Andy Evan

  • Teras
  • Ruang
  • _Tulisan
  • _Foto
  • Kontak

Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selain ngaji dan ngaji. Untung saja di Ponpes Al-Falah -tempat saya nyantri kala itu- ada banyak kegiatan sejenis ekstrakulikuler yang bisa diikuti. Setidaknya pengalaman berkegiatan dan berorganisasi semacam itu membantu sedikit banyaknya di masa-masa setelahnya. 

Salah satu kegiatan saya waktu itu sekedar sibuk di Forum Pena Pesantren (selain Program Bahasa dan Darul Hadits). Karena memang yang paling diutamakan, ya mengaji. Walaupun sering tertidur dan setengah sadar menahan kantuk.

Terkadang saya suka mensiasati rasa kantuk yang menyerang saat mengaji dengan mencuri-curi waktu membuka-buka buku-buku sastra. Atau apa saja yang bisa mengalihkan rasa kantuk

Ketika sudah agak melek, lanjut ngaji lagi. Meskipun bisa juga malah keasyikan buku, bukan memaknai kitab yang dikaji. Sudah jadi rahasia umum bagi teman-teman. ketika ke kelas, ada satu dua buku yang diselipkan diantara kitab-kitab kuning yang dibawa. Bukunya juga bermacam-macam. Bisa Novel, Komik, Buku puisi, ya tergantung selera setiap pribadi.

Ya, kembali ke Menulis Puisi.

Karena kegiatan dan kehidupan saat itu memang sudah diatur dan tenang-tenang saja. Seorang santri ya kesibukannya mengaji dan berlatih kesalehan secara spiritual dan sosial. Minat terhadap berbagai hal lain tentu saja muncul dan perlu dialirkan. Apalagi bagi santri-santri remaja yang masih dalam semangat berapi-api mengenal hal baru.

Puisi adalah salah satu aliran yang saya pilih dalam menyalurkan semangat itu. Walaupun tidak tahu bakalan jadi apa nantinya. Ya, jalani saja dulu.

Dulu pertemuan saya dengan teks-teks sastra juga terbatas. Mengingat santri tidak bisa keluar masuk pondok seenaknya. Kami hanya bisa memaksimalkan koleksi buku-buku sastra yang ada dan kitab-kitab-kitab kuning seperti balaghah dalam memahami sastra.

Sebagai catatan, dulu aturan tentang buku-buku sastra juga terbatas ketika di pondok. Ada beberapa buku-buku yang dilarang. Bukan karena diksi dan metafora dalam buku tersebut. Tetapi hanya karena kekhawatiran kalau itu membuat santri terlena dan malas mengaji di kelas atau di masjid.
  
Saya dan teman-teman seperti Alwi, Restu, Rijal, dan Dicky yang tertarik bermain kata dan bahasa biasanya suka menyusun beberapa kalimat dan menempelkannya di Majalah Dinding Santri atau di Buletin tahunan. Ya, walaupun tidak bagus-bagus amat. Setidaknya ada dua-tiga karya yang dihasilkan. 

Hal ini juga sekaligus merangsang santri untuk menulis dan berkarya. Apalagi, ada beberapa anggapan asing kala itu. Bahwa sebelum mencapai tingkat tertentu, seorang santri mesti memiliki satu buku karya pribadi atau kolektif yang dibuahkan.

Dalam menjelajahi dunia sastra dan menulis itu setidaknya ada lentera kecil yang pernah kami nyalakan. Dengan harapan nyala itu bisa tetap hidup bahkan setelah kelulusan kami.

Bagi saya pribadi,  kebiasaan menulis itu memang sangat membantu di alam perkuliahan yang sedang saya jalani saat ini. 

Tetapi, Saat tugas dari dosen menumpuk. Kebiasaan menulis seringkali dilakukan sebagai pemenuhan kewajiban. Dalam bentuk makalah atau artikel. Puisi sebagai cinta pertama menulis sepertinya diduakan dengan menulis tugas. Wajar, kadang-kadang saya lebih suka membaca dan menulis puisi sebagai bentuk kunjungan dan hadiah bagi cinta pertama dalam tulis-menulis. Tabik.
(Andi Evan Nisastra).
  • 3 Comments
Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki peran penting sebagai sumber kehidupan dan jalur penghubung masyarakat di Kalimantan Timur. 
Tak heran banyak desa (seperti: Sanggulan, Muara Kaman, Benua Puhun, Ngidau, Melintang) dan bahkan kota (seperti: kota Samarinda dan Tenggarong) yang berdiri di pinggiran sungai ini.

Sungai terpanjang kedua Indonesia ini adalah jalur utama dan area dagang masyarakat asli Kalimantan Timur (Dayak dan Kutai). Keunikan dari sungai Mahakam adalah bahwa masyarakat Dayak dan Kutai banyak menghuni pinggiran sungai Mahakam. 
Kehidupan masyarakat Dayak dan Kutai yang berdampingan dengan sungai merupakan kisah hidup yang berlangsung selama berabad. Ukiran di Rumah Lamin masyarakat Dayak Kenyah Datah Bilang Hulu sungai menceritakan kisah migrasi mereka dalam memasuki hutan dan menyusuri tepian sungai dalam jangka waktu yang panjang.

Lahirnya pusat-pusat peradaban seperti kerajaan dan kemudian kota tentu saja mengharuskan adanya keterhubungan antar desa di kalimantan. Sulitnya jalur darat untuk dilalui membuat masyarakat banyak memilih melewati jalur sungai. 
Karena akses termudah yang saling menghubungkan antar desa itu adalah sungai. Selain mudah juga dikarenakan efisiensi waktu dan banyaknya masyarakat yang tinggal di tepian sungai.

Dalam sejarahnya, kesejahteraan dan kesuburan tanah kalimantan telah abadi di ukiran Prasasti Yupa. Keluhuran budi Raja Mulawarman kepada para Brahmana. Ribuan ekor sapi, Jutaan buih minyak dan Gunungan emas. Pemberian kehidupan kepada setiap orang.

Pada abad ke-19 hasil-hasil dari daerah pedalaman Kesultanan Kutai diangkut oleh pedagang-pedagang Banjar dan Bugis dengan cara melakukan pertukaran barang, yaitu dengan garam, tembakau, candu, bahan kain, tembakau, timah dan batu karang yang akan dibawa ke Pelabuhan Samarinda. 

Selain itu masyarakat dayak juga biasanya menyerahkan hasil daerah yang dibawa oleh para kepala masing-masing suku ke istana Tenggarong setiap acara tahunan Erau.
Hingga sekitar akhir tahun 1970-an, Masyarakat dayak dan kutai menjadikan perdagangan hasil daerah ini  salah satu mata pencaharian di sungai yang berarti Maha Cinta ini. 

Mereka menjual hasil sungai dan bumi, seperti ikan, buah-buahan dan sebagainya menggunakan gubeng dengan cara belentung dari daerah hulu sungai sekitar Melintang dan Kotabangun hingga ke daerah hilir, di Kesultanan Kutai dan Kota Samarinda. 

Dagangan itu akan disinggahkan di setiap desa-desa atau rumah-rumah mereka yang tertarik ingin membeli, yang juga terletak di pinggir sungai Mahakam. Sisa dagangan hasil sungai dan bumi yang belum laku terjual akan berakhir di Kota Samarinda. Di sini biasanya semua dagangan itu akan laku habis dijual. 
Semua pedagang dari setiap desa di hulu sungai akan berkumpul beramai-ramai di kota yang disebut kota tepian ini. Menjual hasil sungai atau bumi dan membeli kebutuhan hidup di kota yang kini menjadi ibukota Kalimantan Timur.

Setelah selesai dengan urusan di kota para masyarakat yang tinggal di hulu sungai akan pulang bersama-sama dalam satu iring-iringan gubeng-gubeng yang sangat panjang. 

Satu kapal  besar bermesin akan berada di depan dan menarik iring-iringan yang membawa hasil dari perdagangannya itu menuju rumahnya masing-masing hingga ke bagian hulu sungai Mahakam, sekitar daerah danau Melintang dan Semayang.
Perjalanan dagang sungai ini bisa memakan waktu berminggu-minggu bahkan hingga berbulan. Mereka pergi boleh jadi sendiri-sendiri. Tetapi ketika kembali pulang tidak ada alasan untuk tidak bersama. 

Selama perjalanan mencari kehidupan itu tentu juga banyak suka dan duka yang dilalui penelusur Mahakam ini. Kadangkala anggota keluarga di atas gubeng terserang penyakit demam biasa atau parah sekali. Persediaan makan yang kurang, arus jeram yang deras dan kuat atau hasil dagang yang tak dihargai seberapa. Yang sangat menyedihkan apabila dalam pencarian kehidupan ini mereka malah menemukan kematian. 

Disamping itu juga ada pengalaman suka yang dijumpai. Mereka bisa bertemu banyak teman baru, hasil dagang yang melimpah bahkan mungkin pasangan hidup. Pemandangan yang juga sangat indah adalah hadirnya kawanan lumba-lumba air tawar atau yang dikenal dengan Jukut Pesut Mahakam yang meloncat atau menyemburkan air ke udara.

Gubeng memang masih ada tetapi sudah tak lagi banyak seperti dulu. Iring-iringan gubeng pembawa hasil dagang dari hilir ke hulu yang menjadi tanda kesejahteraan dan kemakmuran hutan kalimantan kini sudah berganti dan berbalik arah menuju hilir sungai Mahakam dengan Kapal Ponton yang membawa berton-ton batu bara dan tak pernah kembali ke hulu.

Memandang sungai Mahakam kini hanya memandang iring-iringan gunung-gunung emas hitam kalimantan yang berlalu pergi. Jika dulu gubeng belentung urang etam pergi ke hilir membawa harapan kehidupan yang lebih baik ketika kembali ke hulu. 

Apakah kini ponton batu bara yang pergi ke hilir juga membawa hal yang sama ?
(Andi Evan Nisastra).



IGubeng 

Ini foto gubeng. Ukurannya kadang bisa lebih besar ataupun kecil.
  • 0 Comments

Saya


Andy Evan

“Salah satu jalan menjadi Bahagia dalam hidup adalah dengan berusaha menjadi Baik, Benar dan Indah.”

Ikuti Saya

  • twitter
  • instagram
  • facebook

Yang banyak dibaca

  • Nyantri sambil berpuisi
    Waktu masih di Menengah Atas dulu, saya masih gila-gilaan menulis puisi. Memang karena tidak banyak kesibukan di Pondok Pesantren selai...
  • Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
    Sungai Mahakam yang membentang sepanjang sekitar 920 km melintasi banyak kota dan desa di daerah Kalimantan Timur sejak dahulu memiliki per...
  • New Normal, Juni dan Puisi
    Udah juni aja. Di tengah pandemi, Tugas Kuliah dan Tugas pemberantasan Covid-19 nambah teruuus. Kehidupan di dunia maya masih ter...
  • Astronomi Kutai ?
    Beberapa hal cukup unik dan menarik menurut pandangan saya pribadi. Saat malam lepas saya mencari kesempatan untuk berbincang se...
  • I La Galigo: Sebuah Kosmologi Bugis
    Pengamatan manusia terhadap alam dan berbagai pertanyaan yang lahir membentuk bagaimana manusia membangun peradaban. Sains yan...

Baru aja

Technology and Social Media as Parts of The Daily Life of Generation-Z

Jendela

Alam (5) Astronomi (3) Budaya (7) Buku (1) Cerpen (2) Desa (2) English (1) Falak (3) Filsafat (4) Foto (4) Generation-Z (1) Islam (9) Kitab Suci (2) Kosmologi (1) Liburan (2) Media Sosial (1) Pesantren (5) Puisi (14) Santai (7) Sehimpun Puisi (1) Tokoh (4) Tulisan (36)

Denah

  • ►  2018 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  November (1)
    • ►  December (4)
  • ►  2019 (2)
    • ►  January (1)
    • ►  February (1)
  • ▼  2020 (28)
    • ▼  May (2)
      • Gubeng Belentung Penyusur Mahakam
      • Nyantri sambil berpuisi
    • ►  June (19)
    • ►  July (4)
    • ►  August (1)
    • ►  September (2)
  • ►  2021 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  June (1)

instagram

Created By Andy Evan | Distributed By Blogger

Back to top