Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai
pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains
yang kita kenal sekarang juga lahir dari berbagai macam pertanyaan tersebut.
Selain itu, hal-hal seperti kepercayaan dan kearifan lokal tertentu juga
terbentuk dari banyaknya pertanyaan dan bagaimana manusia mencoba mencari
jawaban atas semua itu. Karena tidak pernah ada jawaban yang memang benar-benar
memuaskan, maka pertanyaan tersebut terus timbul. Termasuk pertanyaan tentang
asal-usul dari manusia berasal.
Kajian yang mendalami tentang asal-usul struktur alam
semesta adalah kosmologi. Ilmu ini merupakan cabang dari astronomi dan
metafisika. Berdasarkan perkembangannya, kosmologi mengalami perubahan bentuk
dari yang bersifat mitologi (berasal dari kebudayaan tertentu), filosofis
(berasal dari pemikiran nalar manusia), religious (berasal dari dogma
agama-agama tertentu), dan yang akhir-akhir ini bersifat astronomis (hal ini
dipengaruhi dengan perkembangan sains yang kian pesat).
Dari bentuknya yang paling tua adalah bahwa
pengetahuan tentang asal-usul manusia dahulu bersifat mitologi. Hal ini juga
yang nampak pada sebuah naskah kuno masyarakat bugis: I La Galigo. Naskah
tersebut juga merupakan rujukan bagi suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja
di Sulawesi Selatan untuk merasakan kesatuan diantara mereka. Seperti yang
diungkap Mattulada dalam tulisannya.
Naskah La Galigo merupakan sebuah sastra puisi
berbahasa bugis kuno (huruf lontar) yang dikeramatkan. Konon penggalan
naskahnya tidak boleh dibaca sebelum diadakan ritual-ritual tertentu. Sebagian dari naskahnya itu berfungsi sebagai
mantra-mantra yang dibacakan dengan berirama pada saat-saat tertentu.
Sebenarnya di dalam
kitab La Galigo itu menceritakan tentang asal usul masyarakat bugis,
petualangan seorang Sawerigading dan anaknya La Galigo, pertempuran dan cerita
imaginatif dalam idiom bahasa bugis. Sebelum adanya aksara, ia merupakan
tradisi lisan masyarakat Sulawesi Selatan yang diturunkan dari generasi ke
generasi. Kemudian ia dituliskan menjadi sebuah naskah yang sangat panjang.
Yang panjangnya itu bahkan melebihi kisah Ramayana dan Mahabrata yang berasal
dari tanah India.
Pada tahun 2011, dua
naskah La Galigo terdaftar dalam Memory
of The World yang merupakan program dari United Nations Educational
Scientific and Cultural Organizations (UNESCO).
Dua naskah tersebut: yang pertama, Naskah La Galigo di Museum La Galigo
di Makassar, Indonesia, dengan judul Sawerigading
dan La Galigo ke Senrijawa, terdiri dari 217 halaman, yang diperkirakan
ditulis pada awal abad ke-19. Yang kedua, Naskah La Galigo di Perpustakaan
Universitas Leiden, Leiden, Belanda, dengan judul La Galigo, terdiri dari 12 episode, 2851 halaman, yang
menjadikannya naskah La Galigo terpanjang. Yang kedua ini ditulis pada
pertengahan abad ke-13 dan disalin oleh Colliq Pujie, Ratu Pancana (Sebuah
Kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan). Naskah La Galigo juga telah dipentaskan di
berbagai belahan dunia.
Kepercayaan
masayarakat Sulawesi Selatan merupakan hasil evolusi dari kepercayaan zaman
prasejarah. Begitu juga pada umumnya kepercayaan masyarakat Nusantara pada
zaman itu. Kemudian datanglah Hindu dan Budha. Tapi sayangnya pengaruh Hindu
dan Budha tidak banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat bugis pada saat itu.
Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya keterangan pernah didirikannya
kerajaan Hindu atau Budha dan peninggalan budaya semacam candi. Namun jejak
kepercayaan dan budaya yang berkembang pada masyarakat bugis dapat ditemukan
dalam naskah La Galigo yang merupakan karya tulis orang bugis pra-Islam.
Kemudian Islam dan Kekristenan mulai masuk pada kehidupan masyarakat di zaman
kerajaan masyarakat Sulawesi Selatan saat itu.
Dengan mengacu pada I
La Galigo, Christian Perlas menceritakan secara singkat dalam bukunya The Bugis tentang system
kepercayaan masyarakat bugis pra Islam. Bahwa di atas segala-segalanya terdapat
satu entitas spiritual yang abadi yang dinamakan Dewa Sisine atau Dewa yang Maha Esa. Dari entitas ini –setelah
tujuh lapis langit, bumi dan dunia bawah diciptakan- muncullah sepasang dewa La
Tepulangi (Langit segenap) dan We Sengngeng Linge (Ciptaan Sempurna). Bersamaan
dengan itu bintang-bintang pun tercipta. Dari pertemuan pasangan Sang Matahari
dan Sri Bulan saat gerhana terjadi, lahirlah pasangan Dewa lain yang diberi
tiupan nafas oleh Dewata Sisine. Kemudian dari pasangan yang terakhir ini
lahirlah banyak pasangan dewa lainnya. Hingga 18 dewa (menurut naskah La Galigo
lainnya lahirlah 14 dewa). Keturunan dewa yang kembar ini saling menikah, namun
tidak diperbolehkan menikahi saudara kembarnya karena akan dinilai sebagai sebuah
dosa.
Keturunan delapan
belas dewa inilah yang diceritakan panjang lebar dalam naskah La Galigo.
Diantara delapan belas itu adalah Datu
Patotoe (Sang Raja Penentu Nasib) dan Istrinya Mutia Unru (Mutiara Badai) yang bergelar Datu Palinge (Sang Ratu Ibu) dianggap sebagai dewa tertinggi yang
mengatur jagat raya. Tempat bersemayamnya adalah di Botting Langi (Langit tertinggi). Anak bungsu dari kedua Datu ini yang bernama La Tonge Langi’ pada suatu saat diutus
ke dunia tengah (dunia manusia). Di kemudian hari keturunannya lah yang menjadi
para penguasa di Luwu dan menjadi tokoh cerita I La Galigo, yakni Sawerigading dan I La Galigo.
Sejalan dengan
keterangan di atas, Andi Rasdiansyah dalam disertasi doktornya mengatakan bahwa
Datu Patoto’e bukanlah Tuhan, tetapi
wakil Dewata Sisine (Tuhan yang Satu)
dan menjadi raja di kerajaan “Langit”. Langit di sini adalah sebuah simbolis
dan tidak dapat diartikan secara harfiah. Hal ini sesuai dengan paham kosmologi
orang Sulawesi Selatan, bahwa dunia terbagi atas tiga kerajaan, Langi’ (langit), ale kawa (bumi), dan uri’
liu’ (dunia bawah). Paham ini juga
yang menjadi sisi filosofis dalam bentuk rumah panggung masyarakat bugis yang
mempunyai tiga tingkat.
Naskah I La Galigo
merupakan sebuah maha karya sastra agung dan indah. Kisahnya diceritakan secara
turun temurun dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Anda boleh percaya atau tidak. Tetapi, I La Galigo sebagai sebuah warisan kebudayaan masyarakat Sulawesi
Selatan adalah sebuah hal yang harus kita hormati dan jaga. Ia adalah identitas
budaya kita yang masih bertahan di tengah arus globalisasi yang kian deras
sekarang ini.