Andy Evan

  • Teras
  • Ruang
  • _Tulisan
  • _Foto
  • Kontak

 


Pada cerita sebelumnya (baca : Ragam Rupa Desa), saya sedikit bercerita tentang beberapa desa yang saya kunjugi di hulu sungai Mahakam. Keesokan harinya, kami tak meneruskan ke bagian hulu. Kami berbalik arah. Kembali ke hilir sungai. Ada desa yang menyimpan peninggalan awal masa sejarah di Nusantara. Desa Muara Kaman.

Satu jam perjalanan. Kami sampai. Dan harus melewati Kebun Sawit dan menyeberang sungai lagi. Dengan naik kapal lagi tentu saja. Pemukiman di atas sungai sudah jarang ditemui. Ada hanya beberapa. Muara Kaman merupakan kecamatan yang berbeda dengan Desa yang sebelumnya kami datangi. Kecamatan Muara Kaman. Penduduknya juga bertempat tinggal di pinggiran sungai sampai ke daerah perbukitan yang lumayan tinggi.

Ada salah satu monumen nasional yang baru pertama kali saya datangi. Padahal tempatnya tak jauh dari desa saya. Monumen Nasional Tugu Pahlawan Muso Bin Salim. Lebih dikenal dengan Muso Salim. Beliau adalah salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berasal dari Muara Kaman. Pahlawan Gerilya Kalimantan Timur ini juga pernah menerima penghargaan dan kehormatan dari Menteri Pertahanan RI Sultan Hamengkubuono XI pada 1947, dan lain sebagainya. Perjuangan beliau yang berani mengangkat senjata mengusir penjajah adalah semangat yang mesti generasi sekarang warisi. Banyak pihak juga yang mengusahakan agar beliau diangkat menjadi pahlawan nasional. Tapi itu juga merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu yang panjang. Saya mengalami kesulitan mencari informasi tentang beliau. Jadi, jika ada yang lebih tahu, bisa berbagi di komentar.

Monumen Nasional Tugu Pahlawan Muso Bin Salim


Setelah dari situ kami beranjak. Ke situs kutai Ing Martadipura. Tempat ditemukannya tujuh Prasasti Yupa tertua di Nusantara. Inilah yang menjadikan Kerajaan Kutai menjadi kerajaan tertua di Indonesia. Prasasti tersebut menggunakan bahasa sansekerta yang menceritakan kemakmuran kerajaan di bawah pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti yang menggunakan huruf pallawa tersebut secara paleografis diperkirakan berasal pada abad ke empat Masehi. Huruf Pallawa digunakan di Hindu Selatan sekitar tahun 400 Masehi. Corak dan gaya huruf yang digunakan juga sama dengan gaya huruf Pallawa di India. Para ahli menyatakan bahwa prasasti itu dibuat pada masa abad kelima Masehi. Sayangnya bukti arkeologis dari sumber sejarah yang lain belum ditemukan. Berita Cina tentang Kalimantan baru muncul pada masa Dinasti Tang (618-906 Masehi).

Situs Kerajaan Kutai Ing Martadipura


Raja Mulawarman dapat dipastikan sebagai orang Nusantara asli, karena kakeknya masih menggunakan nama lokal, Kudungga. Ahli sejarah menafsirkan nama ini adalah nama asli Indonesia yang belum terpengaruh budaya India. Pada masa abad keempat Masehi, Kerajaan Kutai telah memiliki golongan masyarakat yang cakap baca tulis menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Mereka adalah golongan Brahmana yang telah mempelajari agama Hindu hingga ke pusat penyebarannya di India.

Situs Kerajaan Kutai Ing Martadipura


Kehidupan politik dan ekonominya juga stabil dan makmur berdasarkan apa yang tertulis pada bagian dari salah satu prasasti Yupa tersebut. Raja Mulawarman berkurban dan bersedekah banyak sekali kepada para Brahamana. Sebagai tanda terima kasih, Para Brahmana mengabadikan kisahnya dalam Yupa.

Saya banyak bercerita sejarah di sini. Tapi itulah yang menarik saya dan teman-teman datang ke Muara Kaman. Awal mula tonggak sejarah di bumi Nusantara. Peralihan dari zaman prasejarah, memasuki masa sejarah Nusantara. Sayangnya karena pandemic covid-19. Pelayanan juga dibatasi. Kami tak bisa serta merta masuk ke dalam situs untuk melihat Yupa atau peninggalan sejarah lainnya. Salah satu Yupa yang asli disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Sisanya saya juga kurang tahu dimana.

Lesung Batu


Selain Yupa juga banyak ditemukan Artefak Tembikar, Artefak Batu dan Artefak logam. Di situs ini juga ada Lesung Batu yang merupakan batu dalam kondisi tergeletak di atas permukaan tanah. Batu ini berbentuk persegi panjang dan menyerupai  menhir atau Yupa. Di hari-hari budaya tahunan Erau, biasanya banyak wisatawan yang datang berkunjung kemari. Mengenal peradaban tertua yang pernah ada di Indonesia. Tabik.

  • 0 Comments



Sebulan yang lalu saya dan teman-teman jalan-jalan ke Kecamatan Kota Bangun di Kabupaten Kutai Kartanegara. Perjalanan ini sebenarnya sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Setelah dua sampai tiga minggu wacana. Akhirnya kami bisa merealisasikannya. Karena saya tidak pernah lagi ke daerah hulu sungai Mahakam sudah sangat lama. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Saya kira. Karena jauhnya waktu yang tak kunjung temu itu, saya tertarik untuk kembali menunaikan rindu. Sambil menarik kembali ingatan dan merangkai pengalaman baru.

Jarak dari desa kami berangkat (Desa Sanggulan) ke Kecamatan Kota Bangun kurang lebih tiga puluh kilometer. Ya, kurang lebih jarak dari daerah Ngaliyan di Semarang ke Demak. Tapi waktu yang kami tempuh tentu saja tidak sama. Medan yang sangat menantang. Setengah jarak perjalanan kami lalui dengan krikil dan debu, juga lubang sana-sini. Jalannya masih berupa tanah dengan batu-batu kecil. Untung saja tidak hujan. Jadi perjalanan masih tergolong mudah bagi kami yang sudah terbiasa. Memang melalui jalur ini lebih dekat walaupun sebenarnya bukan jalan resmi. Kami harus melalui sebuah perkebunan kelapa sawit yang SANGAT LUAS. Saking luasnya, ketika sedang berada di daerah tersebut sepanjang mata memandang yang bisa kita lihat hanyalah pohon-pohon sawit.

Setengah perjalanan yang akhir kami sudah keluar dari perkebunan dan melalui jalan resmi yang sudah beraspal. Jalan ini sudah mulai ramah debu dan krikil ketimbang separuh jalan sebelumnya. Karena medan yang seperti itu kami bisa menjalaninya selama kurang lebih tiga jam. Normalnya dua jam. Hal tersebut wajar saja. Karena kecepatan kami yang santai dan di bawah rata-rata. Kami berangkat jam 8 pagi dan tiba di tujuan jam 11 siang. Separuh perjalanan sampai ke tujuan sudah terbilang nyaman.

Sampai di Kota Bangun, kami harus menyebrang sungai Mahakam dengan menggunakan kapal Feri. Kapal ini sudah merupakan kendaraan umum di Kecamatan ini. Karena pemukiman penduduk biasanya ada di dua sisi Sungai Mahakam. Jadi, penyeberangan antara dua sisi sungai akan selalu ada, Bahkan bisa sangat padat. Kapalnya tidak terlalu besar, cukup untuk satu kendaraan roda empat atau lima sampai enam kendaraan roda dua. Biasanya akan langsung menyebrang (tanpa menunggu) walaupun hanya mengangkut dua atau tiga motor. Sewaktu menyebrang kita akan benar-benar dekat dengan sungai Mahakam. Ini menarik dan seru bagi saya yang sudah mulai jarang bermain di sungai Mahakam.

Sesampai di sisi seberang, kami bersegera menuju rumah keluarga. Tempat kami menginap. Di Kota Bangun Seberang ini menariknya, desanya  berada di atas jembatan. Jadi semua rumah penduduk, warung, masjid berada di atas jembatan. Dan jembatannya berbahan kayu. Setiap kali ada kendaraan yang lewat di depan rumah, maka suara jembatan kayu yang berbunyi itu terdengar nyaring. Bahkan ketika saya berada di atas motor bersama teman saya, suara pembicaraan kita bukan saja terhalang angin, tapi juga terhalang suara jembatan kayu yang berbunyi. Duk, duk, duk, duk.

Lalu, apakah jika tengah malam ada yang lewat di jembatan maka setiap rumah yang dilewati di desa itu akan terbangun ? Tentu saja tidak. Karena, masyarakat yang tinggal di situ juga sudah terbiasa dengan suara jembatan yang ribut.

Oiya, ciri khas sungai Mahakam adalah kapal ponton yang mengangkut Batu Bara (Emas Hitam Kalimantan) dan kayu-kayu pohon Kalimantan sering lalu lalang di Sungai Mahakam. Di Desa saya saja, setiap sepuluh menit sekali dapat dipastikan ada kapal yang lewat di belakang rumah dengan membawa hasil alam. Karena banyak tambang yang memang berada di hulu sungai Mahakam.

Setelah istirahat sebentar, kami pergi ke salah satu desa terdekat yang terkenal dengan wisatanya. Desa Pela Namanya. Dekat dengan danau Semayang. Setiap ada kegiatan budaya tahunan Erau, maka biasanya desa tersebut akan ramai dengan pengunjung dari berbagai daerah dan berbagai Negara. Karena selain tempatnya yang menarik, kekayaan alamnya juga merupakan daya tariknya. Ikan sungai Mahakam yang berukuran besar sangat sering ditemui di sini. Satu ikan bisa sampai berpuluh-puluh kilo beratnya.

Perjalanan kami ke Desa Pela menunjukkan bahwa kami harus terus berjalan ke bagian hulu sungai Mahakam. Dan kami harus tiga kali naik kapal feri. Menyebrang dari sisi sungai yang satu ke sisi sungai yang lain. Semakin ke hulu maka semakin sering saya menemui desa yang berada di atas jembatan kayu. Juga kegiatan di sungai akan semakin ramai. Karena selain sumber pertanian, masyarakat juga bermata pencaharian dengan menjadi nelayan.

Kami berkeliling hingga sore dan pulang kala malam. Tabik.


Beberapa foto yang sempat saya ambil :


Desa Pela







Kota Bangun Seberang



  • 0 Comments

Salah satu hal yang diingat dari Kalimantan timur adalah sungai Mahakam. Dari situlah sumber kehidupan masyarakat setempat sejak dahulu kala. Hingga kini pun begitu. Hasil ikan dan air juga menjadi sumber kehidupan. Karena itu juga banyak masyarakat yang membangun tempat tinggal dan hidup di pinggiran sungai Mahakam dan anak-anak sungainya.

Konon ada kepercayaan masyarakat setempat. Bahwa barangsiapa yang meminum air sungai Mahakam, maka suatu saat nanti ia akan kembali ke Kalimantan timur. Hingga tahun 1970 an air sungai Mahakam bisa diminum dan jadi sumber air bersih bagi masyarakat. Selain menjadi tempat tinggal bagi berbagai jenis ikan. Termasuk pesut Mahakam (lumba-lumba air tawar). Yang jumlahnya kian berkurang. Seiring dengan berkurangnya kualitas air sungai Mahakam. Kini sungai Mahakam berwarna kecokelatan dan tidak lagi bisa diminum sebagaimana dahulu. Limbah dari rumah tangga dan perusahaan sangat mempengaruhi hal tersebut. Kesadaran untuk saling menjaga kebersihan dan kesehatan sungai juga terus-terus digalakkan. Demi menghidupi kerinduan terhadap sungai Mahakam yang bersih dan sehat seperti dahulu. 

Kemarin saya berkesempatan untuk menyebrangi dan kembali mengarungi sungai Mahakam. Untuk beberapa saat. Tidak lama. Perjalanan antar kecamatan yang saling berdekatan. Selain jadi sumber kehidupan, sungai Mahakam juga merupakan jalur air yang menghubungkan banyak daerah di Kalimantan timur. Hingga ke daerah paling hulu sungai yang masih belum memiliki jalur darat yang mudah untuk dilewati. Pembangunan jalan (jalur darat) yang menghubungkan setiap daerah mungkin butuh waktu yang lama.  Sangat lama. Mungkin hingga seratus tahun Indonesia merdeka. Atau bahkan lebih. Tapi mungkin juga sebentar. Jika suara masyarakat yang berada di ujung hulu sungai bisa lebih nyaring hingga ke muara.

Beberapa dokumentasi yang sempat saya ambil saat itu.

 

Pengangkutan Batu Bara


Beberapa rumah penduduk di pinggiran sungai

Pemindahan es batu dari dermaga ke kapal


  • 0 Comments
Dari awalnya sekedar naik ke bukit sampai nanjak ke gunung-gunung yang lumayan. Bagi seorang pemula, cukup melelahkan. Dan semuanya benar-benar dibayar lunas ketika sudah mencapai puncak.

Pengalaman dan suasana nanjak gunung seperti ini masih sering saya rindukan. Padahal baru dua kali naik gunung. Tapi, memang begitu kenyataannya. Waktu pertama kali, memang capek banget. Wajar belum terbiasa.

Kebiasaan nanjak ini juga lumayan berkesan. Selain dapat foto-foto bagus. Kita belajar banyak tentang kebersamaan. Bagaimana hidup di alam dan perjuangan naik yang benar-benar gak mudah. Makan seadanya. Saling bantu ketika naik maupun turun.

Saya memang masih belum sering nanjak. Dua kali menanjak. Pertama, di Gunung Andong, Jawa Tengah (yang waktu itu lagi hujan) dan kedua, di Gunung Tahura, Kalimantan Selatan (yang nanjaknya tengah malam). Dua Pengalaman itu sering mengundang saya kembali untuk menanjak gunung-gunung yang lain.

Kapan-kapan nanjak bareng lagi kuuy.



Ini foto di gunung tahura

 

Ini foto-foto di gunung Andong





  • 0 Comments
Older Posts Home

Saya


Andy Evan

“Salah satu jalan menjadi Bahagia dalam hidup adalah dengan berusaha menjadi Baik, Benar dan Indah.”

Ikuti Saya

  • twitter
  • instagram
  • facebook

Yang banyak dibaca

  • Nyantri sambil berpuisi
    Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selai...
  • Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
    Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki per...
  • New Normal, Juni dan Puisi
    Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus. Kehidupan di dunia maya masih ter...
  • Astronomi Kutai ?
    Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang se...
  • I La Galigo: Sebuah Kosmologi Bugis
    Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yan...

Baru aja

Technology and Social Media as Parts of The Daily Life of Generation-Z

Jendela

Alam (5) Astronomi (3) Budaya (7) Buku (1) Cerpen (2) Desa (2) English (1) Falak (3) Filsafat (4) Foto (4) Generation-Z (1) Islam (9) Kitab Suci (2) Kosmologi (1) Liburan (2) Media Sosial (1) Pesantren (5) Puisi (14) Santai (7) Sehimpun Puisi (1) Tokoh (4) Tulisan (36)

Denah

  • ►  2018 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  November (1)
    • ►  December (4)
  • ►  2019 (2)
    • ►  January (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2020 (28)
    • ►  May (2)
    • ►  June (19)
    • ►  July (4)
    • ►  August (1)
    • ►  September (2)
  • ►  2021 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  September (1)
  • ▼  2022 (1)
    • ▼  June (1)
      • Technology and Social Media as Parts of The Daily ...

instagram

Created By Andy Evan | Distributed By Blogger

Back to top