Mata ½ Hari
Baru separuh matahari dipetik di pagi hari untuk dijadikan lauk
sarapan para penelisik lirik berbintangan. Separuhnya lagi dibenamkan di
sependar sunyi yang balau.
Matahari menggugat, “ Jangan memulai hari dengan firasat yag setengah-setengah, apa yang kalian hasilkan tidak lebih dari menyetengah itu.”
Penelisik berbintangan melafalkan waktu dan membiakkan kemalasan. “Ucapanmu tak patut diimani hari telah selesai kami kebiri dengan sepi-sepi
yang birahi.
Seruang kepentingan sudah mati. Gerak-gerik dinafikan. Waktu ini telah kami telentangkan sebagai sajadah tempat mengibadahi puisi.”
Seruang kepentingan sudah mati. Gerak-gerik dinafikan. Waktu ini telah kami telentangkan sebagai sajadah tempat mengibadahi puisi.”
Separuh matahari yang hilang dalam sunyi ikut menyahut, aku akan segera
matang dan menjadi angin yang membacakan lantunan ayat-ayat spasi pada
kemageranmu yang kian membesar.
Separuh yang lain menasehati, “Sudahlah,
penelisik ini tak sudi mencuri peduli, kita hanya akan menjadi saksi atas
tingkahnya yang selalu dikilahnya.
Biarkan keberpijaran musim akan datang menghakiminya sebagai sebuah pemahaman.”
Biarkan keberpijaran musim akan datang menghakiminya sebagai sebuah pemahaman.”
Penelisik itu asyik mengumpani waktu pada sudut matanya yang enggan
terbuka.
Semarang, 6 November 2018
0 Comments