmu ini merupakan cabang dari astronomi dan metafisika. Berdasarkan perkembangannya, kosmologi mengalami perubahan bentuk dari yang bersifat mitologi (berasal dari kebudayaan tertentu), filosofis (berasal dari pemikiran nalar manusia), religious (berasal dari dogma agama-agama tertentu), dan yang akhir-akhir ini bersifat astronomis (hal ini dipengaruhi dengan perkembangan sains yang kian pesat).

Dari bentuknya yang paling tua adalah bahwa pengetahuan tentang asal-usul manusia dahulu bersifat mitologi. Hal ini juga yang nampak pada sebuah naskah kuno masyarakat bugis: I La Galigo. Naskah tersebut juga merupakan rujukan bagi suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja di Sulawesi Selatan untuk merasakan kesatuan diantara mereka. Seperti yang diungkap Mattulada dalam tulisannya.

Naskah La Galigo merupakan sebuah sastra puisi berbahasa bugis kuno (huruf lontar) yang dikeramatkan. Konon penggalan naskahnya tidak boleh dibaca sebelum diadakan ritual-ritual tertentu.  Sebagian dari naskahnya itu berfungsi sebagai mantra-mantra yang dibacakan dengan berirama pada saat-saat tertentu.

Sebenarnya di dalam kitab La Galigo itu menceritakan tentang asal usul masyarakat bugis, petualangan seorang Sawerigading dan anaknya La Galigo, pertempuran dan cerita imaginatif dalam idiom bahasa bugis. Sebelum adanya aksara, ia merupakan tradisi lisan masyarakat Sulawesi Selatan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kemudian ia dituliskan menjadi sebuah naskah yang sangat panjang. Yang panjangnya itu bahkan melebihi kisah Ramayana dan Mahabrata yang berasal dari tanah India.

Pada tahun 2011, dua naskah La Galigo terdaftar dalam Memory of The World yang merupakan program dari United Nations Educational Scientific and Cultural Organizations (UNESCO).  Dua naskah tersebut: yang pertama, Naskah La Galigo di Museum La Galigo di Makassar, Indonesia, dengan judul Sawerigading dan La Galigo ke Senrijawa, terdiri dari 217 halaman, yang diperkirakan ditulis pada awal abad ke-19. Yang kedua, Naskah La Galigo di Perpustakaan Universitas Leiden, Leiden, Belanda, dengan judul La Galigo, terdiri dari 12 episode, 2851 halaman, yang menjadikannya naskah La Galigo terpanjang. Yang kedua ini ditulis pada pertengahan abad ke-13 dan disalin oleh Colliq Pujie, Ratu Pancana (Sebuah Kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan). Naskah La Galigo juga telah dipentaskan di berbagai belahan dunia.

Kepercayaan masayarakat Sulawesi Selatan merupakan hasil evolusi dari kepercayaan zaman prasejarah. Begitu juga pada umumnya kepercayaan masyarakat Nusantara pada zaman itu. Kemudian datanglah Hindu dan Budha. Tapi sayangnya pengaruh Hindu dan Budha tidak banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat bugis pada saat itu. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya keterangan pernah didirikannya kerajaan Hindu atau Budha dan peninggalan budaya semacam candi. Namun jejak kepercayaan dan budaya yang berkembang pada masyarakat bugis dapat ditemukan dalam naskah La Galigo yang merupakan karya tulis orang bugis pra-Islam. Kemudian Islam dan Kekristenan mulai masuk pada kehidupan masyarakat di zaman kerajaan masyarakat Sulawesi Selatan saat itu.

Dengan mengacu pada I La Galigo, Christian Perlas menceritakan secara singkat  dalam bukunya The Bugis tentang system kepercayaan masyarakat bugis pra Islam. Bahwa di atas segala-segalanya terdapat satu entitas spiritual yang abadi yang dinamakan Dewa Sisine atau Dewa yang Maha Esa. Dari entitas ini –setelah tujuh lapis langit, bumi dan dunia bawah diciptakan- muncullah sepasang dewa La Tepulangi (Langit segenap) dan We Sengngeng Linge (Ciptaan Sempurna). Bersamaan dengan itu bintang-bintang pun tercipta. Dari pertemuan pasangan Sang Matahari dan Sri Bulan saat gerhana terjadi, lahirlah pasangan Dewa lain yang diberi tiupan nafas oleh Dewata Sisine. Kemudian dari pasangan yang terakhir ini lahirlah banyak pasangan dewa lainnya. Hingga 18 dewa (menurut naskah La Galigo lainnya lahirlah 14 dewa). Keturunan dewa yang kembar ini saling menikah, namun tidak diperbolehkan menikahi saudara kembarnya karena akan dinilai sebagai sebuah dosa.

Keturunan delapan belas dewa inilah yang diceritakan panjang lebar dalam naskah La Galigo. Diantara delapan belas itu adalah Datu Patotoe (Sang Raja Penentu Nasib) dan Istrinya Mutia Unru (Mutiara Badai) yang bergelar Datu Palinge (Sang Ratu Ibu) dianggap sebagai dewa tertinggi yang mengatur jagat raya. Tempat bersemayamnya adalah di Botting Langi (Langit tertinggi). Anak bungsu dari kedua Datu ini yang bernama La Tonge Langi’ pada suatu saat diutus ke dunia tengah (dunia manusia). Di kemudian hari keturunannya lah yang menjadi para penguasa di Luwu dan menjadi tokoh cerita I La Galigo, yakni Sawerigading dan I La Galigo.

Sejalan dengan keterangan di atas, Andi Rasdiansyah dalam disertasi doktornya mengatakan bahwa Datu Patoto’e bukanlah Tuhan, tetapi wakil Dewata Sisine (Tuhan yang Satu) dan menjadi raja di kerajaan “Langit”. Langit di sini adalah sebuah simbolis dan tidak dapat diartikan secara harfiah. Hal ini sesuai dengan paham kosmologi orang Sulawesi Selatan, bahwa dunia terbagi atas tiga kerajaan, Langi’ (langit), ale kawa (bumi), dan uri’ liu’ (dunia bawah).  Paham ini juga yang menjadi sisi filosofis dalam bentuk rumah panggung masyarakat bugis yang mempunyai tiga tingkat.

Naskah I La Galigo merupakan sebuah maha karya sastra agung dan indah. Kisahnya diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Anda boleh percaya atau tidak. Tetapi, I La Galigo sebagai sebuah warisan kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan adalah sebuah hal yang harus kita hormati dan jaga. Ia adalah identitas budaya kita yang masih bertahan di tengah arus globalisasi yang kian deras sekarang ini.


  • 0 Comments



Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang sebentar dengan nenek yang kian sepuh. Malam ini pembahasan kami sedikit berbeda. Tentang bagaimana tradisi astronomi yang pernah berkembang di kalangan suku Kutai di pedalaman Kalimantan timur.  Khususnya yang dialami secara langsung oleh para sesepuh terdahulu.

Kami berusaha kembali mencari sekelebat ingatan yang kian pudar. Walaupun tidak terlalu rinci, setidaknya saya bisa ikut merasakan ikatan emosi yang kuat antara apa yang saya pelajari di bangku universitas dengan apa yang dulu keluarga pernah ketahui dan hayati. Tentu saja dalam bidang astronomi (tradisi pengamatan benda-bneda langit) suku Kutai. Walaupun saya bukan tulen orang kutai seutuhnya. Saya tetap mencintai kutai sebagai bagian dari diri dan lingkungan saya tumbuh. Sedikit dari kisah-kisah yang dituturkan ini mungkin tidak terlampau mewah dan megah. Hanya kisah sederhana. Tapi itu semua ditulis di sini sebagai bagian kecil dari data empiris suku kutai dalam mengamati langit.

Kutai adalah salah satu dari sub suku yang terdapat di Kalimantan. Sebatas pengetahuan saya bahwa terdapat empat nama suku besar di Kalimantan. Diantaranya dayak, banjar, kutai, dan melayu. Dayak merupakan sebutan bagi dingsanak tuha (saudara tertua dalam bahasa kutai) diantara suku-suku tersebut. Walaupun kata “dayak” tersendiri bukanlah berasal dari suku pribumi asli Kalimantan. Itu adalah panggilan orang-orang pendatang terhadap suku pribumi asli Kalimantan tempo dulu. Kutai dan Banjar adalah masyarakat dayak yang bertransformasi karena pertemuan budaya dan agama baru yang berbeda. Begitulah sekilas tentang kutai.

Kembali pada tradisi pengamatan benda-benda langit. Di setiap awal bulan, orang-orang terdahulu akan memperkira-kirakan berapa umur nak bulen (Secara harfiah diartikan anak Bulan) di langit. Nak bulen yang dulu disebut itu kita kenal sekarang dengan bulan sabit atau hilal. Fase akhir pergerakan Bulan dalam mengelilingi bumi adalah ketika bagian Bulan yang terkena sinar matahari adalah bagian yang membelakangi bumi. Sehingga Bulan tidak lagi tampak dari bumi. Ini adalah fase tanpa Bulan. Dalam terminologi astronomi ini yang disebut kondisi konjungsi (Ijtimak dalam bahasa arab yang dikenal pegiat falak) dan mulainya bulan baru.

Bulan tidak akan terlihat hingga mencapai derajat tertentu. Bagi beberapa kalangan muslim, rukyatul hilal adalah metode yang digunakan dalam penentuan awal bulan hijriyah. Selain ada juga yang meyakini bahwa konjungsi yang didasarkan perhitungan astronomi tadi sudahlah cukup bagi syarat penentu awal bulan kamariah. Rukyatul hilal dilakukan demi melihat sebagian kecil permukaan bulan yang memantulkan cahaya matahari tersebut (hilal). Ini dilakukan di akhir bulan.

Berbeda dengan rukyatul hilal yang dilakukan setiap menjelang awal bulan hijriyah. Nak Bulen yang diamati oleh beberapa orang dari suku kutai dahulu dilakukan ketika tanggal tiga hingga lima di awal bulan. Hal ini dilakukan karena pengamatan yang memungkinkan untuk dilihat kala itu adalah ketika tanggal tersebut. Permukaan Bulan di tanggal tersebut akan lebih jelas dan memungkinkan untuk dilihat. Yang uniknya bahwa pengamatan itu akan dilakukan dengan membentangkan ampek (sebentang kain). Kain ini hanya satu lapis dan tipis. Kain akan dibentangkan dan diarahkan ke nak bulen ye bekerok (“melengkung” sebutan bagi bulan dari tanggal tiga hingga tujuh). Menariknya lagi bahwa cara mengetahui apakah itu tanggal tiga atau lima itu adalah dengan jenjeng ye ade di nak bulen (saya agak bingung mengartikan kata jenjeng yang diucapkan nenek. Mungkin dalam bahasa Indonesia kita artikan lapisan bulan). Hal itu diperhatikan dengan susunan tiga lapis jari. Jari telunjuk, tengah hingga jari manis. Tiga lapis jari berarti tanggal tiga. Sedangkan lima lapis jari berarti tanggal lima.

Fase kedua bulan dalam astronomi disebut dengan kuartal pertama. Suatu posisi dimana Bulan kelihatan separuh. Ini terjadi sekitar seminggu sejak awal bulan, atau Bulan telah melakukan rotasi seperempat putarannya. Ini adalah sekitar 6 jam lebih lambat daripada Matahari. Terbitnya di sebelah timur adalah sekitar tengah hari, berada tepat di tengah langit kita pada sekitar Matahari tenggelam, dan tenggelam di ufuk barat sekitar tengah malam. Pada fase tanggal delapan setiap bulan itu disebut nenek dengan papat gentang (kata papat itu semakna dengan seperempat. Mungkin yang dimaksud bahwa bulan telah melalui seperempat lingkaran dari perjalanannya mengelilingi bumi). Saat Bulan telah melewati fase papat gentang ini, maka Bulan akan memasuki fase selanjutnya bekembong (membesar atau kembung).

Selain dari fase-fase dan metode pengamatan benda-benda langit tersebut. Nenek juga bercerita tentang penampakan dan penamaan bintang-bintang. Ada Bintang belentik (Kata belentik di sini mengacu pada jebakan yang dibuat orang-orang kutai untuk menjebak hewan-hewan di tengah hutan) dan Bintang Tahun (Penampakan “bintang tahun” ini akan menjadi acuan dalam behuma/bertani/berkebun). Bintang belentik itu menunjukkan pada bintang terang di tengah langit malam. Saya tidak tahu persis bintang yang dimaksud dengan bintang belentik dan bidang tahun ini.

Saya pikir bahwa budaya semacam ini juga terdapat dalam banyak daerah di Indonesia. Yang mungkin kurang lebih sama. Yang belum saya ketahui. Istilah-istilah bahasa kutai yang berkaitan dengan astronomi yang saya temui di malam lepas itu menguatkan ikatan emosi saya dengan budaya saya dan astronomi yang saya pelajari. Bahwa sebenarnya astronomi yang kian berkembang itu juga pernah tumbuh dekat dengan saya.

 


  • 0 Comments

Salah satu hal yang diingat dari Kalimantan timur adalah sungai Mahakam. Dari situlah sumber kehidupan masyarakat setempat sejak dahulu kala. Hingga kini pun begitu. Hasil ikan dan air juga menjadi sumber kehidupan. Karena itu juga banyak masyarakat yang membangun tempat tinggal dan hidup di pinggiran sungai Mahakam dan anak-anak sungainya.

Konon ada kepercayaan masyarakat setempat. Bahwa barangsiapa yang meminum air sungai Mahakam, maka suatu saat nanti ia akan kembali ke Kalimantan timur. Hingga tahun 1970 an air sungai Mahakam bisa diminum dan jadi sumber air bersih bagi masyarakat. Selain menjadi tempat tinggal bagi berbagai jenis ikan. Termasuk pesut Mahakam (lumba-lumba air tawar). Yang jumlahnya kian berkurang. Seiring dengan berkurangnya kualitas air sungai Mahakam. Kini sungai Mahakam berwarna kecokelatan dan tidak lagi bisa diminum sebagaimana dahulu. Limbah dari rumah tangga dan perusahaan sangat mempengaruhi hal tersebut. Kesadaran untuk saling menjaga kebersihan dan kesehatan sungai juga terus-terus digalakkan. Demi menghidupi kerinduan terhadap sungai Mahakam yang bersih dan sehat seperti dahulu. 

Kemarin saya berkesempatan untuk menyebrangi dan kembali mengarungi sungai Mahakam. Untuk beberapa saat. Tidak lama. Perjalanan antar kecamatan yang saling berdekatan. Selain jadi sumber kehidupan, sungai Mahakam juga merupakan jalur air yang menghubungkan banyak daerah di Kalimantan timur. Hingga ke daerah paling hulu sungai yang masih belum memiliki jalur darat yang mudah untuk dilewati. Pembangunan jalan (jalur darat) yang menghubungkan setiap daerah mungkin butuh waktu yang lama.  Sangat lama. Mungkin hingga seratus tahun Indonesia merdeka. Atau bahkan lebih. Tapi mungkin juga sebentar. Jika suara masyarakat yang berada di ujung hulu sungai bisa lebih nyaring hingga ke muara.

Beberapa dokumentasi yang sempat saya ambil saat itu.

 

Pengangkutan Batu Bara


Beberapa rumah penduduk di pinggiran sungai

Pemindahan es batu dari dermaga ke kapal


  • 0 Comments


Situasi sedang sulit. Pandemi covid-19 masih belum selesai. Masyarakat juga tidak ada jaminan untuk terus berada #dirumahaja. Apalagi golongan menengah ke bawah. Yang perlu terus ke luar rumah : bekerja. Mencari hidup. Yang golongan menengah ke atas juga terkena dampaknya. Bisnis sudah lama tutup. Kerugian sudah tak terbendung. Semuanya harus tetap diteruskan. 

Padahal situasi virus corona di Indonesia kian memburuk. Walaupun saya lihat orang tetap waspada sekaligus bersantai ria atas penyebaran tersebut. Waspada karena takut tertular. Tapi tetap santai karena sering keluar rumah tanpa mematuhi peraturan yang ada. Yah memang begitu kenyataannya. Saya bingung melihatnya.

Untuk mengingatkan saja. Hingga saat saya menulis ini angka positif covid-19 di Indonesia sudah mencapai 74018 orang,  yang sembuh 34719, yang meninggal 3535. Heuheu. Angka yang besar kalau dibandingkan dengan Negara tetangga, Vietnam.  Yang masih menjadi juara hingga saat ini. Yang meninggal akibat covid-19 tidak ada. Pilot yang krisis itu kini sudah lebih baik. Tapi angka kita juga terlihat lebih kecil jika dibandingkan dengan Negara Amerika. Yang kini sudah jutaan orang yang tertular virus ini.

Kini new normal sudah berlaku. Kita diberikan pilihan untuk mengadu hidup. Ada sebuah jalan yang baru dibuka. Demi melanjutkan kehidupan. New Normal. Normal yang baru. Kebiasaan baru mulai digalakkan. Jaga jarak, Pakai masker, Cuci tangan, dan semua yang bisa menahan laju penyebaran virus. Kegiatan ekonomi mulai dibuka. Dengan lebih leluasa daripada sebelumnya. Tentu saja dengan peraturan yang katanya ketat.

Akhir bulan kemarin saya baru saja berpergian dari Kota Semarang (Yang saat itu Zona Merah) pulang ke Kalimantan Timur. Balikpapan, kota tempat bandara tujuan saya di kaltim juga sudah termasuk zona merah. Saya memang khawatir. Tapi banyak pertimbangan juga yang jadi masukan saya untuk tetap memilih pulang. Termasuk kondisi di Semarang yang kian merah dan kampung halaman saya yang Alhamdulillah masih hijau.

Perjalanan ke luar provinsi memang ribet. Ada banyak pemeriksaan dan pengisian data-data lebih dari biasanya. Sekitar tiga hari sebelum keberangkatan saya sudah pesan tiket duluan. Walaupun belum rapid tes. Agak khawatir sih kalau kenapa-kenapa. Tapi ya tetap berpikir positif dan ikuti aturan aja. Soalnya rapid tes bisa dites cepat dan harganya yang tidak fluktuatif (naik-turun). Eh bener gitu ya tulisan fluktuatifnya. Berbeda dengan harga tiket pesawat yang tidak menentu dan terkadang bisa cepat habis (tiket yang murahnya). 
Setelah pesan tiket, besoknya saya langsung melakukan rapid tes. Tentu saja dengan mencari tes yang murah meriah dan tidak jauh dari lingkungan kuliah saya. Saya cari informasi dari teman-teman dan aplikasi-aplikasi pemesanan tiket. Akhirnya saya dapat. Rapid tes dengan harga yang lumayan. Setidaknya enggak mahal-mahal amat jika dibandingkan yang biasanya. Di salah satu klinik di daerah kota Semarang. Pelayanannya untungnya cepat. 

Tesnya itu sebentar. Yang lama itu nagntri giliran untuk tesnya. Agak was-was juga. Karena hari itu ada banyak orang yang juga melakukan rapid tes.

Oh iya bisnis rapid tes di kala pendemi begini cukup menjanjikan. Karena hasil rapid tes tersebut merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin berpergian jauh dengan kendaraan umum. Harganya beragam. Dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Bahkan ada yang menaruh harga puluhan ribu saja. Karena memang modalnya yang juga masih kisaran puluhan ribu itu. Tetapi resiko yang dilewati petugas itu yang lumayan besar. SETIAP ORANG YANG BERPERGIAN DENGAN KENDARAAN UMUM PASTI MEMERLUKANNYA. Karena itu, banyak lembaga usaha, dari klinik kesehatan hingga transportasi umum yang menyediakan pelayanan rapid tes.

Padahal di Sumatera Barat swab tes saja bisa digratiskan. Karena memang penemuan Dokter Andani dari Universitas Andalas di sana bisa melakukan swab tes hingga ribuan orang dalam sehari. Tapi sayangnya tidak banyak daerah yang mau menggunakan cara tersebut. Entah karena apa. Pak Dahlan Iskan juga sudah tiga kali menulis tentang Dokter Andani. Saya juga tahu itu dari tulisan beliau di blog pribadinya.

Kembali ke rapid tes saya tadi. Setelah saya memegang surat hasil rapid tes dan tiket pesawat yang mengantarkan saya pulang. Saya merasa lega. Semua yang sulit sudah lewat. Tinggal hal-hal kecil saja. Seperti persiapan barang-barang yang dibawa. Atau bersih-bersih kamar sebelum ditinggal pulang untuk jangka waktu yang lama.
Ketika saya sampai di bandara sekitar satu jam sebelum keberangkatan. Ternyata saat itu sudah panggilan terakhir untuk penumpang pesawat ke Balikpapan. Saya kaget. Keberangkatannya dimajukan satu jam dari jadwal. Saya buru-buru ke petugas pemeriksaan data.  Mengisi formulir di aplikasi eHAC Indonesia. Sebelum Check In, saya melewati hingga sekurangnya tiga kali pemeriksaan dokumen rapid tes dan tiket. Baru setelah check in, saya berlari-lari kecil mengejar panggilan yang diulang-ulang terus.

Begitu sampai di bandara tujuan, saya mengalami hal serupa. Pemeriksaan sana-sini. Kini ada petugas keamanan yang banyak sekali. Pemeriksaan dan mengisi data juga dilakukan lagi. Saya diminta untuk tidak kemana-mana selama seminggu. Dan setelah seminggu diminta untuk melakukan pemeriksaan di puskesmas terdekat. 

Sesampainya di rumah, saya langsung masuk kamar mandi dan bersih-bersih. Pakaian yang di badan dicuci. Barang bawaan semua diberi disinfektan. Semua demi menjaga kebersihan rumah dari covid-19. Baru setelah ritual bersih-bersih itu saya salaman dan bertemu keluarga. Begitulah.

  • 0 Comments


Ternyata sudah ada dua vaksin Covid-19 yang sedang diuji. Dari Tiongkok tentu saja. Dua-duanya. Saya baru tau ketika membaca tulisan Pak Dahlan di websitenya. Yang pertama kali ditemukan itu oleh Tim Chen Wei. Tinggal menunggu hasil akhir dari tes uji klinis (pengujian pada tahap manusia, panjang prosesnya menuju tahap itu). Sekitar sebulan lagi. Setelah itu tentu saja tinggal mengurus izin produksi, dan sebagainya. September dan Oktober mungkin sudah bisa digunakan, Kata pak Dahlan.

Yang satu lagi diumumkan tanggal 19 juni lalu. Vaksin ini jenis baru. Untuk imunisasi Covid-19. Yang katanya lebih canggih. Vaksin mRNA (messenger ribonucleic acid). Ditemukan oleh tim Qing Chengfeng. Vaksin yang baru ini bahkan bisa melawan replikasi virus. Perlawanannya terhadap virus juga dinilai tepat sasaran dengan cara yang lebih cepat. Panjang uraiannya hingga kepada kekeabalan tubuh seseorang terhadap virus ini. Vaksin ini belum sampai tahap terakhir seperti vaksin pertama di atas. Tapi sudah lolos berbagai macam ujian di laboratorium. Dan sudah disetujui untuk uji klinis.

Dampak wabah dari virus covid-19 ini memang sangat besar. Mengajarkan kita banyak hal.Harapan kita tentu saja. Semoga pandemi ini cepat berlalu.

  • 0 Comments


Awal dinyatakan ada virus jenis baru di Wuhan. Semua masih biasa-biasa saja. Penafsiran yang berbeda-beda muncul. Ilmu hitam dari ahli di Indonesia (saat itu Tiongkok dan Indonesia berseteru tentang wilayah kekuasaan politik di laut), Azab bagi Tiongkok karena penindasan terhadap minoritas agama di sana, Bocornya senjata biologis dari laboratorium di Tiongkok, semuanya berpendapat, semuanya berspekulasi. Macam-macam. Tak ada habisnya. Tak ada yang memuaskan.

Wabahnya kian menyebar. Ada negara yang sigap, cepat dan tegas. Ada yang santai, lambat dan menjadikannya lelucon. Semakin hari, penyebarannya semakin tinggi. Yang terjangkit semakin tinggi. Dan tak terkendali. Bagi negara yang beruntung, mereka tidak harus mengorbankan banyak rakyatnya. Bahkan Vietnam tetap menjadi juara –setidaknya sampai saat ini- dengan kasus yang meninggal tidak ada. Pilot yang terkena wabah itu pun kian membaik. Setelah hampir dua bulan Koma bersama virus.

Kini sudah hampir empat bulan sejak pertama kali dikonfirmasi bahwa ada satu orang yang terkena virus covid-19 di Indonesia. Banyak diskusi, aksi, kebijakan, pemikiran, pendapat tentang ini. Banyak yang optimis. Tak sedikit juga yang pesimis. Dicarilah argument-argumen dari data-data ilmiah, penafsiran doktrin agama-agama, atau sekedar keresahan-keresahan rakyat kecil yang paling berdampak. Kita masih meraba-raba.

Informasi mengalir deras. Pendapat bertiup kencang. Keresahanan dan ketidakpastian tumbuh rimbun. Wabah covid-19 ini benar-benar mengubah banyak hal. Kata Slavoj Zizek (begini mungkin cara nulis namanya), Covid-19 tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan, ekonomi dan psikologis, tetapi mengubah tatanan dunia kita.

Tatanan lama (normal yang lama) telah runtuh. Dari reruntuhan itu kita mesti membangun tatanan yang baru. Kebiasaan yang baru. Cuci tangan, memakai masker, dan jaga jarak. Angka yang terkonfirmasi di Indonesia telah tembus 50 ribu. Kita masih tertatih membangun kebiasaan baru. Menciptakan kebiasaan baru memang sulit. Kita harus benar-benar lepas dari kebiasaan lama yang melekat. Tapi itu bukan berarti tidak mungkin.

Sayangnya jika kita masih belum telepas dari kebiasaan lama, bukan tidak mungkin angka yang kini 50 ribu itu bisa mendobrak angka 100 ribu. Bukan bermaksud pesimis. Tapi perjuangan melawan wabah ini bukan perjuangan yang mudah. Dan pejuangnya bukan Cuma dokter dan tenaga medis. Tapi kita semua.

Cahaya pengetahuan kita tentang wabah ini masih sayu. Ketidaktahuan kita terkait virus ini juga kian luas. Kita kembali disadarkan. Bahwa sepanjang majunya sains dan keilmiahan di garis orbit panjang sejarah manusia. Kita tetap terikat pada ketidaktahuan yang tak terbatas.

  • 0 Comments



Jalan bahasa tempat kita bertemu

Merupa alur rona cuaca rasa

Dari sana ada banyak hal tentang

Bunga freesia yang ingin kutafsikan

 

Suaramu yang malam dan tenang

Mewarnaku dalam hingga kenang

Tatap matamu di kota lama saat itu

Rintik madu diantara hiruk pikuk waktu

 

Cerita-ceritamu yang

Diperdengar-kisahkan serupa

Puisi yang memaknaimu, yang mengartikanku,

yang merimbunkanku, yang meluaskanmu, yang menggenapiku

 

Paruh masa waktu kita bertemu

Serupa alir makna hati yang bersulih putih

Sejak itu ada banyak hal tentang

Bunga freesia yang mesti kutafsirkan

 

Kamu seringkali menepis serangkai

Kata yang  berpendar sebagai racau

Angin laut

Sebab itu

Ketauhilah

 

Bahwa kata adalah jalan rasa menuju makna

Bahwa dikala jarak meningkahi raga

Aku hanya berdo’a serindu sekali

Bahwa di kala purnama seirama

Aku ingin menafsirkanmu sebagai sebuah Puisi

 

2312

  • 1 Comments



How can you miss someone you’ve never met  ?

Cause I need you now but I don’t know you yet

But can you find me soon because I am in my head ?

Yeah I need you know but I don’t know you yet

(Alexander Glantz)

 

 

Ia berjalan

Menyusuri jalan rindu yang kian abu-abu

Ingin berlindung dari cahaya yang tumbuh rimbun

Yang melepas bagian demi bagian dari dirinya

Genggaman, langkah, hati ?

 

Tiba-tiba rindu itu berkumpul dan membentuk langit

Kian meluas melingkahi ruang, melewati waktu

Entah kenapa waktu menjadi layu dihadapan rindu

Tidak ada yang pernah tahu

Jadi dipetiknya saja waktu dari garisnya

Mungkin tak akan ada yang tahu

 

Lalu tak ada lagi batas yang berdiri di sekelilingnya

Ia kini bebas dan abadi

Merindukan seseorang di ujung jalan itu

Yang tak pernah ditemuinya

Tapi terlebih dahulu lahir di pikiran dan hati nya

 

How can you miss someone you’ve never met  ?

Cause I need you now but I don’t know you yet

 

Semarang, 24 Juni 2020

 

 

 

 

 

 

  • 0 Comments
Newer Posts Older Posts Home

Saya


Andy Evan

“Salah satu jalan menjadi Bahagia dalam hidup adalah dengan berusaha menjadi Baik, Benar dan Indah.”

Ikuti Saya

  • twitter
  • instagram
  • facebook

Yang banyak dibaca

  • Nyantri sambil berpuisi
    Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selai...
  • Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
    Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki per...
  • New Normal, Juni dan Puisi
    Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus. Kehidupan di dunia maya masih ter...
  • Astronomi Kutai ?
    Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang se...
  • I La Galigo: Sebuah Kosmologi Bugis
    Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yan...

Baru aja

Technology and Social Media as Parts of The Daily Life of Generation-Z

Jendela

Alam (5) Astronomi (3) Budaya (7) Buku (1) Cerpen (2) Desa (2) English (1) Falak (3) Filsafat (4) Foto (4) Generation-Z (1) Islam (9) Kitab Suci (2) Kosmologi (1) Liburan (2) Media Sosial (1) Pesantren (5) Puisi (14) Santai (7) Sehimpun Puisi (1) Tokoh (4) Tulisan (36)

Denah

  • ►  2018 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  November (1)
    • ►  December (4)
  • ►  2019 (2)
    • ►  January (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2020 (28)
    • ►  May (2)
    • ►  June (19)
    • ►  July (4)
    • ►  August (1)
    • ►  September (2)
  • ►  2021 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  September (1)
  • ▼  2022 (1)
    • ▼  June (1)
      • Technology and Social Media as Parts of The Daily ...

instagram

Created By Andy Evan | Distributed By Blogger

Back to top